Terasing Di jalan Cinta Para Pejuang

Refleksi
Terasing
Aku masih terus saja terperangkap dalam pasungan zaman barbar ini. Sebagian dari diriku tengah tidak mampu menjawab problem keterasinganku. Sebagian dari diriku telah gagal mengatasi keterasinganku sendiri, sepertinya aku hanya mampu melarikan diri dari kebebasan yang diberikan oleh cinta itu sendiri. 

Kebohongan, kemunafikan dan segala bentuk kedurjanaan kembali menjadi alasan untuk menguji eksistensiku yang terasing! 

Sebenar hanya satu yang dapat kulakukan sebagai manusia untuk mengatasi keterasingan ini yakni dengan merawat keterasingan itu sendiri menjadi akrab sepenuh hati.

Tapi tunggu dulu, aku nggak mau terburu-buru mendefinisikan perasaan yang naif ini. Ketrasingan ini bagiku tidak dapat didefinisikan secara linear, karena bukan hanya pada hubungan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat melankolis. Aku masih terjebak pada keterasingan itu sendiri...

Keterasingan ini seperti labirin, aku mulai ragu merawat dan memperjuangkannya. Sama seperti halnya ketika aku mendengar musik, aku tenggelam hanya sekedar menikmatinya untuk merawatnya dengan cara melatih keterampilanku soal musik adalah keniscayaan... Dan aku makin terasing, berketerusan... semakin terus kunikmati lagu itu semakin menampakkan keterasinganku...

Ketrasingan ini terus saja menuntutku untuk bisa memahami keunikan antara kita dan dengan hal itulah aku berusaha menjadi satu dan merontokan dinding pembatas diantara kita.... kita berbeda agama tetapi satu, kita berbeda bahasa tetapi satu, kita berbeda status sosial tetapi satu, dan perbedaan-perbedaan yang lainnya...

Perbedaan harus ada memang, karena dengan hal itulah aku terus berlatih untuk berempati dan mengembangkan kasih sayangku...

Aku dituntut untuk menghidupi eksistensi pihak lain dengan iklas atau tanpa pamrih... hal ini harus kulakukan karena aku manusia yang tidak mungkin hidup sendiri tanpa adanya manusia lain. Mereka butuh kedamaian, dan aku harus menolak berperang, memfitnah, mengadu domba, permusuhan, menjilat...

Walau ragu, aku harus mampu merespon sisi-sisi kemanusiaanku ketika melihat penderitaan orang lain... Bagiku hidup yang bermakna adalah ketika dihatiku selalu ada pada perjuangan klas, pada perjuangan mereka yang tertindas....

Aku akan terus menapaki jalan kehidupan ini untuk semakin memahami keberadaanku untukmu, untuk semua yang kucintai. Salah satu caraku untuk memahamimu kulakukan dengan cara melebur dalam kehidupan mereka, menyatu, berjuang dan mengkoordinasikan kekuatan bersama untuk terus berlawan untuk menyempurnakan kemanusiaan kita.

Bekasi, pasca pemilu borjuis 2014

Related Posts:

Rakyat Indonesia yang ‘njawani’

Jika Clifford Geertz mengklasifikasi masyarakat Jawa dengan santri, abangan, dan priyayi, mungkin sebagai orang Jawa kita akan mempertanyakan dan berpendapat lain. Mengapa yang dimunculkan hanya tiga strata, dan tidak lebih? Sebab, dengan tiga penggolongan saja, realitasnya tidak cukup dan tidak lengkap. Ada satu golongan lagi yang keberadaannya belum atau justru sengaja tidak dimunculkan ke permukaan.

Dalam konteks kehidupan Islam di Jawa, pengelompokan santri dan abangan bisa diterima. Dimana santri adalah mereka yang mengamalkan syariat Islam dengan baik, sementara abangan adalah para pemeluk Islam yang belum atau tidak melakukan syariat dengan baik. Sedangkan yang disebut priyayi, adalah mereka yang memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat di masa lalu, seperti golongan pegawai negeri, pamong praja, dan lain-lain. Menurut bausastra (kamus) bahasa Jawa, priyayi mempunyai arti lebih spesifik lagi. Yaitu, kalangan bangsawan, pejabat istana, keturunan raja maupun penguasa kerajaaan. Pendeskripsian ini dapat dipahami karena munculnya golongan priyayi hanyalah di masa aristokrasi, bukan setelah kemerdekaan Indonesia atau masa demokrasi.
Oleh karena itu, seharusnya perlu dimunculkan pula golongan masyarakat Jawa yang bernama rakyat jelata sebagai dikotomi priyayi. Dimana dalam kebudayaan Jawa golongan ini disebut kawula alit, dan dalam dunia perwayangan lazim dinamai kaum pidak pidarakan (hina dina). Dalam konteks kerajaan di masa lalu, apabila eksistensi priyayi dicatat, mau tidak mau eksistensi rakyat jelata pun perlu diakui. Karena bagian terbesar dari masyarakat di Jawa pada masa kerajaan sesungguhnya bukanlah priyayi, melainkan rakyat jelata (yang berada di luar hegemoni kekuasaan kerajaan/Negara). Karena itulah subjek yang disebut orang Jawa lebih mengarah pada kalangan “rakyat jelata”. Kendati tidak meninggalkan kelompok yang lain (priyayi/abangan/santri).

Rakyat jelata, dalam konteks ke-Indonesiaan (baca,-Rakyat Indonesia), entah apa asal-asul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar biasa. Bagi Rakyat, Ibu pertiwi semacam Ibunya. Negara Indonesia semacam Bapaknya, dan Pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bias sangat marah kepada Pemerintah, tetapi cintanya lebih besar dari kemarahannya, sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.

Kadar kesanggupannya untuk menyayangi, memaklumi, dan memaafkan mencerminkan ketangguhan karakternya sebagai kekasih. Rakyat Indonesia sangat tangguh, sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum Pemerintahnya, melainkan menerima, memaklumi, memafhumi kekurangan dan sangat mudah memaafkan kesalahan Pemerintahnya. Bahkan Rakyat begitu sabar, tahan, dan arifnya tatkala seringkali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh Pemerintahnya. Itulah Rakyat “jelata” yang sejati.

Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapapun presidennya yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak akan pernah transparan secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapapun dia, takkan pernah sanggup berbuat setingkat tuntutan dan kebutuhan objektif rakyatnya, meski disertai kabinet yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi maupun tak resmi.

Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden, dan situasi itu ditelan oelh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan disbanding pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.

Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika Pemilu tiba, mereka tetap memilih salah seorang calon pemimpin, karena berani menaggung resiko akan tidak aman hidupnya. Keberaniannya menaggung resiko itu mencerminkan kekuatan hidup dan ketanggguhan mentalnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah Negaranya.

Dan keluarbiasaan mental serta kekuatan untuk bertahan yang demikian itu, sesungguhnya karena nenek moyang mereka adalah orang-orang hebat, bangsa penakluk peradaban, dimana kita menyebutnya Bangsa Jawa.
_Dari berbagai sumber_

Related Posts:

Manusia Jawa dan Unen-Unenya


Unen-unen / Paribahasa Jawa yang sampai saat ini melekat dan menjadi acuan masyarakat Jawa diklasifikasikan sebgai berikut :
1.       Adat Tradisi
·         Desa mawa cara negara mawa tata (desa mempunya aturan tersendiri, negara mempunyai tatanan tersendiri)
·         Kayak kali ilang kedunge, pasar ilang kumandhange (seperti sungai kehilangan lubuk, pasar kehilangan gaungnya)
·         Wong jowo nggone semu, sinamung ing samudono sesadone ing adu manis (sifat orang jawa cenderung semu/terselubung, menutup diri dengan kata-kata tersamar, masalah apapun dihadapi dengan muka manis)
2.       Etika dan tata krama
·         Ajining diri dumunung ing lathi, ajining raga saka busana (nilai pribadi terletak di bibir/tutur kata, nilai raga/badan tercermin dari pakaiannya)
·         Aja ngomong waton, nanging ngomongo nganggo waton (jangan asal bicara, tapi bicaralah dengan landasan yang jelas)
·         Aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa (jangan merasa bisa, akan tetapi bisa/berani mengakui bahwa dirinya tidak bisa)
·         Tepa selira (tenggang rasa, mengukur segala sesuatu secara manusiawi)
·         Manjing ajur ajer (masuk hancur dan mencair ke dalam lingkungan/masyarakatnya)
·         Ngono yo ngono, nanging ojo ngono (begitu ya begitu, tetapi jangan begitu)
·         Momor momot nggendhong nyunggi (bercampur memuat menggendhong dan menyunggi terhadap lingkungan/masyarakatnya)
3.       Hubungan sosial, Kekerabatan, dan Gotong Royong
·         Dagang tuna andhum bati (meskipun berdagang rugi, namun harus berani membagi rizki)
·         Sepi ing pamrih rame ing gawe (sedikit pamrih, banyak bekerja)
·         Napihi wong kewudan (memasangkan/mengenakan kain panjang kepada orang telanjang)
·         Rukun agawe santosa crah agawe bubrah (rukun membuat sentosa, bertengkar membuat rusak)
·         Sapa luweh ora kena muni luweh (siapa mempunyai kelebihan tidak boleh abai terhadap orang lain yang tengah menderita/kekurangan)
·         Tepung rubuh sambang kalen (menyatu pagar halamannya, bersambung juga paritnya)
4.       Hubungan Orang Tua dan Anak
·         Kencana waton wingka (emas berlian tampak seperti pecahan gerabak)
·         Kacang mangsa ninggal lanjarane (kacang panjang tidak mungkin meninggalkan terus tempatnya)
·         Anak polah bapak kepradhah, bapak kesulah anak kapolah (anak bertingkah bapak/orang tua yang bertanggung jawab, bapak dihukum dengan dihujani tombak, anak ikut merasakan)
·         Mikul duwur mendem jero (memikul tinggi-tinggi mengubur sedalam-dalamnya)
·         Kebo nyusu gudel (kerbau menyusu kepada anak-anaknya)
·         Kebo kabotan sungu (kerbau keberatan tanduk)
·         Cilik diitik-itik bareng gede dipasang benik (kecil dipasangi lubang kecil, setelah besar dipasangi kancing baju)
·         Dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk (dikepit seperti kain dagangan, disuapi seperti anak burung)
5.       Hukum, Keadilan, dan Kebenaran
·         Bener ketenger, becik ketitik ala ketara (benar ditandai, baaik terbukti, buruk kelihatan sendiri)
·         Bolu rambatan lemah (sejenis tanaman yang merambat ditanah)
·         Salah mest owah, bener terus mesti nggejejer (salah pasti berubah, benar tetap berdiri tegak)
·         Sapa temen bakal tinemu, sapa salah bakal seleh (siapa bersungguh-sungguh akan ketemu, siapa salah akan menyerah)
·         Sing goroh growah (siapa bohong merugi)
·         Wani ngalah duwur wekasane (berani mengalah mulia akhirnya)
Perlu anda ketahui, bahwa unen-unen yang disajikan di atas hanya merupakan sebagia kecil dari ribuan ungkapan peribahasa yang tersimpan dalam khazanah budaya Jawa. Apabila dikaji lebih mendalam, unen-unen ini memiliki kesamaan dengan peribahasa-peribahasa lain di Nusantara, baik yang menggunakan bahasa daerah maupun bahasa Indonesia. Menurut teori kebahasaan, yang dimaksud peribahasa adalah semua bentuk bahasa yang mrngandung arti kiasan. Di dalamnya termasuk ungkapan berupa kata atau frasa (gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif), perumpamaan, tamsil, atau ibarat, pepatah, dan petitih. Selain itu, peribahasa juga dipahami sebagai ajaran moral lewat proses peneladanan. Atau dengan kata lain, peribahasa adalah ajaran moral dalam bentuk kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang strukturnya bersifat tetap. Di dalam ranah bahasa dan susastra Jawa, peribahasa atau unen-unen dapat dikelompokkan menjadi peribasan, bebasan, saloka, pepindhan, sanepa, dan isbat.    
1.       Paribasan : menggambarkan tingkah laku atau watak manusia, keadaan, atau barang. Perumpamaannya dapat menggunakan barang, anggota badan, tempat, binatang, dan lain-lain. Pesan yang disampaikan dapat berupa nasihat, teguran, cemohan, larangan, hukum, keadaan, atau perwatakan. Contohnya: anak polah bapak kepradah, tuna satak bathi sanak, lila lamun ketaman kelangan nora gegetun.
2.       Bebasan: menggambarkan tingkah laku atau watak manusia, keadaan, atau barang. Perumpamaannya dapat menggunakan hewan, tumbuhan, atau anggota badan manusia. Pesan yang disampaikan dapat berupa nasihat, teguran, cemooan, ungkapan, enyesalan, kemarahan, kemarahan, gambaran takdir, gambaran perilaku, dan perwatakan. Contohnya: suruh lumah kurebe beda yen gineget padha rasane, kemladdheyan ngajak sempal, mkebo gupak ajak-ajak, kacang mangsa dinggal lanjarane, ambuwang rasa oleh kuwuk.
3.       Saloka: menggambarkan tingkah laku atau watak manusia, keadaan, atau barang. Perumpamaannya dapat menggunakan hewan, tumbuhan, atau wayang. Pesan yang disampaikan dapat berupa nasihat, teguran, cemoohan, ungkapan penyesalan, gambaran kebodohan, permusuhan, kemustahilan. Contohnya: wastra lungsed ing sampiran, rawe-rawe rantas malang-malang putung, gambret singgang mrekatak ora ono sing ngeneni, katepan ngrangsang gunung, galuga sinalusur sari.
4.       Pepindhan: menggambarkan tingkah laku atau watak manusia, keadaan, atau barang. Perumpamaannya dapat menggunakan hewan, tumbuhan, atau wayang. Pesan yang disampaikan dapat berupa gambaran permusuhan atau penyangatan. Contohnya: kaya wedus diumbar ing pakacangan, opor bebek mentas saka awake dhewek, byung-byung tawon kambu, kebo kabotan sungu, meneng widara uleren.

5.       Isbat: menggambarkan tingkah laku atau watak manusia, juga keadaan. Berbeda dengan unen-unen yang lain, isbat selalu menggambarkan tingkah laku yang baik. Perumpamaannya dapat menggunakan hewan, atau barang. Makna yang disampaikan selalu berupa nasihat atau ajaran kerohanian. Contohnya: golek banyu apikulan warih golek geni adedamar, nggolei tapake kuntul nglayang, gusti Allah ora sare, anak dino ana upa ora obah ora mamah.  

Related Posts:

PRT Asing Dipajang di Mal Singapura untuk Ditawarkan


PRT Yang Dipajang Seperti Barang Dagangan
MERDEKAFILES - Kontroversi merebak mengenai perdagangan Pekerja Rumah Tangga (PRT) asing di Singapura. Dilaporkan PRT asing tersebut dipajang di depan mal untuk ditawarkan ke calon majikan.

Pihak Pemerintah Filipina yang menyadari praktik memalukan ini pertama kali. Sebagian besar PRT tersebut berasal dari Filipina dan pihak Filipina pun bermaksud untuk menyelidikinya.

"Kementerian Luar Negeri Filipina siap untuk mengambil langkah meningkatkan perlindungan terhadap pekerja Filipan di Singapura," ujar Juru Bicara Kemlu Filipina Charles Jose, seperti dikutip The Straits Times, Senin (30/6/2014).

"Semua pekerja Filipina yang berada di luar negeri bisa melaporkan masalah ini kepada Kepolisian Singapura. Dengan catatan memang ada bukti penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi," lanjutnya.

Sebelumnya, ada laporan pekan lalu bahwa beberapa agen tenaga kerja Singapura yang memajang para PRT asing dari Filipina, Indonesia dan Myanmar di dalam ruangan dan galeri di sebuah mal.

Tetapi tidak dijelaskan laporan mengenai PRT dari Indonesia yang diberlakukan tidak manusiawi ini. Sebagian besar PRT yang ada di Singapura memang sebagian besar berasal dri Filipina, Indonesia, Vietnam serta Myanmar.

Related Posts: