Mud Max, Film Dokumenter Lapindo

Dokumentasi Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo

"MUD MAX: Investigative Documentary - Sidoarjo Mud Volcano Disaster?. Bisa jadi ada yang menduga film tersebut adalah pelesetan film Mad Max, yang dibintangi aktor Hollywood Mel Gibson, yang dibuat beberapa seri.



Gambaran itu langsung mengingatkan pada film dokumenter lain yang sukses yaitu Ring of Fire. Kebetulan, dalam pembuatan MUD MAX, ASU bekerja sama dengan produser film Immodicus, yang juga memproduseri film Ring of Fire.Selanjutnya, di menit-menit awal film tersebut menampilkan rentetan bencana yang terjadi di Indonesia yang disebut-sebut berkaitan dengan posisi geologis Indonesia yang berada pada jalur Ring of Fire. Mulai meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1880-an, sampai gempa di Jogja 2006, yang hanya selisih beberapa jam sebelum terjadi semburan liar di dekat lokasi pengeboran Lapindo di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Mei 2006.


Sederet ahli pun ditampilkan dalam bentuk wawancara untuk menjelaskan keterkaitan potensi bencana di Indonesia dengan Ring of Fire tadi. Yang paling menonjol dan sering dimunculkan adalah Adriano Mazzini, peneliti proses geologis dan fisika Universitas Oslo, Norwegia. Lelaki berdarah Italia tersebut bahkan beberapa kali ditampilkan sedang mengambil sampel atau mengadakan pengamatan pada fenomena semburan lumpur. 

Tidak saja yang terjadi di Sidoarjo, namun juga di tempat lain di Indonesia. Di antaranya Bleduk Kuwu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah; Gunung Anyar, Surabaya; dan Kalanganyar, Sidoarjo. Sepertinya, Mazzini mencoba menarik benang merah antara fenomena semburan lumpur tersebut dengan yang terjadi di Porong. 

Secara keseluruhan, memang banyak pengulangan yang ditampilkan dalam film itu. Termasuk penjelasan para ahli yang mengarah pada kesimpulan bahwa semburan lumpur panas di Porong itu adalah natural disaster (bencana alam).Sementara dalam konferensi para ahli geologi internasional di Capetown, Afrika Selatan, 2008 lalu, para ahli berbeda pendapat. Satu sisi menyebut sebagai natural disaster, sementara sisi lain menyebutnya dengan istilah man made.

Karena ada perbedaan pendapat itulah akhirnya diadakan voting. Hasilnya, sekitar 70 persen ahli geologi dunia menyatakan Lusi adalah man made. Yang setuju dengan natural disater hanya sekitar 20 persen. Sisanya menyebutkan gabungan kedua penyebab tersebut. 

Meski begitu, film tersebut mencoba netral dengan tidak banyak membahas kontroversinya. Akibatnya, pemberian subjudul investigative documentary, jadi kurang tampak pada keseluruhan film. Sebagian besar film tersebut lebih banyak mengulas teknis geologis, terutama yang menyangkut posisi Indonesia pada jalur Ring of Fire.

Film tersebut lantas mencoba untuk netral dengan menampilkan ahli-ahli lain yang menyatakan bahwa semburan liar itu berkaitan dengan pengeboran di Jatirejo. Meski porsinya tidak sebanyak mereka yang mendukung teori korelasi dengan gempa Jogja, bagi penonton kritis kemunculan pendapat itu cukup untuk memicu pemikiran terhadap kemungkinan teori man made disaster.Secara keseluruhan film tersebut sepertinya tidak ingin mengembangkan kontroversi terkait penyebab munculnya semburan liar di sumur Lapindo, yang sampai sekarang masih terus berlangsung. Film itu lebih memunculkan pada teori-teori geologis terjadinya mud volcano. Bahkan, di bagian akhir film, diungkapkan bahwa para ahli yang berbeda pendapat sepakat menjadikan Lusi sebagai natural laboratory (laboratorium alam) guna pengembangan ilmu geologi.

Itu juga terjadi pada sesi diskusi panel seusai pemutaran film. Hampir seluruh pertanyaan yang disampaikan berkaitan dengan teori-teori geologis. Yang patut disayangkan, panelis yang hadir dalam diskusi tersebut sebagian besar adalah ahli yang mendukung teori bahwa Lusi adalah natural disaster. "Kami sudah mengundang ahli yang berbeda pendapat, namun mereka tidak bisa hadir," dalih Avian Tumengkol, juru bicara Immodicus. 

Di bagian akhir ditampilkan upaya-upaya yang telah dilakukan Lapindo terkait dampak sosial yang disebabkan semburan lumpur. Munculnya Andi Darussalam Tabusala, yang disebut sebagai wakil keluarga Bakrie, terkesan sebagai justifikasi bahwa Lapindo tidak terkait dengan semburan lumpur panas tersebut.Andi memang menyatakan bahwa Lapindo telah mengeluarkan banyak uang untuk membantu menyelesaikan masalah yang terkait Lapindo. Tapi, dia menegaskan bahwa bantuan tersebut tidak bisa diartikan bahwa Lapindo mengaku bersalah. "Sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Seperti tetangga yang membantu tetangganya yang sedang dirundung masalah," katanya.

Kesan tersebut semakin kuat dengan ditampilkannya korban Lusi yang sudah direlokasi dan mendapatkan rumah di kompleks perumahan di Sidoarjo, yang dibangun Lapindo. Korban, yang tampaknya pasangan muda, mengaku sangat beruntung. "Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kami akan mendapatkan rumah yang sebagus ini," kata sang suami yang berjenggot tersebut.

Namun, upaya menjaga netralitas film di tengah kontroversi yang masih terus berlangsung, luntur karena tidak ditampilkan korban yang belum terselesaikan masalahnya, sebagai penyeimbang pernyataan korban yang merasa diuntungkan tadi.Ending film tersebut makin mengesankan sulitnya menjaga netralitas dengan ditampilkannya perkembangan terakhir kasus Lusi yang menyebutkan bahwa polisi sudah menghentikan pemeriksaan dengan menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Hal itu diperkuat dengan penjelasan adanya desakan DPR agar pemerintah mengambil alih penanganan dampak Lusi.

Di sisi lain, tidak ditampilkan hasil voting para ahli geologis internasional dalam konferensi di Capetown, yang menunjukkan bahwa sebagian besar mereka (sekitar 70 persen) menyatakan Lusi bukan sebagai natural disaster, melainkan disebabkan faktor manusia (man made). Seharusnya, kalau memang berniat netral, fakta itu juga ditampilkan sebagai penyeimbang.

Related Posts:

Globalisasi Neoliberal, Hanya Mengabadikan Kemiskinan (3)

Globalisasi Neoliberal

Selain listrik, sektor publik lain seperti pendidikan dan kesehatan pun diprivatisasi. Di Indonesia, privatisasi pendidikan tinggi ditandai dengan kemunculan Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (UU BHMN) pada awal tahun 2000. Skema privatisasi pendidikan tinggi ini kemudian terus berlanjut dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 17 Desember 2008. UU BHP merupakan skenario World Bank/Bank Dunia yang tercantum dengan jelas dalam dokumen Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE).12 Meskipun UU BHP dibatalkan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 30 Maret 2010, privatisasi pendidikan tinggi pun terus berlanjut dan terus menghambat akses rakyat miskin terhadap pendidikan tinggi.

Pada tahun 2011, DPR mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang memiliki isi serupa dengan UU BHP. Bedanya, kali ini privatisasi pendidikan dibalut dalam nama lain yang lebih soft, yakni “otonomi”. RUU PT ini pun kemudian disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 13 Juli 2012. Gerakan sosial yang anti dengan privatisasi pendidikan pun kemudian kembali melakukan judicial review terhadap UU PT tersebut. Sayangnya, kali ini MK tidak mengabulkan tuntutan pembatalan UU PT dan dengan demikian melegalkan privatisasi pendidikan tinggi terhitung sejak 29 April 2014.13

(Lalu Apa?) Solusi Kemiskinan
Dalam buku ini, Macarov memang menunjukkan posisinya dimana ia berpendapat globalisasi neoliberal menjadi penyebab utama dari kemiskinan dan kemiskinan memang diciptakan secara struktural. Namun, menurut saya, secara umum solusi yang ditawarkan Macarov (untuk mengatasi kemiskinan dan berbagai problem yang dihasilkan globalisasi dan privatisasi tersebut) dalam buku ini tidak begitu mempesona. Solusi yang diungkapkan Macarov, menurut saya, cenderung bersifat reformis ketimbang revolusioner, seperti subsidi, kemudahan kredit bagi usaha mikro, dan peningkatan pajak bagi orang kaya. Solusi-solusi itu, menurut saya, sangatlah tidak mencukupi, jika kita memang menginginkan terwujudnya tatanan masyarakat yang setara, dan terbebas dari pemiskinan dan kemiskinan itu sendiri.

Dalam buku ini, Macarov terlihat tidak mengajukan sebuah solusi yang menawarkan perubahan secara struktural. Saya sendiri berpendapat bahwa karena kemiskinan diciptakan oleh globalisasi neoliberal yang sangat bersifat struktural, maka solusi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan pun perlu diletakkan pada dimensi yang juga bersifat struktural. Perubahan mode ekonomi kapitalisme dalam wajah globalisasi neoliberal seperti yang berlangsung saat ini menjadi mode ekonomi yang sosialis, menurut saya, harus terus diusahakan. Selain itu, penguasaan aset-aset publik secara privat hanya dapat dihentikan melalui struktur kekuasaan politik yang diisi oleh mereka yang tidak bersetuju terhadap kapitalisme. Dalam perjalanannya, tentu saja semua usaha-usaha untuk mengubah struktur ekonomi politik kapitalisme yang memiskinkan sebagian besar rakyat ini tidak akan berlangsung dengan “aman-aman saja”. Akan tetapi, kapitalisme dalam wajah globalisasi neoliberal ini akan terus bertahan selama tidak ada upaya untuk mengubahnya dan dengan demikian, maka kemiskinan pun juga tidak akan pernah dapat diakhiri.***

 -----------------------------------------------------
1. Ke-nyinyir-an mahasiswa dan lulusan-lulusan universitas Ibukota terhadap aksi May Day kaum buruh ini dapat dilihat di berbagai media sosial seperti twitter,facebook, path, dan sebagainya.
2. Mereka lupa bahwa banyak buruh yang bekerja di pabrik-pabrik kini merupakan lulusan D3 dan bahkan S1. Selain itu, pendapat semacam ini juga dapat dilihat misalnya pada tautan (http://www.merdeka.com/uang/upah-buruh-lulusan-s1-haruskah-sama-dengan-lulusan-sma.html).
3. David Macarov. 2003. What the Market does to People : Privatization, Globalization, and Poverty. London, Zed Books.,hlm. 52.
4. Beatrix Campbell. 2013. End of Equality. Calcutta : Seagull Books.
5. Berdasarkan data yang didapat dari Kompas, Sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan (http://regional.kompas.com/read/2012/09/28/17313375/70.Persen.Kerusakan.Lingkungan.akibat.Operasi.Tambang)
6. Hal tersebut tidak terlepas dari konstruksi patriarkal yang menempatkan perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama. Lihat Silvia Federici. 2012. Revolution at Point Zero : Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. PM Press.
7. Sistem ekonomi laizess faire dikenal juga dengan istilah sistem ekonomi pasar bebas. Sistem ekonomi ini menekankan kebebasan yang sepenuhnya pada pihak swasta dalam ekonomi dan menekankan minimnya campur tangan pemerintah dalam ekonomi.
8. Pernyataan Sikap KSN ‘Privatisasi PLN Sebuah Skenario Penghancuran Bangsa oleh Kekuatan Kapitalis’
http://ksn.or.id/2012/04/privatisasi-pln-sebuah-skenario-penghancuran-bangsa-oleh-kekuatan-kapitalis/
9. Dalam buku I. Wibowo dan Francis Wahono (ed.). 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas., hlm. 206-207.
10. David Macarov. 2003. What the Market does to People : Privatization, Globalization, and Poverty. Op.Cit., hlm. 79.
11. Dalam pernyataan sikap resmi dari KSN “Privatisasi PLN Sebuah Skenario Penghancuran Bangsa oleh Kekuatan Kapitalis” (http://ksn.or.id/2012/04/privatisasi-pln-sebuah-skenario-penghancuran-bangsa-oleh-kekuatan-kapitalis/ ) dinyatakan bahwa “Privatisasi PLN dimulai dengan ditandatanganinya LOI yang pertama oleh Presiden Soeharto pada tanggal 31 Oktober 1997, dimana pada butir 41 Pemerintah Indonesia akan mengevaluasi lagi belanja negara berkaitan dengan pelayanan publik (seperti listrik, air, minyak dll), dan berjanji bahwa sektor pelayanan publik tersebut akan di privatisasi, agar tercipta pasar yang effisien, kompetitif dan transparan (ini adalah “adagium” klasik dari Kapitalis agar perusahaan negara dapat dikuasainya).”
12. Lihat http://web.worldbank.org/external/projects/main?pagePK=104231&piPK=73230&theSitePK=40941&menuPK=228424&Projectid=P085374.
13. Putusan dapat dilihat di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1.

Ditulis oleh Fathimah Fildzah Izzati dan diunduh untuk diterbitkan pada weblog ini untuk menambah referensi. Penulis adalah anggota redaksi Left Book Review (LBR) Indoprogress dan anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP), beredar di twitterland dengan ID : @ffildzahizz

sumber: KLIK DISINI

Related Posts:

Globalisasi Neoliberal, Hanya Mengabadikan Kemiskinan (2)



Macarov melakukan kritik terhadap berbagai metode penetapan ‘garis kemiskinan’ yang banyak dilakukan di berbagai negara di dunia. Penetapan ‘garis kemiskinan’ yang didasarkan pada rata-rata pendapatan minimum yang dapat diraih setiap warga negara per bulannya tanpa memperhatikan hal-hal yang lain, merupakan hal yang bermasalah. Dalam hal ini, mereka yang termasuk ke dalam kategori orang yang berada di atas ‘garis kemiskinan’ tersebut, meskipun hanya dengan perbedaan yang sangat sedikit, tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang miskin. Selain itu, penetapan ‘garis kemiskinan’ yang didasarkan pada pendapatan rata-rata yang terendah dan tertinggi juga memiliki masalah. Pengukuran semacam ini bermasalah karena gap/kesenjangan yang besar antara pendapatan yang terendah dan tertinggi tidak dieperhitungkan.

Lalu, apa implikasi dari penetapan ‘garis kemiskinan’ ini? Selain berimplikasi pada berbagai kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah, penetapan ‘garis kemiskinan’ ini juga sedikit banyak mempengaruhi pendapat umum atau common sense mengenai kemiskinan. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang disepakati dalam mendefinisikan kemiskinan. Yakni sejauh mana orang dapat mengakses berbagai kebutuhan yang merupakan kebutuhan pokok, termasuk pendidikan, kesehatan, dan rumah yang layak, maka ia dapat dikatakan tidak hidup dalam kemiskinan.

Pendapat bahwa kemiskinan itu bersifat sangat relatif dan bergantung pada masing-masing individu juga banyak berkembang. Hanya saja, pendapat mengenai hal ini memiliki banyak kekurangan. Pendapat ini dapat membuat negara mengabaikan kewajiban mereka dalam memenuhi semua kebutuhan warganya. Macarov dalam bukunya ini memang tidak menyebutkan mana pendapat yang lebih masuk akal atau menyatakan dengan tegas dimana posisinya. Namun, Macarov lebih banyak menekankan definisi kemiskinan pada kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural didefinisikan Macarov sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh sistem ekonomi yang berkembang di sebuah negara yang kemudian menyebabkan kemiskinan terhadap warga negaranya.


Selain berbagai definisi kemiskinan tersebut, ada hal diungkapkan Macarov dalam buku ini, yakni mengenai dampak atau implikasi yang terjadi akibat kemiskinan. Selain kelaparan, menurut Macarov, prostitusi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan menjadi beberapa dampak lain yang ditimbulkan akibat kemiskinan. Menurut Macarov, kerusakan lingkungan terjadi misalnya diakibatkan oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan terpaksa membakar hutan atau mengambil ikan di sungai dan memburu binatang dihutan tanpa memperhatikan keberlangsungan lingkungan demi mempertahankan hidup mereka. Bahkan, Macarov mengamini pernyataan Indira Gandhi yang terkenal yang menyatakan bahwa kemiskinan ialah the greatest polluter.3


Saya sendiri kurang sependapat dengan pendapat Macarov tersebut. Prostitusi dan kekerasan akan selalu ada selama kapital masih menghendaki hal itu. Meski tingkat kemiskinan berkurang, kedua hal itu akan selalu ada sejauh kapitalisme masih menjadi fondasi utama masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Beatrix Campbell, bahwa kapitalisme yang berkelindan dengan patriarki akan selalu menghasilkan erotic capital yang memungkinkan tumbuh suburnya bisnis prostitusi dan kekerasan.4 Selain itu, menurut saya, kemiskinan tidak dapat dinyatakan sebagai the greatest polluter demikian juga dengan mengatakan bahwa mereka yang miskin sebagai the greatest polluter. Fakta bahwa banyak orang miskin hidup di lingkungan yang kumuh memang tidak dapat dielakkan. Namun, menyebut mereka sebagai the greatest polluter saya rasa masih terlalu terburu-buru. Terlebih, kerusakan lingkungan yang dihasilkan kapitalisme, yang dihasilkan kaum pemilik modal (para pengusaha tambang, para pengusaha kayu dan kertas, dan sebaginya) tentunya jauh lebih besar dan lebih hebat!5


Apa Penyebab Kemiskinan?
Dalam buku ini, Macarov menjelaskan dengan sangat baik berbagai pendapat umum atau “common sense” yang berkembang di seputar perdebatan mengenai penyebab kemiskinan. Macarov menyatakan bahwa banyak pendapat yang menyatakan bahwa persoalan kemiskinan disebabkan oleh problem/masalah yang ada di dalam personal seorang manusia. Kemiskinan diakibatkan oleh mental individu manusia yang malas, yang tidak memiliki motivasi untuk berjuang hidup dengan layak dan sebagainya. Dengan demikian, solusinya selalu diletakkan pada bagaimana mengubah manusia tersebut. Entah apakah agar dia tidak malas, dan sebagainya. Kemiskinan yang seringkali dikaitkan dengan problem mental perseorangan ini mengandung masalah karena pengandaian manusia sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan selalu tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan struktur sosial politik yang melingkupinya.


Persoalan mengenai kemiskinan yang sering dikaitkan dengan problem mental perseorangan ini, pernah diujikan dan coba dibuktikan kebenarannya oleh Macarov. Pada bagian awal buku ini, Macarov menceritakan pengalamannya dalam membuktikan bahwa pendapat mengenai kemiskinan akibat problem mental perseorangan (malas, tidak punya motivasi, dan sebagainya) adalah tidak benar adanya. Pada sebuah kelas mata kuliah yang ia ajar di salah satu universitas, Macarov menceritakan hasil observasi yang dilakukan para mahasiswanya atas kemiskinan. Para mahasiswa tersebut dibolehkan hidup hanya dengan sejumlah uang berdasarkan standar garis kemiskinan yang ada. Mereka kemudian diminta menuliskan apa saja yang mereka makan dengan menggunakan sedikit uang tersebut, apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka rasakan dalam kondisi seperti itu.


Hasilnya, sebagian besar mahasiswa Macarov tersebut mengungkapkan bahwa bahwa mereka merasa malas, tidak punya motivasi dalam hidup, ingin melakukan kejahatan atau tindakan kriminal karena atau akibat kondisi kemiskinan yang mereka alami. Beberapa dari mahasiswa tersebut bahkan bercerita bahwa ingin mengakhiri hidup mereka dan melakukan bunuh diri demi mengakhiri hidup yang sengsara itu. Hasil observasi tersebut kemudian mematahkan argumen mengenai kemalasan individu sebagai penyebab kemiskinan. Sebaliknya, kemalasan individu, tidak adanya motivasi dalam hidup, dan keinginan untuk berbuat jahat, justru merupakan akibat dari kemiskinan!


Pendapat lain yang banyak berkembang di seputar penyebab kemiskinan ialah pendapat bahwa kemiskinan disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya lebih struktural. Macarov membagi pendapat ini kedalam beberapa hal dimana diantaranya berkaitan dengan kelompok-kelompok minoritas sebagai pihak yang paling rentan dan banyak berada dalam kemiskinan. Dalam hal ini, kemiskinan yang terjadi pada kelompok minoritas diakibatkan diskriminasi yang seringkali menimpa mereka. Kelompok-kelompok minoritas seringkali mendapatkan diskrimasi dalam berbagai hal termasuk dalam hal ekonomi. Hal ini yang menyebabkan banyak kelompok minoritas menjadi mereka yang hidup dalam kemiskinan akibat dihambatnya akses mereka terhadap ekonomi. Selain itu, kemiskinan juga banyak disebabkan oleh seksisme. Pemiskinan perempuan seringkali terjadi akibat perempuan lebih banyak mendapat banyak hambatan dalam berbagai hal termasuk dalam hal ekonomi. Terkait hal ini, perempuan seringkali mengalami kemiskinan yang lebih besar daripada laki-laki. Sebagai contoh, di banyak tempat, perempuan yang bekerja dengan beban kerja yang sama dengan laki-laki mendapatkan upah yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki.6


Terakhir, Macarov menyebutkan bahwa penyebab kemiskinan secara struktural tidak lain tentunya ialah sistem ekonomi kapitalisme laizess faire7 dimana sekelompok kecil orang berkuasa sepenuhnya atas akses dan berbagai aset ekonomi dibandingkan dengan sebagian besar lainnya.

Globalisasi dan Privatisasi sebagai Penyebab Kemiskinan
Dalam buku ini, kemiskinan struktural menjadi sorotan utama Macarov. Terkait hal ini, Macarov mengidentifikasi bahwa anak-anak, orang lanjut usia, mereka yang tidak bekerja/pengangguran, para pekerja yang miskin, menjadi orang-orang yang paling dimiskinkan secara struktural. Penyebab kemiskinan secara struktural yakni sistem eknonomi yang berbasis pada sistem ekonomi pasar dijadikan sorotan atau fokus utama Macarov. Hal ini banyak menjadi bagian terbesar tulisannya, terutama mengenai globalisasi sebagai konsekuensi sistem ekonomi neoliberal yang hampir tidak bisa lagi dihindari oleh sebagian besar negara di dunia. Dijadikannya pasar sebagai mesin ekonomi membuat semua harus dilakukan berdasarkan pada ukuran-ukuran itu. Konsekuensi tak terpisahkan dari globalisasi neoliberal diantaranya ialah privatisasi. Privatisasi merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari neoliberalisme yang berkelindan dengan globalisasi. Privatisasi yang sering juga disebut dengan penjualan aset negara merupakan sebuah proses pengalihan hak kepemilikan dari kepemilikan publik (negara) ke pemilikan pribadi/perusahaan swasta.8 Dalam hal ini, pada tulisan Revrisond Baswir yang berjudul ‘Privatisasi BUMN: Menggugat Model Ekonomi Neoliberalisme IMF‘, dapat dilihat bahwa privatisasi ditujukan untuk menata ulang struktur perekonomian suatu negara demi kelancaran agenda-agenda neoliberal secara internasional.9

Macarov mengemukakan bahwa negara biasanya melakukan privatisasi dengan berbagai alasan. Macarov mengidentifikasi bahwa setidaknya terdapat delapan alasan yang secara umum digunakan berbagai negara dalam melakukan privatisasi. Dalam hal ini, fleksibilitas pasar tenaga kerja dan pemangkasan pengeluaran atas nama efisiensi menjadi dalih yang paling sering digunakan negara dalam melancarkan privatisasi. Selain itu, kurangnya kepercayaan kepada pemerintah juga sering menjadi alasan dibalik privatisasi. Rumitnya prosedur birokrasi pun menjadi alasan lain yang sering digunakan demi membenarkan privatisasi. Hanya saja, yang dihasilkan dari privatisasi dengan berbagai alasan tersebut tetaplah sama, yakni terjadinya peningkatan jumlah pekerja kontrak dan outsourcing, inefisiensi, dan bahkan korupsi. Menurut Macarov, privatisasi selalu berjalan beriringan dengan meluasnya korupsi di berbagai negara, khususnya pada negara-negara yang dikatergorikan sebagai negara ‘transisional’ yang mengalihkan pelayanan publik menjadi milik privat.10 Maka dari itu, globalisasi, menurut Macarov, menghasilkan kurangnya akuntabilitas, rendahnya tingkat upah/penurunan upah, korupsi dan meningkatkan ketidaksetaraan.

Selain terjadi pada korporasi/perusahaan-perusahaan swasta, privatisasi juga terjadi pada sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan hal-hal lain yang menjadi komponen penting dari kesejahteraan rakyat seperti perumahan, dan sebagainya Dalam buku ini, Macarov memang lebih banyak menjelaskan apa yang terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika. Namun, praktik privatisasi dengan dalih efisiensi ini juga banyak terjadi di Indonesia. Privatisasi Perusahaan Listrik Negara (PLN) salah satunya.11 Listrik yang jelas menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak pun (sektor publik) diprivatisasi atas nama efisiensi. Hasilnya, sistem outsourcing kini menjadi sistem kerja utama di PLN saat ini.


Bersambung ke: Globalisasi Neoliberal, Hanya Mengabadikan Kemiskinan (3)




Related Posts:

Children of A Nation

Pemilu Indonesia 2009

Children of a Nation atau anak-anak bangsa adalah film tentang pergolakan panggung politik pada pemilu 2009. Segera setelah Pemilihan Legislatif dilaksanakan, bangsa ini mempunyai kesempatan 1 kali dalam 5 tahun untuk memilih Presiden. Pemimpin yang akan menjadi tumpuan hidup hampir dari 300 juta rakyat. 


Film ini mengangkat kisah nyata Indonesia yang jamak kita lihat saat itu. Kisah yang mungkin tidak pernah terpikiran oleh kita, ataupun liputan masa. Kisah menarik yang direkam oleh para filmmaker dari @fictionaryTV untuk mengingatkan kembali, alasan pembentukan bangsa ini.

Bahwa pemilu di Indonesia saat ini merupakan miliknya para pemilik modal atau kaum kapitalis. Kemenangan SBY-Boediono pada Pemilu 2009 lalu yang menyewa berbagai media, berbagai kelompok pegiat dunia maya untuk memenangkannya, dan juga ada intervensi dari negara asing. Hal ini terlihat sangat jelas dalam film ini yang menegaskan bahwa pemilu hanyalah milik kelompok borjuasi nasional.

Email: childrenofanation@gmail.com
Twitter: @COAN_Film

Related Posts:

Puisi Wiji Thukul Tentang Lawan Pemilu Borjuis

Puisi, Wiji Thukul, Pemilu Borjuis
Wiji
Puisi Wiji Thukul yang bertema pemilu, bahkan jika puisi tersebut dibaca dalam konteks historis waktu dan tempat puisi tersebut ditulis, akan menambah kelengkapan historiografi pemilu di Indonesia. Berikut ini aku terbitkan ulang di Weblogku ini Puisi perlawanan itu menjadi penggalan-penggalan. Puisi ini juga diterbitkan di Web KomitePolitikAlternatif. Selamat Berlawan!


Satu dan dua ataupun tiga,

Semua sama sama bohongnya,

Milih boleh, tidak memilih boleh,

Jangan memaksa, itu hak gue

(Satu, dua dan tiga, Wiji Thukul, 1992)

--------------------------------------------


Ya, ya bagong namanya, pemilu kemarin besar jasanya,

Bagong ya bagong, tapi bagong sudah mati,

Pada suatu pagi, mayatnya ditemukan orang di tepi rel kereta api.... (Sajak Bagong)

---------------------------------------------

Di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh,

Terhisap dan menanggung hutang

Disini, gali-gali, tukang becak, orang-orang kampung,

Yang berjasa dalam setiap Pemilu

Terbaring

Dan keadilan masih saja hanya janji (Kuburan Purwoloyo)

----------------------------------------------


... kudengar dari mulut seorang kawanku,

dia diinterograsi dipanggil gurunya, karena ikut kampanye PDI,

dan di kampungku ibu RT tak mau menegur sapa warganya, hanya karena ia GOLKAR,

.....


Ada juga kontestan yang nyogok tukang-tukang becak,

Akibatnya dalam kampanye banyak yang mencak-mencak

....


Di radio aku mendengar berita-berita

Tapi aku jadi muak karena isinya kebohongan yang tak mengatakan kenyataan,

Untunglah warta berita segera bubar,

Acara yang kutunggu-tunggu datang: dagelan! (Aku Lebih Suka Dagelan)

------------------------------------------------


Kami tak percaya lagi pada itu, partai politik,

Omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang,

Mengawang jauh dari kami punya persoalan

Bubarkan saja itu komidi gombal,

Kami ingin tidur pulas,

Utang lunas,

Betul-betul merdeka,

Tidak Tertekan,

...


Tegasnya = Aku menuntut perubahan! (Aku Menuntut Perubahan)

----------------------------------------------------

....

Bila tiba harinya, hari coblosan

Aku tak akan ikut berbondong-bondong

Ke tempat pemungutan suara

Aku tidak akan datang

Aku tidak akan menyerahkan suaraku

Aku tidak akan ikutan masuk ke dalam kotak suara itu

Pemilu

O pilu pilu (Hari Ini Aku Akan Bersiul-Siul)

Related Posts:

23 Mei 1965, Ulang Tahun PKI Yang Ke-5 Di Gelora Bung Karno

Ulang Tahun PKI

Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet dan Pak Yahya pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda.

Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang Belanda.[4] PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional 1921.

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia.

Keterangan Photo: Perayaan ulang tahun Partai Komunis Indonesia dirayakan secara besar-besaran, Presiden Sukarno terlihat mesra berdampingan dengan Ketua Partai Komunis Indonesia D.N Aidit pada 23 Mei 1965.

Sumber photo:
Perayaan ulang tahun Partai Komunis Indonesia dirayakan besar -besaran digelar, Presiden Sukarno terlihat mesra berdampingan dengan Ketua Partai Komunis Indonesia D.N Aidit pada 23 Mei 1965. http://sin.stb.s-msn.com/i/3E/B1582BBA12DB16CD667A3E2765DCD4_h498_w598_m2.jpg Source:AP Photo Photographer : Howard Sochurek

Referensi: wikipedia

Related Posts:

Globalisasi Neoliberal, Hanya Mengabadikan Kemiskinan (1)



Globalisasi, Neoliberal


Judul resensi di indoprogres: 
Privatization, Globalization, and PovertyGlobalisasi Neoliberal, Kemiskinan, dan (Lalu Apa?) Solusinya


Judul buku: What the Market does to People: Privatization, Globalization, and Poverty
Penulis: David Macarov
Kota terbit, penerbit: London, Zed Books
Tahun terbit : 2003
Tebal buku : 183 halaman

1 MEI 2014 yang lalu menjadi ruang dengan banyak kaca besar berjejeran di sepanjang jalan, yang memantulkan kesadaran banyak lulusan universitas produk privatisasi, mengenai buruh dan kemiskinan. Banyak mahasiswa dan mereka yang merupakan jebolan dari universitas-universiats ternama di ibukota nyinyir dan cenderung kesal terhadap aksi-aksi buruh dalam memperingati May Day atau hari buruh internasional.

Intinya,  ‘kaum terpelajar’ yang tengah menempuh pendidikan tinggi maupun yang telah menjadi sarjana itu tidak rela jika buruh punya gaya hidup yang ‘mewah’ seperti mereka dan bukannya bersyukur dengan kebutuhan-kebutuhan pokok/primer saja, padahal mereka (para buruh) sudah selayaknya hidup miskin karena buruh hanyalah lulusan SMA dan bukan lulusan S1 atau D3.2

Saya jadi teringat sebuah momen di masa lalu ketika salah satu dosen saya, pengajar mata kuliah Politik di Amerika Latin, menanyakan sebuah pertanyaan kepada seluruh peserta mata kuliah di kelas itu ‘Apa penyebab kemiskinan?’ Banyak yang terdiam, hingga salah seorang teman saya mengacungkan jarinya dan kemudian menjawab dengan cukup ngasal dan (sayangnya) juga lantang ‘Mereka miskin karena mereka malas, Mas.’ Dosen saya tersebut langsung meninggikan intonasinya dan berkata ‘Coba nanti kamu bangun jam 2 pagi dan langsung ke pasar tradisional, ya. Bisa pasar minggu atau yang lainnya. Lihat para kuli panggul yang hidup miskin di lorong-lorong pasar di sana sudah memanggul banyak sayur-sayuran berkuintal-kuintal di jam segitu, persis ketika kebanyakan orang masih tertidur lelap. Mereka sungguh pemalas, kan!’

Perdebatan mengenai definisi kemiskinan, ukuran-ukurannya, penyebab-penyebabnya serta upaya untuk mengatasi persoalan kemiskinan, tak pelak lagi merupakan salah satu perdebatan paling abadi sepanjang masa. Lebih-lebih di Indonesia, dimana kemiskinan seringkali dianggap sebagai hasil dari perbuatan perseorangan, individu yang malas, tidak punya jiwa entrepreneurship, dan sama sekali jauh dari problem yang sifatnya lebih struktural. Pertanyaannya, apa pentingnya membahas kemiskinan? Bukankah kemiskinan itu bersifat sangat relatif? Tergantung dari kemampuan tiap individu mensyukuri apa yang telah dianugerahkan padanya? Bukannya memang sudah sunatullah atau sudah seharusnya ada yang kaya dan ada yang miskin? Buku yang ditulis oleh David Macarov ini dengan cukup baik memetakan berbagai pertanyaan dan argumentasi yang mungkin terbayang di benak khalayak ketika mendengar kata kemiskinan.

Apa yang Dimaksud dengan Kemiskinan?
Kemiskinan adalah sebuah masalah, mungkin semua orang bisa bersetuju. Hanya saja, masalah yang seperti apa dan dari sudut pandang/perspektif yang seperti apa, tentu akan sangat berbeda-beda dan beragam. Pada titik inilah, pendefinisian mengenai kemiskinan dapat dilihat signifikansinya. Pendefinisian kemiskinan dapat menjadi pintu awal untuk membantu kita menganalisis berbagai pertanyaan yang menyertai kemiskinan: apa yang menjadi penyebab kemiskinan, serta posisi dan masukan kita terhadap permasalahan kemiskinan.

Perdebatan mengenai definisi kemiskinan hampir bisa dipastikan selalu terjadi sepanjang waktu. Jejak kemiskinan sendiri sudah dapat dikenali semenjak ribuan tahun yang lalu yang ditandai dengan peninggalan berbagai agama dalam menangani kemiskinan. Seperti misalnya konsep zakat dalam Islam yang menjadi ‘jawaban’ paling dikenal dalam mengatasi problem kemiskinan. Namun, apa yang dimaksud dengan kemiskinan, hingga kini masih banyak yang memperdebatkan definisinya. Dalam buku ‘What the Market does to People: Privatization, Globalization, and Poverty’ ini, Macarov mengidentifikasi bahwa terdapat beberapa pendapat umum yang berkembang seputar definisi kemiskinan.

Dalam hal ini, definisi kemiskinan seringkali ditetapkan sebuah pemerintahan suatu negara melalui penggambaran apa yang dikenal sebagai ‘garis kemiskinan’. Penggambaran mengenai ‘garis kemiskinan’ ini cenderung berbeda-beda dan tidak sama di setiap negara. Menurut Macarov, perbedaan ini sangat bergantung pada tujuan negara menetapkan ‘garis kemiskinan’ itu sendiri. Macarov menjelaskan bahwa beberapa negara menetapkan ‘garis kemiskinan’ dengan menggunakan ukuran-ukuran kemiskinan absolut, yakni berdasarkan pendapatan dan asset yang dimiliki seorang warga negara. Sementara itu, ada juga negara yang menetapkan ‘garis kemiskinan’ berdasarkan ukuran-ukuran yang bersifat relatif.
sumber: KLIK DISINI

Related Posts:

Seputar Pembantaian 65 Bagian [4]


Kudeta Militer

James Alexander Malcolm Caldwell[1] pada tahun 1969 menulis suatu laporan mengenai perlawanan bersenjata dari anggota PKI yang berusaha melawan balik pembantaian oleh rezim militer pimpinan Suharto. Dalam tulisan yang dimuat di Jurnal New Revolutionaries Left Opposition, yang disunting oleh Tariq Ali, Malcolm Caldwell menghimpun berbagai sumber pemberitaan luar negeri, pernyataan resmi pemerintah, dan menulis laporan singkat mengenai perlawanan PKI yang sudah mengambil bentuk perang gerilya dan menerapkan taktik-taktik Maois. Berikut tulisannya yang dihimpun dan diterjemahkan Bumi Rakyat:


Sebagaimana yang diperkirakan, pembantaian para komunis dan simpatisannya di Indonesia sejak kudeta Oktober 1965 telah gagal untuk melenyapkan komunisme. Sebaliknya: Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan kasar dan luka-luka telah mencampakkan ilusi konstitusionalisnya serta memutuskan untuk melawan balik. Semenjak pernyataan kebijakan umum yang dikeluarkan Komite Sentral PKI ‘di suatu tempat di Jawa’ pada 17 Agustus 1966 (Hari Ulang Tahun (HUT) proklamasi kemerdekaan Indonesia ke 21), PKI secara resmi mengadopsi perjuangan bersenjata Maois sebagai garis Partai.

Kondisi-kondisi terkini memang sedang tidak menguntungkan. Indonesia adalah kepulauan maha luas, membentang lebih dari tiga ribu mil sepanjang khatulistiwa. Masalah-masalah logistik sangat besar sekali—namun lebih merupakan masalah bagi tentara reguler daripada gerilyawan. Wilayah dalam negeri mencakup pulau-pulau terbesar seperti Kalimantan (Borneo) dan Sumatera, yang menimbulkan faktor terpencil dan sukar diakses, suatu faktor prasyarat sebagai daerah-daerah basis.

Negara Indonesia telah lama memiliki tradisi revolusioner yang panjang. Stamford Raffles (yang memerintah Indonesia sejak 1811 hingga 1815 saat masih dalam penguasaan Inggris) menulis bahwa orang Jawa: ‘…sejak kedatangan kaum Eropa, mereka tidak membuang kesempatan sama sekali untuk mencoba merebut kemerdekaan mereka’. Saat pemberontakan massal pada 1825-1830 yang dikenal sebagai Perang Jawa[2], delapan ribu orang Eropa kehilangan nyawanya sementara rakyat Jawa menderita sebanyak 200.000 korban jiwa (sebagian besar karena penyakit dan kelaparan). Di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, Sultan Yogyakarta, kaum tani bangkit secara massal di daerah Banyumas, Bagelin, Madiun, dan Kediri, serta membuktikan bahwa mereka mahir dalam perang gerilya sampai akhirnya mereka kehilangan pemimpin mereka akibat pengkhianatan Belanda. Hanya dalam beberapa tahun saja Jawa abad 19 bersih dari pemberontakan tani, ekspresi keluhan sosial dan ekonomi yang muncul bebarengan dengan daya pikat agama dan tradisi dari kaum revolusioner tani. Perlawanan terhadap Belanda juga tak dibatasi hanya terjadi di Jawa, karena banyak meletus perlawanan dimana-mana pula. Salah satu contohnya pemberontakan Maluku 1816-1818. Penundukan Belanda terhadap Aceh di Sumatera Utara yang memakan waktu hingga lebih dari 30 tahun dengan banyaknya korban jiwa pun tidak pernah tuntas sepenuhnya.

Abad ke20, yang menjadi saksi lahirnya gerakan nasionalis Indonesia modern dengan pembentukan organisasi-organisasi politik di seluruh negeri, bahkan turut menyaksikan pemberontakan-pemberontakan petani bersenjata lainnya. Selama Perang Dunia I, pasukan-pasukan Belanda harus dikirim untuk menumpas perlawanan di Kediri dan daerah-daerah industri gula lainnya di sekitar Yogyakarta dan Surakarta. Partai Komunis Indonesia, didirikan pada Mei 1920, juga merupakan salah satu partai komunis paling lama di dunia. Selama periode 1926-1927 mereka melancarkan pemberontakan di Jawa dan Sumatera, bentrokan bersenjata di Priangan dan Bantam (Jawa Barat), di Solo, Banyumas, Pekalongan, Kedu, dan Kediri (Jawa Tengah dan Jawa Timur), serta di Padang dan Padangpanjang (Sumatera Barat). Perlawanan gerilya berlangsung paling lama di Banya, yang selalu merupakan daerah bermasalah bagi Belanda—pemberontakan tani melawan Belanda meletus disana pada 1888. Penindasan brutal oleh Belanda pun diberikan dan para pimpinan PKI yang tidak terbunuh dalam peristiwa itu kemudian digantung atau dibui dan diasingkan. Banyak di antara mereka yang kemudian meninggal di tanah pembuangan di Tanah Merah akibat wabah Malaria di Irian Barat (Nugini Barat).

Perang dan penjajahan oleh Jepang membantu menyiapkan rakyat untuk perlawanan bersenjata menghadapi kembalinya Belanda. Jepang sendiri mempersenjatai dan melatih pemuda-pemuda Indonesia, sementara yang lainnya berhimpun dalam organisasi-organisasi perlawanan bawah tanah. Bentrokan bersenjata dengan Jepang tidak begitu sering sampai mendekati akhir Perang Dunia II, dengan prioritas utama untuk persiapan perjuangan menghadapi Belanda. Setelah Perang, meletus berbagai kerusuhan berupa pemberontakan tani secara spontan di berbagai bagian Indonesia, terutama di Sumatera, dimana anggota kelas penguasa tradisional yang sekian lama memiliki kedekatan dengan Belanda akhirnya dibunuh. Namun pengalaman besar Indonesia dalam perang gerilya muncul bersama dengan perlawanan panjang melawan rekolonialisme Belanda. Setelah perang mempertahankan kemerdekaan selesai, kelompok-kelompok pembangkang seperti Darul Islam, Republik Maluku Selatan (RMS), mengobarkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah baru, dan pada tahun 1958 terdapat pemberontakan besar di Sumatera. Karena itu bisa dikatakan bahwa sejak jauh-jauh hari sudah terdapat contoh bagi PKI untuk melancarkan perjuangan bersenjata.

Akibat pembantaian 1965-1966 yang dilakukan oleh penguasa militer di Indonesia, PKI tidak punya pilihan lain selain mengangkat senjata. 18 tahun sebelumnya pada 1948, karena terancam oleh penumpasan dan pembubaran terhadap unit-unit militer yang bersimpati pada PKI, maka PKI terpaksa melancarkan pemberontakan bersenjata di Surakarta dan di sekeliling kota Madiun serta di daerah Ngawi dan Ponorogo. Peristiwa 1948 merupakan kegagalan sekaligus malapetaka besar. Tentara Republik yang menumpasnya telah menangkap dan memenjarakan sebanyak 35.000 pemberontakan serta membunuh ribuan lainnya, termasuk para pimpinan komunis. Suripno, salah satu pimpinan PKI, menulis dalam penjara bahwa “Pelajaran yang kita ambil dari peristiwa ini, pelajaran yang sungguh berharga sekaligus pelajaran pahit, adalah rakyat tidak mendukung kita.”

Kenyang dengan pengalaman pemberontakan prematur, kader-kader PKI yang selamat akhirnya secara alamiah menjadi ragu dan takut untuk menempuh militansi karena khawatir berakhir dengan tragedi serupa. Pada tahun 1948 mereka telah salah menghitung pengaruh dan kekuatan wibawa Sukarno, sebagai simbol nasionalisme Indonesia, sehingga sebagai akibat dari menentang rezim Sukarno mereka mengalami kehancuran mematikan. Hal ini terjadi terlepas dari adanya frustasi ekonomi politik yang bisa saja digunakan untuk memenangkan dukungan rakyat ke sisi PKI. PKI kemudian bangkit di bawah pimpinan DN Aidit pada 1950an dengan berlindung di bawah bayang Presiden Sukarno, demi memperkuat diri mereka secara politik melawan kekuatan-kekuatan politik reaksioner di ndonesia (antara lain kelompok Muslim yang menginginkan terbentuknya negara Islam di satu sisi dan juga Angkatan Darat di sisi lain) serta secara bersamaan berusaha mencari jalan keluar dari stagnansi ekonomi, korupsi politik, serta kesenjangan sosial yang muncul seiring dengan kebijakan-kebijakan internal rezim yang gagal ini. Sembari menjalankan tindakan menjaga keseimbangan yang rapuh ini, Partai juga mencari basis massa yang benar-benar kuat agar Peristiwa 1948 tidak lagi terulang. Bahkan ketika PKI semakin dekat dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT) di awal 1960an, seiring dengan mendekatnya Sukarno ke orbit Peking, PKI juga berpegang pada rumusan Aidit mengenai transisi damai menuju sosialisme melalui pemerintah merdeka yang demokratis nasional.

Terdapat beberapa pembenaran atas optimisme PKI sebagaimana juga terhadap kewaspadaannya. Kewaspadaannya muncul akibat perseteruannya dengan angkatan darat yang sangat besar dan dipersenjatai dengan baik. Memang benar bahwa terdapat beberapa unit yang bersimpati kepada kaum komunis dan mereka juga mendapat dukungan di berbagai tentara di pangkat-pangkat yang lebih rendah. Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di bawah Oemar Dhani, serta angkatan laut atau Korps Komando Angkatan Laut (KKO) secara umum juga bersimpati. Namun kekuasaan secara besar tetap berada di tangan pejabat-pejabat militer yang anti Komunis seperti Jenderal Nasution dan Jenderal Suharto. Mereka memiliki unit-unit anti-komunis yang terlatih dalam operasi anti perang gerilya, yang dikenal sebagai Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang mereka banggakan “terlatih untuk mengemban tugas mulai dari pembunuhan sampai pengintimidasian, baik berseragam maupun tidak berseragam’.

Kewaspadaan juga disebabkan akibat struktur sosial Indonesia. Akibat beberapa alasan historis, orang Jawa yang jantung geografisnya terletak di Jawa Timur dan Jawa Tengah, namun juga tumbuh pesat di Jakarta dan sekitarnya, serta menempati eberapa daerah pedalaman di pesisir selatan dan timur Sumatera, memiliki karakteristik berbeda dibandingkan orang non Jawa dan luar Jawa. Secara khusus, masuknya agama Islam ke kepulauan nusantara telah menimbulkan perbedaan penting antara Jawa dan non Jawa. Semuanya memang Muslim, namun ketaatan lebih besar dan lebih ortodoks berlaku pada orang non Jawa daripada sebaliknya. Islam datang ke kepulauan nusantara melalui pedagang dari Timur Tengah dan pedagang muslim dari India. Mereka cenderung mempertahankan ikatan perdagangan dan dengan para pedagang—di Sumatera, di sepanjang pesisir barat dan utara Jawa, serta pulau-pulau timur lainnya. (Terdapat pula pedalaman yang menganut Hinduisme—seperti di Bali—dan menganut agama Kristen khususnya di pulau-pulau timur, seperti kepulauan Maluku).

Dikotomi kultural demikian diperkokoh dengan perbedaan kelas yang disebabkan berbagai macam alasan. Penghisapan Belanda mengalami intensifikasi pertama kali di daerah-daerah Jawa; mereka membutuhkan sawah-sawah teririgasi, penumbuhan tebu, misalnya. Penghisapan, administrasi, pertumbuhan populasi, dan pemiskinan berjalan beriring-iringan. Permasalahan ketiadaan tanah, penguasaan jabatan pemerintahan korup, serta tuan tanahisme, dengan demikian muncul paling parah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berbanding kontras dengan hal tersebut, di banyak bagian pulau-pulau luar, yang umumnya tidak terlalu padat penduduknya, masih memungkinkan bagi orang Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan internasional melalui komoditas-komoditas lokal seperti karet, yang mengubah kepulauan secara khusus mulai 1870an hingga seterusnya[3]. Akibatnya kaum tani “terploletarisasi” muncul di daerah-daerah berpenduduk padat di Jawa; sementara sejumlah kecil kaum tani di belahan daerah lainnya menjadi “terborjuasifikasi” dengan menjadi petani pemilik ladang kecil yang memiliki kepentingan dan kontak dengan ekonomi (kapitalis) internasional. Hal ini sebagian disebabkan karena hubungan mereka dengan perdagangan namun juga disebabkan budaya yang mendorong pengembangan usaha swasta dan penghematan (seperti nilai-nilai Protestan) sedangkan kaum tani yang “terploletarisasi” masih dipengaruhi budaya yang menekankan kewajiban sosial, upacara adat, dan kegiatan-kegiatan yang mementingkan solidaritas sosial dan kebersamaan. Akibatnya terdapat kesenjangan yang makin dalam di antara masyarakat Jawa, dengan kaum tani paling miskin cenderung menjadi abangan dengana kaum tani yang lebih kaya, pedagang, ulama, atau golongan santri. Hal ini tercermin dari para pimpinannya, dimana latar belakang seseorang sangat berpengaruh dalam menentukan pandangan politiknya: orang Sumatera dan penduduk pulau luar lainnya misalnya yang melancarkan pemberontakan pada 1958 memiliki tujuan dengan kandungan-kandungan yang lebih rasional dan memuat kebijakan-kebijakan kapitalistis, sementara para priayi Jawa seringkali berada diantara golongan yang menghendaki statisme dan gotong royong melalui manipulasi politik.

Akhirnya kewaspadaan tinggi muncul menyangkut hubungan dengan Tiongkok dan kaum Tionghoa. Terdapat antara dua setengah juta hingga tiga juta etnis Tionghoa di Indonesia (lebih dari sejuta diantaranya adalah warga negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT)) dan—sebagaimana di daerah lain di Asia Tenggara—hubungan antara komunitas ‘pribumi’ dengan komunitas ‘pendatang’ sangat sensitif dan terkadang mudah tersulut konflik. Beberapa orang Tionghoa Indonesia adalah pendukung PKI, namun PKI secara keanggotaan dan simpatisan yang dominan tetap bukanlah Tionghoa. Bagaimanapun juga hubungan dekatnya dengan PKT, dan kepercayaan umum bahwa ‘Sekali Cina tetap Cina’ (yang memicu mitos lain bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah barisan kelima Mao) menyebabkan PKI kesulitan mengindari cap kebencian yang dilayangkan pada kaum Tionghoa.

Sementara itu di sisi lain terdapat berbagai alasan penyebab optimisme. Hingga setahun atau dua tahun lalu sebelum kejatuhan Sukarno, Sukarno telah mempertahankan dan melindungi PKI dari bayonet-bayonet para pimpinan angkatan darat anti-komunis. Dukungan rakyat pun tumbuh. Pemilu nasional tahun 1955 dan pemiliu daerah tahun 1957 telah mencerminkan hal ini. Dalam kesempatan lainnya PKI memenangkan suara lebih banyak daripada partai lainnya di Jawa Tengah serta meraih peringkat kedua di Jawa Timur. PKI juga tumbuh sebagai mayoritas absolut, sebagaimana yang terjadi di Semarang, Surabaya, Madiun, Magelang, Malang, dan Surakarta. Sebelum pemusnahan Partai, para pimpinan PKI memperkirakan bahwa terdapat antara 16 hingga 20 juta pendukung PKI di Indonesia yang berpopulasikan 110 juta. Bagaimanapun juga, dukungan mereka mengalami kesenjangan kuat di antara kaum abangan Jawa dan priayi, serta lebih lemah di daerah lainnya (kecuali di Kalimantan, dimana terdapat Organisasi Komunis Klandestin yang beroperasi melawan Malaysia di Sarawak dan memiliki basis-basis di teritori Indonesia, dimana banyak kaum Tionghoa disana merupakan petani). Dukugan terkonsentrasikan demikian secara otomatis menimbulkan ketidakpercayaan proporsional, ketakutan dan oposisi dari kalangan santri yang saleh, konservatif, dan sejahtera.

Seiring dengan kesehatan Sukarno yang menunjukkan tanda-tanda melemah pada tahun 1964 dan awal 1965, PKI menemukan dirinya berada dalam posisi sulit. Demi membuat persiapan untuk perjuangan bersenjata, melalui propaganda dan pengamanan senjata, akan seketika mendorong penindasan oleh Angkatan Darat. Namun kini jelas bahwa kemampuan Sukarno semakin habis dalam menghalangi jenderal-jenderal sayap kanan sebelum Partai berhasil mendirikan dan mengonsolidasikan basis massa yang sepenuhnya tak terkalahkan. Pada awal 1965, PKI menyerukan untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani ‘demi mempertahankan Revolusi Indonesia’, Sukarno tak memiliki kemampuan untuk menuruti tuntutan ini, sedangkan Angkatan Darat tidak akan tinggal diam bilamana musuh besar mereka mempersenjatai diri. Gambaran mengenai apa yang akan terjadi akan menyerupai reaksi biadab yang dilancarkan para tuan tanah terhadap para petani yang melaksanakan Undang-Undang Reforma Agraria, seperti yang terjadi di Jengkol, Kediri. Organisasi-organisasi pemuda muslim militan sudah gatal untuk menggulung kaum komunis dan kaum Tionghoa, yang berbulan-bulan sebelum kudeta Jenderal, menggelar drum band di jalanan. Posisi rawan mereka di hadapan kekuatan militer dan kalangan agamawan hampir merata mengena hingga kepada para pimpinan PKI.

Bukan pada tempatnya untuk membahas masalah kudeta Untung pada 30 September dan kontra-kudeta para Jenderal dengan analisis yang begitu mendetail. Fakta hubungan yang kelihatan antara Untung dengan PKI, atau dengan beberapa anggota lainnya, serta keterlibatan organisasi pemuda dan perempuan dalam menculik dan membunuh enam jenderal, telah menjadi dalih sempurna bagi peristiwa yang muncul berikutnya: penindasan terhadap PKI dan pembantaian beratus-ratus ribu para kader dan para simpatisan PKI. Pola pembantaian ini bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya antar pulau di Indonesia, namun yang mengejutkan adalah pada awalnya perlawanan bersenjata PKI melawan pembantaian tersebut sangatlah lemah. Nampaknya ini disebabkan kebimbangan yang berlaku cukup lama, bahkan para pimpinan PKI masih percaya bahwa Sukarno masih kuat dan mampu menyelamatkan mereka. Kebimbangan ini harus dibayar mahal, karena RPKAD bergerak dari satu daerah ke daerah lain di bulan Oktober, November, dan Desember, dalam mengepalai pembantaian, termasuk mempersenjatai para anggota organisasi-organisasi pemuda Muslim untuk melaksanakan pembantaian. Di luar para kader, simpatisan, dan semua yang terbunuh, sebanyak 300.000 orang yang dianggap sebagai ‘komunis’ atau ‘simpatisan-komunis’ digiring ke kamp-kamp konsentrasi yang didirikan dengan tergesa-gesa. Sedangkan perlawanan balik dari PKI muncul dalam pola-pola yang sporadis. Seorang perwira Angkatan Darat Pro PKI di Kalimantan Tengah memimpin pemberontakan yang kemudian berhasil dihancurkan oleh Angkatan Darat. Sejumlah kecil unit Angkatan Darat divisi Jawa Tengah menaruh simpati pada PKI namun tidak melakukan perlawanan sama sekali ketika RPKAD dikirim kesana. Aidit sendiri ditembak di dekat Surakarta, ketika dia ingin melarikan diri kesana demi mendirikan area basis di Klaten dan Boyolali.

Pernyataan sikap PKI pada Agustus 1966, mendukung perlawanan bersenjata Maois, yang diikuti dengan kritik pedih terhadap kebijakan PKI sebelumnya, semata-mata merupakan suatu keharusan yang mau tidak mau harus ditempuh. Sejak saat itu, perlawanan-perlawanan gerilya sporadis telah sampai kabarnya ke Barat, dan tulisan ini merupakan suatu upaya untuk memberikan gambaran mengenai situasi terkini. Bagaimanapun juga, merangkai sejarah awal perang pembebasan rakyat bukanlah suatu hal yang mudah. Berita-berita mengenai perlawanan tersebut sangatlah jarang dan kalaupun ada, tersebar di sana-sini, serta seringkali sulit untuk diandalkan. Hal ini memang wajar apalagi karena agensi resmi pemerintah berusaha meredam sebisa mungkin perlawanan apapun yang muncul. Sedangkan kaum gerilyawan, di sisi lain, jarang memiliki saluran-saluran komunikasi reguler terhadap dunia luas. Sehingga selanjutnya yang bisa dilakukan adalah menyisir laporan-laporan dari Barat, pernyataan resmi pejabat Indonesia, dan sumber-sumber dari PK, yang tersedia seadanya baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa Indonesia.

Di Jawa, perlawanan terkuat muncul di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Aksi bersenjata untuk menculik dan mengeksekusi para tuan tanah lokal dan pejabat-pejabat reaksioner dikabarkan terjadi di Malang Selatan, Blitar Selatan, Tulungagung, Bojonegoro, dan Kediri. Bentrokan-bentrokan dengan aparat keamanan muncul juga di Ngawi, Malang, dan Banyuwangi. Pada Bulan Maret 1968, sebanyak 330 perwira dan prajurit Angkatan Darat, dikabarkan telah menyeberang secara massal ke gerilyawan-gerilyawan PKI, mengangkat senjata dan menggunakan peralatan-peralatan lainnya, di Malang, Jawa Timur. Seorang jurnalis Kompas, surat kabar Katolik, mengunjungi Jawa Timur di tahun berikutnya dan melaporkan bahwa kegiatan-kegiatan PKI memiliki karakter politik dan sangat terorganisir dengan baik, serta bahwa di pedesaan Malang, Banyuwangi, dan Tulungagung meletus berbagai insiden bersenjata hampir tiap hari. Sementara itu, aksi-aksi lain ditujukan untuk merampas peralatan militer—senapan, granat, senapan mesin, dan sebagainya. Di daerah Surabaya, kaum gerilyawan PKI menyerang dan melengkapi suplai mereka dari depot amunisi Angkatan Darat (yang kini telah dibersihkan dari elemen-elemen pro-PKI seperti mantan Marsekal Angkatan Udara Republik Indonesia, Omar Dhani).

Menilai dari konsultasi-konsultasi di administrasi jajaran atas mengenai situasi-situasi Jawa Timur, jelas bahwa pihak otoritas sangat terganggu oleh perkembangan tersebut. Pada 5 Agustus 1968, The Times London melaporkan bahwa sebanyak 600 gerilyawan PKI telah tertangkap dan 30 lainnya terbunuh dalam serangan Angkatan Darat di Tenggara Jawa. Flame Thrower atau penyembur api, sulfur, dan dinamit dikerahkan penggunaannya untuk menggelontor mereka agar keluar dari tempat-tempat persembunyiannya. Sepekan berikutnya, koran yang sama melaporkan bahwa sebanyak 50 gerilyawan telah tewas dalam serangan terhadap daerah terpencil di Jawa Timur, serta jaringan terowongan-terowongan dan gua-gua ‘benteng pertahanan komunis’ telah ditemukan. (Sebelumnya diasumsikan secara luas bahwa PKI berupaya mendirikan daerah basis di bagian selatan Jawa Timur dan Jawa Tengah; serta berbagai kondisi, terlepas dari kenyataan bahwa derah-daerah tersebut merupakan jantung pusat dukungan lama, namun merupakan daerah menguntungkan karena terdapat hutan-hutan, pegunungan, serta daerah sawah subur yang mana dukungan dari kaum tani bisa diraih dari sana). Sementara itu pencerabutan pada ‘komunis’ dari kehidupan publik terus berlanjut. Pada permulaan Agustus 1968 dilaporkan dari Jakarta bahwa sebanyak 800 orang yang dicurigai sebagai komunis, telah ditangkap, termasuk diantaranya lima orang perwira senior Angkatan Darat.

Insiden-insiden juga dikabarkan bermunculan dari waktu ke waktu dari Jawa Barat, Sulawesi (Celebes), dan Sumatera. Pada April 1968 52 anggota angkatan bersenjata ditangkap dan didakwa merencanakan pembangunan sel komunis bawah tana di Sumatera Selatan. Sejak akhir 1967 kaum tani di Sumatera Utara telah berusaha untuk merebut tanah dari perkebunan-perkebunan ‘Negara’ (yang sebenarnya merupakan perusahaan pribadi dari birokrat militer yang menjalankannya) serta dipukul mundur secara brutal, kini telah berada di perbukitan dan memulai perjuangan bersenjata.

Namun perlawanan paling gigih dan berbobot dari kaum gerilyawan PKI selama ini dilaporkan muncul di Kalimantan. Disana luasnya hutan dan pegunungan sangat menguntungkan kaum gerilyawan. Terlebih sejak pembantaian November 1967 (yang dilancarkan oleh sebagian Dayak lokal dengan persekutuan Angkatan Darat), dimana ratusan orang Tionghoa tewas dan puluhan ribu digiring dari rumah mereka di pedesaan menuju kamp-kamp konsentrasi darurat di dekat Pontianak dan pelabuhan-pelabuhan lainnya. Selain itu seluruh populasi Tionghoa di Borneo—lebih dari sejuta di Sarawak, Sabah, dan Kalimantan—telah dipandang sebagai lawan potensial bagi rezim Suharto. Kedua belah pihak juga saling mengklaim kemenangan-kemenangan dalam berbagai pertempuran yang terjadi. Selain itu jumlah pertempuran yang bermunculan mengindikasikan bahwa ini merupakan area lain dimana, sebagaimana di Jawa Timur, situasinya telah berkembang baik bagi PKI dan buruk bagi Pemerintah.

Pada Oktober 1967, empat bulan setelah perlawanan bersenjata pertama kali dilaporkan meletus,suatu bentrokan dimana 150 gerilyawan terbunuh terjadi di gunung Merbabu, dekat kota Bengkajan. Bantuan pasukan pemerintah dari berbagai tempat lain, khususnya dari Sumatera, kemudian segera dialihkan ke Kalimantan Barat, ke pusat pemberontakan gerilyawan. Menurut perkiraan-perkiraan resmi, jumlah gerilya bersenjata cukup kecil dan mereka mengklaim hanya berkisar antara tujuh ratus hingga dua ribu. Namun angka demikian sudah cukup, bila jumlah tersebut memang benar dan akurat, untuk memberikan masalah besar dan perhatian besar bagi pihak otoritas. Celah dimana Divisi Siliwangi telah dikirim untuk melawan para gerilyawan, dan pada Maret 1968 pertemuan tingkat tinggi para komandan militer diadakan untuk mendiskusikan program pengamanan terkait hal tersebut.

Pertempuran-pertempuran Kalimantan Barat rupanya dikomandoi oleh Sofyan, seorang pimpinan PKI, yang dikatakan memiliki daerah basis di daerah Gunung Slabu. Bentrokan-bentrokan juga dikabarkan meletus di Batu Hitam, Bengkayan, Sengkung, Melantjeu, Benua Martinus, Sambas, Seluas, Sanggau, Singkawang, dan di daerah-daerah lainnya. Pasokan-pasokan beras disimpan berkodi-kodi di area-area pelatihan semi permanen di daerah-daerah antara Sambas dan Pontianak, berpusat di Gunung Niut, dalam jangkauan yang terbentang hingga melewati perbatasan Sarawak. Pasokan-pasokan demikian di area-area terpencil dan tak terjangkau menunjukkan adanya dukungan lokal ekstensif untuk pengiriman, pengantaran barang, serta kesediaan untuk bungkam. Di daerah hutan-hutan belantara, para gerilyawan sendiri mampu membabat lahan dan bercocok tanam.

Secara kontras, pasukan-pasukan pemerintah menghadapi permasalahan-permasalahan logistik serius. Tidak ada jalan raya serta terlalu sedikit helikopter Rusia (yang diperoleh berkat kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet) untuk memberikan mobilitas yang dibutuhkan tentara. Pasukan-pasukan pemerintah butuh berhari-hari untuk mencapai sasaran, kekurangan bahan makanan, obat-obatan, dan suplai-suplai lainnya yang diperlukan. Kebanyakan pasukan-pasukan reguler tidak suka dengan hutan Borneo, yang asing bagi mereka. Dalam melakukan pembalasan dendam terhadap kampung-kampung yang mereka duga membantu dan menyembunyikan para pemberontak, pasukan pemerintah mengalienasi penduduk lokal dengan membakar rumah-rumah, merampok dan menjarah, serta memperlakukan para penduduk kampung tersebut dengan kasar dan semena-mena. Demi mencegah para gerilyawan mendapatkan perlindungan di Sarawak, pemerintah Indonesia berusaha bekerjasama secara erat dengan pasukan keamanan Malaysia di sepanjang perbatasan. Setelah penyergapan oleh lima ratus tentara pembebasan di sekitar enam puluh kilometer dari kota Bengkayanpada akhir November 1967, pasukan-pasukan keamanan sadar bahwa mereka sedang menghadapi kaum gerilya terlatih dan bersenjata lengkap dengan senjata otomatis, mortir berat, dan perlengkapan canggih lainnya, serta terlindungi dengan baik oleh daerah pegunungan dan pedesaan yang menguntungkan kaum gerilyawan. Dalam penyerbuan kota Singkawang, para gerilyawan berhasil melarikan diri dengan lebih dari dua ratus senjata otomatis baru. Daerah-daerah basis yang dikosongkan oleh para pemberontak dan diduduki kemudian oleh para pasukan keamanan meninggalkan berbagai salinan tulisan-tulsan Mao Tse Tung, sehingga tidak ada keraguan lagi bahwa kaum gerilyawan memang bersiap untuk perjuangan jangka panjang dan terus-menerus.

Karena alasan-alasan demikian maka sejumlah kegelisahan terhadap situasi tersebut terus diekspresikan di media massa resmi Indonesia selama 1968. Akhir-akhir ini pemberontakan menyebar ke Kalimantan Timur, dimana kelompok-kelompok gerilyawan bergerak dekat Kerajan dan Longawan.

Terlalu dini untuk berspekulasi mengenai perkembangan gerilya kaum tani dalam perjuangan pembebasan di salah satu negara terbesar di dunia ini. Namun beberapa faktor tertentu harus ada sebagai prasyaratnya. Pertama, krisis ekonomi berkelanjutan. Meskipun terdapat rencana-rencana yang diuji untuk memperbaiki ekonomi, rezim militeris sayap Kanan terbukti telah gagal dalam menahan kemerosotan ekonomi. Kelaparan dan kemelaratan tetap menimpa banyak rakyat miskin di perkotaan dan pedesaan, sementara kekayaan segelintir elit penguasa semakin besar dari waktu ke waktu. Terdapat berbagai demonstrasi massa menuntut beras di Jakarta di awal 1968. Korupsi, sekali lagi, terlepas dari janji-janji reformasi yang nyaring berbunyi, malah semakin memburuk. Sepertinya tidak terdapat prospek perbaikan signifikan di lapangan ekonomi bagi rakyat Indonesia pada umumnya, meskipun segelintir orang kaya dan berkuasa diuntungkan oleh bantuan dan investasi asing.

Kedua, intervensi Amerika di perkara urusan Indonesia pasti memicu respon kedengkian nasonalistis. Terlepas dari Pemerintahan AS memiliki pengaruh ekonomi vital melalui konsorsium internasional dengan kreditur kapitalis dan melalui agensi-agensi ekonomi internasionakm bisnis AS telah mengarahkan dan memporak-porandakan ekonomi dengan mengambil keuntungan yang dirampas AS melalui regulasi-regulasi hukum terbaru yang mendorong modal asing untuk menjawab permintaan bantuan finansial darurat. Secara alamiah, untuk menjaga agar investasi tersebut dan untuk membantu menjamin “iklim” yang tepat untuk investasi lebih lanjut, maka diadakanlah keberadaan militer AS. Tampaknya untuk tujuan-tujuan yang tidak bersalah, perluasan pesat angkatan bersenjata AS dipimpin oleh seorang kolonel yang, menurut kata-kata wartawan The Times pada 8 Juli 1968: “…merupakan veteran berpengalaman dalam Pasukan Khusus dan Kontra-Insurgensi di Asia”. Basis-basis baru telah didirikan dan basis-basis lama telah direnovasi. Pembangunan neo-kolonial sedemikian lancang pastinya akan memicu reaksi lokal, yang mana PKI bisa memenangkan dukungan mereka.

Ketiga, kaum mahasiswa yang telah memainkan peran dalam memperbolehkan para pimpinan Angkatan Darat untuk menggulingkan Sukarno, telah menikmati buah simalakama saat mereka menyadari bahwa rezim yang mereka dukung telah membuka kedoknya sebagai penindas yang banal dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan massa. Para idealis dan realis politik di antara kelompok-kelompok yang berpengaruh di masyarakat Indonesia kini hanya punya satu arah pilihan—yaitu menuu PI dan perjuangan senjata untuk masyarakat sosialis.

Keempat, pimpinan tertinggi tidaklah tersatukan dan bahkan bisa jadi terpecah belah dalam pertikaian antar faksi, dengan satu sisi mendukung Nasution dari Sumatera dan kaum Santri Jawa, di sisi lainnya, mendukung Suharto. Nampaknya juga sulit untuk menyembuhkan perpecahan dalam masyarakat Indonesia yang begitu tragis diperburuk oleh pembantaian yang mereka sendiri lakukan selama periode 1965-1966. Rekam jejak rezim demikian dimanapun juga baik di Asia, Afrika, maupun di Amerika Latin, akan membawa kesimpulan bahwa hal tersebut tidak akan membawa penyelesaian dan pemecahan masalah melainkan hanya melayani kepentingan kapital monopoli internasional yang dipimpin oleh AS.

Kelima, pembantaian mengerikan yang terekspos melalui kekerasan anti PKI hanya meninggalkan luka dan kesedihan bagi komunitas Tionghoa Indonesia. Suatu laporan mengklaim bahwa tak ada satu pun orang Tionghoa yang dibiarkan hidup di pesisir barat Aceh di Sumatera Utara. Begitu halnya di Jawa, penindasan melalui kekerasan menimpa banyak komunitas Tionghoa. Namun banyak pula yang melaporkan bahwa mereka mampu melawan balik sembari menyerukan slogan-slogan Maois, di Kediri, Melang, Probolinggo, Pasuruan, bondowoso, Situbondo, Panarukan, dan Besuki, serta berupaya merampas persenjataan dari detasemen angkatan bersenjata setempat.

Keenam, situasi keamanan secara keseluruhan di daerah, dari sudut pandang AS dan sekian rejim yang menjadi antek-anteknya, secara umum tengah merosot. Partai Komunis Malaysia (PKM) telah aktif lagi di Malaysia Utara dan kamp basis mereka sempat ditemukan di Johor Selatan. Dua perlima Burma kini, mengacu ke sumber-sumber AS, ada di tangan Komunis Burma. Pertempuran juga tengah berlangsung di utara, timur laut, dan selatan Thailand, serta meletus dalam skala signifikan di Filipina. Vietnam juga secara terus menerus menentang agresi militer skala penuh AS. Gerakan pembebasan nasional di Indonesia harus mengambil keuntungan dari perluasan gerakan pembebasan dimana-mana dan di tiap daerah, seiring dengan makin terpecahnya serta terceraiberainya perhatian dan kekuatan AS.

Rakyat sedunia akan mengamati dengan perhatian dan kepentingan besar terhadap upaya PKI untuk meraih kemenangan dengan perjuangan senjata serta memperjuangkan keadilan ekonomi bagi rakyat miskin disana, hingga meraih kemerdekaan ekonomi sepenuhnya bagi negara mereka, bebas dari penindasan jaring neo-kolonialisme negara-negara kapitalis Barat.

-----------------------------------------------------------------
[1] James Alexander Malcolm Caldwell merupakan anak buruh tambang batu bara yang kemudian menjadi seorang penulis Marxis dan pengajar di Inggris. Malcolm Caldwell bukan sekedar akademisi melainkan juga seorang aktivis politik. Dia sendiri sempat melakukan kerja pengorganisiran di bawah Partai Buruh di Inggris dan sempat maju sebagai salah satu kandidat dalam pemilihan umum daerah di Sidcup, Bexley. Malcolm Caldwell terbunuh di sekitar tahun 1978 saat sedang melakukan peliputan ke Kamboja ketika Khmer Merah berkuasa.

[2]Perang Jawa juga dikenal sebagai Perang Diponegoro di Indonesia

[3] Lihat Malcolm Caldwell, (1968). The Modern World: Indonesia. Oxford University Press.

sumber: bumirakyat

Related Posts: