Kerugian Sistem Kerja Kontrak Dan Outsourcing Bagi Buruh

Sistim kapitalis

MERDEKA FILES, Jakarta - Pertama, Praktek ini merupakan suatu taktik bagi para majikan/pengusaha untuk mengeruk keuntungan lebih besar di atas penderitaan kaum buruh. Bagi buruh tetap, perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin berbagai jaminan sosial seperti jamsostek, THR, bonus, pesangon jika ter-PHK dan, Uang pensiun, dsb. Sementara bagi buruh/pegawai kontrak, ia hanya mendapatkan upah yang sesuai dengan UMP saja. Tidak lebih, bahkan mayoritas dari buruh kontrak dan outsourcing upahnya dibawah ketentuan UMK/UMP. Bila sakit ia tidak mendapat santunan kesehatan. Bila ia di-PHK, ia tidak mendapat pesangon betapapun ia sudah lebih dari 5 tahun. Bila ia kritis terhadap kebijakan perusahaan yang merugikan kaum buruh/pegawai, ia diputus kontraknya atau dipaksa mengundurkan diri secara sepihak. 



Sudah menjadi ketakutan umum bagi buruh kontrak, bahwa ketika ia bergabung dengan Serikat Buruh. Pada saat itu pula juga mengancam statusnya kerjanya. Dengan mempermainkan waktu kontrak sependek mungkin (sekitar 3 bulan, 6 bulan hingga setahun), maka status kepastian kerja sangat rentan di pihak buruh/pegawai. Besar kemungkinan bagi buruh/pegawai yang bergabung dengan Serikat Buruh/Pekerja/Pegawai sejati dan terlibat dalam perjuangan akan di-PHK, dimutasi, dipaksa mundur dan tidak diperpanjang lagi kontrak 3 bulan berikutnya. 


Kedua, Hakekat outsourcing adalah menyerahkan beberapa bagian pekerjaan di luar produksi utama kepada pihak di luar perusahaan. Bahasa lain dari outsourcing adalah sub-kontrak/order. Fenomena ini meluas di kalangan industri sektor jasa seperti perbankan dan niaga, namun kini juga telah berkembang di industri manufaktur hingga yang paling modern. Persoalan oursourcing lagi-lagi adalah bentuk penghisapan untuk menumpuk keuntungan lebih besar dan upaya dari perusahaan untuk lepas tanggung jawab atas perbaikan nasib buruh. Karena jika buruh bekerja dalam status outsorcing bisa dipastikan dia adalah buruh kontrak. 

Banyak perusahaan IT di AS yang berpindah ke India untuk mencari upah buruh yang lebih rendah. Beberapa komponen di luar yang inti seperti mesin mereka sub-kontrakkan. Demikian juga di Eropa dan Jepang, banyak perusahaan otomotif, elektronik, garmen, sepatu, dsb, yang membikin perakitan sebagian part-part-nya di negeri-negeri dunia ketiga dengan upah buruh yang murah untuk mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan. 

Banyak majikan/perusahaan yang awalnya mempekerjakan buruh tanpa melalui perjanjian kerja, bahkan buruh hanya menggunakan KTP untuk melamar kerja tetapi setelah buruh bekerja 3 bulan atau lebih majikan/pengusaha memanggil si buruh untuk menandatangani perjanjian kerja dengan alasan dilakukan perpanjangan kontrak. Kontrak tersebut biasanya dalam bahasa asing (bagi perusahaan asing) dan sering pula kontrak hanya atas dasar persetujuan secara lisan. 

UU No 13/2003 Pasal 57 ayat 1 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Dan dalam pasal 2 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. 

Selain dua praktek diatas tidak sedikit pengusaha yang melakukan perpanjangan kontrak hingga lebih satu kali bahkan tidak sedikit buruh yang menandatangani kontrak hingga puluhan kali yang kemudian si buruh tetap menjadi buruh kontrak meskipun masa kerja telah melebihi 3 tahun. Padahal dalam pasal 59 ayat 4 “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”. 

Fenomena terbaru yang berkembang saat ini adalah semakin banyak pengusaha dengan kedok memberikan sarana pendidikan dan pelatihan mereka mendirikan Pusat. Banyak buruh yang salah dalam memandang karena seolah-olah perusahaan baik dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan gratis. Padahal jika kita pahami lebih dalam maka akan terkuaklah keculasan para pengusaha tersebut. Mereka sejatinya menghindari tenaga kerja buruh/pegawai baru dengan status masa percobaan/training. Sebab, apabila buruh/pegawai yang sudah mampu bekerja dengan baik di Pusat Pelatihan tersebut maka mereka akan melakukan rekruetmen dengan status ikatan dinas dengan masa kerja 3-5 tahun. Padahal mereka bekerja dengan status buruh kontrak dengan masa kerja yang sangat panjang dan menindas buruh mereka di kontrak sampai dengan 5 tahun. Apabila belum selesai masa kontrak/ikatan dinas buruh ingin keluar dari perusahaan maka mereka diberikan denda sebanyak biaya pendidikan dan pelatihan perusahaan. Kondisi kerja dan peraturan yang dialami oleh buruh di Indonesia sama dengan apa yang dialami oleh buruh migran.

Related Posts:

May Day, Persatuan Perlawanan Buruh Di Lapangan Haymart

Mayday, Hari buruh internasional

MERDEKA FILESChicago - Sejarah May Day sebagai buruh tercatat lahir dari perjuangan besar buruh pada April 1886. Saat itu ratusan ribu buruh di AS bergabung dalam organisasi buruh Knights of Labour untuk menghentikan dominasi pengusaha. Perjuangan ini menemukan momentumnya di Chicago. Negara bagian ini memang menjadi pusat pengorganisiran serikat-serikat buruh di AS. 

Menjelang Mei, mereka telah melakukan propaganda menuntut kerja “delapan jam sehari”. Saat itu kondisi buruh memang memprihatinkan. Mereka diharuskan bekerja 12-15 jam sehari. Mereka pun harus puas dengan upah yang sangat rendah. 

Menjelang Mei 1886, puluhan ribu buruh mogok. Kondisi ini mengakibatkan kondisi perindustrian di Chicago lumpuh. Pada 1 Mei 1886 Federasi Buruh Amerika mengoordinasi sebanyak 350.000 buruh untuk melakukan pemogokan di banyak tempat di Amerika Serikat. Pada 3 Mei, terjadi insiden penembakan terhadap 14 orang buruh pabrik McCormick oleh polisi sedangkan puluhan lainnya luka-luka. dan memicu reaksi keras dari para buruh. 

Puncak insiden ini terjadi pada 4 Mei 1886. Aksi buruh saat itu dipusatkan di lapangan Haymart. Pada awalnya aksi ini berjalan damai. Namun tiba-tiba sebuah bom meledak di dekat barisan polisi. Seorang polisi terluka dan belasan lainnya terluka. Polisi menduga buruhlah yang menjadi dalang di balik insiden pengeboman tersebut. Polisi langsung menembaki kerumunan buruh yang masih ada di lapangan Haymart. Banyak yang terluka maupun tewas. Meski tidak diketahui siapa yang melakukan pengeboman pada akhirnya pemerintah Amerika melakukan tindakan keras pada aktivis buruh. 

Hampir semua pimpinan buruh ditangkap. Pengadilan digelar untuk mereka. Sayangnya, pengadilan tersebut lebih berpihak pada pengusaha. Delapan orang aktivis diberi hukuman gantung. Sedangkan aktivis lainnya dijatuhi hukuman penjara. Masyarakat luas merespon hasil pengadilan tersebut dengan kemarahan. Pengadilan AS dituding korup dan lebih memihak kaum pengusaha. Unjuk rasa untuk menuntut pembebasan para aktivis buruh pun digelar. Akhirnya pada 1893, tiga orang aktivis buruh dibebaskan.

Untuk menghormati pengorbanan para martir yang rela mati untuk memperjuangkan nasib buruh  Kongres Sosialis dunia di Paris pada Juli 1889 menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh sedunia. Bulan Mei dipilih mengingat pada bulan itulah terjadi puncak momentum dari perjuangan serikat buruh sekaligus sebagai simbol persatuan perlawanan buruh di AS yang bergabung dalam organisasi Knights of Labour.

Related Posts:

Amnesti Internasional: Buruh Migran Jadi Budak Qatar

Piaa Durnia 2022 Qata

MERDEKA FILESDoha - Sektor konstruksi Qatar diduga menjadi tempat maraknya tindak kekerasan, seperti dilaporkan Amnesti Internasional (AI) yang diluncurkan bertepatan dengan dimulainya pembangunan stadion Piala Dunia FIFA tahun 2022 mendatang.



Amnesti mengatakan bahwa buruh migran seringkali tidak mendapatkan upah, bekerja dalam kondisi yang berbahaya dan tinggal di akomodasi yang kumuh.

Organisasi independen pembela hak azasi manusia ini juga mengatakan bahwa salah seorang manajer menyebut para buruh ini sebagai "binatang."

Para pejabar Qatar telah mengatakan bahwa kondisi kerja akan disesuaikan dengan mereka yang terlibat dalam pembangunan berbagai fasilitas Piala Dunia ini. Namun mereka belum berkomentar soal laporan terbaru Amnesti Internasional ini.

Amnesti mengatakan bahwa mereka mewawancarai 210 buruh, majikan dan pejabat pemerintah untuk membuat laporan yang diberi judul, 'Sisi Buruk Migrasi: Menyoroti Sektor Konstruksi Qatar Menjelang Piala Dunia.'

Laporan ini memasukkan pengakuan dari para buruh migran asal Nepal yang dipekerjakan oleh sebuah perusahaan pengantar barang ke proyek konstruksi yang berkaitan dengan rencana pembuatan markas FIFA.

Para buruh itu mengatakan bahwa mereka "diperlakukan seperti sapi perah", bekerja hingga 12 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu, termasuk pada saat musim panas Qatar yang begitu menyiksa karena sangat terik.

Amnesti mengatakan beberapa pelanggaran itu dikategorikan sebagai "kerja paksa."

Sejumlah buruh migran diancam akan dikenai denda, dideportasi atau akan kehilangan penghasilan jika mereka tidak masuk kerja, meskipun mereka tidak dibayar, ujar Amnesti.

Tahun 2012, lebih dari 1.000 orang dirawat di unit trauma di rumah sakit utama di Doha karena terjatuh dari ketinggian di tempat kerja, imbuh Amnesti, mengutip seorang perwakilan rumah sakit yang tak disebutkan namanya.

Dari buruh yang dirawat di rumah sakit, 10 persen di antaranya cacat dan angka kematian mencapai jumlah yang "signifikan", imbuh Amnesti.

"Sangat tidak bisa dimaafkan bahwa di salah satu negara terkaya di dunia, begitu banyak buruh migran yang dieksploitasi secara kejam, gaji mereka tidak dibayar dan dibiarkan berjuang untuk bertahan hidup," kata Salil Shetty, Sekretaris Jenderal Amnesti Internasional.

"Temuan kami mengindikasikan terjadinya eksploitasi dalam tingkat yang mengkhawatirkan."

"FIFA memiliki tugas untuk mengirim sebuah pesan kuat kepada publik bahwa mereka tidak akan menolerir pelanggaran hak azasi manusia di proyek-proyek konstruksi yang berkaitan dengan Piala Dunia."

Laporan Amnesti Internasional ini menyusul laporan yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh surat kabar Inggris, The Guardian, bulan September kemarin yang menyamakan kondisi para pekerja ini seperti "perbudakan di era modern."

Investigas The Guardian memicu respon kuat dari asosiasi pesepakbola profesional dunia Fifpro, yang bekerja sama dengan Uni Global Union, yang menyuarakan hak 20 juta pekerja di sektor layanan jasa.

Mereka mengatakan, Qatar harus melindungi hak-hal para pekerja yang ikut mempersiapkan Piala Dunia 2022.

Anggota dewan FifPro Brendan Schwab mengatakan bahwa insiden ini "tak bisa dimaafkan karena mengorbankan hidup para buruh, terlebih telah diterapkannya praktek-praktek perbudakan modern dan rentannya keselamatan buruh dalam industri konstruksi."

Related Posts:

Perbudakan Modern Di Balik Piala Dunia 2022 Qatar

Piala dunia 2022


MERDEKA FILES, Doha - Persiapan piala dunia 2022 ternyata diselubungi oleh beberapa bukti dan fakta yang mengejutkan di balik penunjukan Qatar sebagai tuan rumah. Setelah sebelumnya beredar isu terdapat indikasi korupsi di balik keputusan FIFA menetapkan negeri yang dipimpin oleh Tamim bin Hamad Al Thani sebagai negara penyelenggara, kini ditemukan lagi fakta baru. Laporan The Guardian menyebutkan adanya perlakuan kekerasan dan perbudakan terhadap buruh migran dari Nepal yang bekerja dalam pembangunan stadion untuk Piala Dunia 2022.

The Guardian melaporkan bahwa terdapat sekitar 44 buruh migran yang telah meninggal dunia pada periode 4 Juni sampai 8 Agustus 2013. Setengah dari data kematian tersebut disebabkan oleh serangan jantung atau kecelakaan kerja dikarenakan tidak adanya jaminan keselamatan kerja dan kesehatan buruh migran tersebut dari Pemerintah Qatar.

Dalam beberapa penyelidikan serta penelusuran, The Guardian menemukan sistem perbudakan modern tengah berlangsung di Qatar, diantaranya:

1. Kerja paksa di semua proyek pembangunan infrastruktur untuk Piala Dunia;
2. Para buruh migran asal Nepal ini mengaku bahwa mereka belum menerima gaji selama berbulan-bulan. Alasan penahanan gaji ini adalah agar para buruh tidak melarikan diri;
3. Penyitaan paspor dan KTP oleh pengusaha/bos mereka. Hal ini semakin diperburuk dengan penolakan pengeluaran KTP sementara oleh otoritas Qatar. Para buruh tersebut pun terkadang dianggap sebagai imigran gelap;
4. Beberapa buruh juga mengatakan bahwa mereka tidak diberi akses air minum gratis saat bekerja di tengah gurun;
5. Sekitar 30 buruh terpaksa mengungsi di Kantor Kedutaan Besar Nepal di kota Doha untuk menghindari perlakuan brutal di lingkungan kerja mereka.

Related Posts:

Buruh Bangladesh Desak Penghapusan "Perbudakan Modern"

Perbudakan Modern


DHAKA - Desakan demo besar-besaran buruh akhirnya membuat pemerintah Bangladesh telah berjanji untuk mengimplementasikan serangkaian perubahan di bidang perburuhan. Pemodal/pengusaha  mempertimbangkan ongkos yang harus mereka bayar untuk menjalankan bisnis di negara tersebut, menyusul insiden runtuhnya pabrik garmen yang menewaskan ratusan buruh.

Hal ini terungkap dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), termasuk merekrut 200 inspektor gedung tambahan dalam waktu enam bulan, mengkaji ulang produksi garmen yang berlaku saat ini dan berjanji untuk memperbaiki semua pabrik yang bermasalah.

Perjanjian antara organisasi PBB dan pejabat Bangladesh ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional mengenai kondisi kerja di Bangladesh.

Perjanjian ini menyerukan dilakukannya paket reformasi legislasi yang akan disampaikan pada saat parlemen Bangladesh bersidang bulan Juni mendatang. Aturan ini akan memastikan hak-hak para buruh untuk terlibat dalam perundingan bersama dan menjamin perwakilan serikat buruh.

Namun implementasinya masih terus dipertanyakan. Politik Bangladesh dikenal tak stabil, dan para analis mengatakan pekerjaan besar diperlukan untuk mengubah budaya aturan yang longgar dan hubungan erat antara pemilik pabrik dan pemerintah.

Hampir dua minggu telah berlalu sejak pabrik garmen runtuh luar ibukota Dhaka, yang memicu protes di jalan-jalan Bangladesh dan para pengecer asal Barat yang menjual barang yang diproduksi di negeri tersebut.

Total ada 657 jenazah yang dikeluarkan dari gedung yang ambruk itu. Sementara diduga korban bisa mencapai seribuan karena banyak pekerja yang masih tertimbun di bawan reruntuhan dan anggota keluarga yang hilang masih tidur di tenda yang didirikan di lokasi gedung tersebut.

Tragedi ini menyusul terjadinya kebakaran dua gedung di bulan November yang menewaskan lebih dari 100 pekerja.

Ekonomi Bangladesh hampir seluruhnya bergantung pada industri garmen, dengan sekitar 4.500 pabrik beroperasi di negeri itu.

Banyak perusahaan kapitalis yang berminat membuka pabrik di negara itu karena mereka mencari ongkos produksi yang lebih murah dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk memenuhi permintaan global akan pakaian murah. Namun memotong ongkos produksi artinya memberikan upah murah dan kondisi tempat kerja yang tidak aman.

Rata-rata buruh industri garmen di Bangladesh mendapatkan upah rendah antara 10 hingga 30 sen setiap jamnya, dan banyak pabrik yang tidak memiliki jendela ataupun pintu darurat, menurut sejumlah aktivis hak-hak buruh. Pada saat yang sama, para pendukung industri garmen, mengatakan bahwa industri ini telah memicu pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi perempuan yang tinggal di masyarakat yang konservatif.
Pekan lalu, Uni Eropa mengingatkan bahwa Bangladesh harus membuat pabrik-pabrik mereka menjadi lebih aman atau menanggung resiko kehilangan akses istimewa ke pasar terbesar negeri itu. Akhir pekan kemarin, Komisioner Perdagangan UE Karel De Gucht makin menambah tekanan terhadap Bangladesh, dengan menyatakan bahwa kondisi buruh di negara itu tak ubahnya seperti "perbudakan modern."

"Kami sekarang melihat bahwa praktek perburuhan ini - kami tidak bisa mengatakan di bawah standar - nyaris tidak mendapat upah, dan di atas segalanya, mereka harus bekerja dalam kondisi kesehatan dan keamanan yang benar-benar tidak bisa diterima," sahut De Gucht saat wawancara dengan sebuah media Belgia.

Saat ini Bangladesh menikmati akses bebas pajak dan kuota ke pasar EU melalui sebuah program bernama Generalized System of Preferences (GSP), yang memungkinkan 48 dari negeri termiskin mengekspor apapun tanpa batas, kecuali senjata.

"Pemerintah Bangladesh harus mengubah beberapa hal dan saya sudah sangat jelas - mereka harus menetapkan kerangka waktu yang jelas dan tepat," kata De Gucht. "Kalau tidak, saya siap untuk memulai penyelidikan."

Ini yang pertama kalinya Uni Eropa mengancam untuk mengambil tindakan melawan Bangladesh dalam konteks program perdagangan GSP. Sebagai upaya terakhir, Uni Eropa bisa menangguhkan akses istimewa Bangladesh untuk masuk ke pasar mereka, sebuah langkah yang diambil di masa lalu untuk melawan masalah hak asasi manusia di Myanmar dan Sri Lanka.

Sejumlah pengusaha tampaknya mengevaluasi ulang penggunaan buruh di pabrik mereka di Bangladesh.

Bulan Maret kemarin, The Walt Disney Company menghentikan produksi cenderamata mereka di Bangladesh demi untuk meningkatkan standar keamanan di rantai pasokan mereka.

Disney juga berencana untuk menghentikan produksi mereka di empat negara lainnya - Ekuador, Venezuela, Belarus dan Pakistan - mulai bulan April 2014.

"Apa yang terjadi di Bangladesh, bagi saya, benar-benar tidak dapat diterima dalam konteks kemanusiaan," kata De Gucht. "Jika ini mengakibatkan harga kaos dan celana jins naik sedikit, yah, itulah yang akan terjadi." (cnn/sh)

Related Posts:

IHapuskan Perbudakan Modern Sekarang Juga


Perbudakan Modern

FAKTA PERBUDAKAN MODERN

Saat ini, manusia masih diperdagangkan dan dijadikan budak di banyak negara di seluruh dunia. Perbudakan yang tersembunyi di pabrik, di pertanian, dan di belakang pintu tertutup, di rumah dan tempat-tempat lain di kota-kota Negara-negara terkaya dan termiskin di dunia. Tapi dengan kekuatan kampanye di seluruh dunia, jaringan sosial, dan teknologi, kami dapat mengekspos kejahatan-kejahatan tersembunyi ini – sehingga kami adalah generasi terakhir yang perlu untuk melawan perdagangan manusia.

PERBUDAKAN ADALAH ILEGAL DI HAMPIR SEMUA BANGSA DI DUNIA – TETAPI PERBUDAKAN MASIH ADA DI MANA-MANA

Tidak peduli dimana anda berada, disanapun ada. Perbudakan modern mempengaruhi orang-orang di dunia banyak negara yang terkaya dan termiskin, dalam batas-batas dan lintas batas. Perbudakan dapat menjebak ribuan di satu tempat – seperti tambang dan pabrik – atau terjadi pada skala kecil, di mana seorang gadis yang terperangkap di rumah orang yang tidak dikenalnya dan dipaksa bekerja tanpa dibayar.

DIPERKIRAKAN BAHWA 29.8 JUTA ORANG TERPAKSA HIDUP DALAM PERBUDAKAN DI SELURUH DUNIA SAAT INI.

Itu lebih dari pada waktu lainnya. Tidak pernah. Banyak orang berpikir bahwa perbudakan sudah dihapus bertahun-tahun yang lalu. Tetapi kenyataannya lebih banyak orang hidup sebagai budak saat ini dibandingkan dengan jumlah total budak dalam perdagangan budak trans-Atlantik dari Afrika ke Amerika pada abad 17 dan 19.

MAYORITAS ORANG YANG DIPERDAGANGKAN SEBAGAI BUDAK SAAT INI ADALAH ANTARA 18 DAN 24 TAHUN.

Para korban perbudakan bisa dari umur lima atau enam tahun – yang mana masa kecil mereka diambil dari mereka. Remaja yang ingin kehidupan lebih baik juga dapat menemukan diri mereka tertipu dengan menerima tawaran pekerjaan yang jauh dari tempat asal mereka yang ternyata merubah mimpinya menjadi mimpi buruk perbudakan. Perbudakan adalah masalah generasi kami – dan generasi kami harus memberikan solusi. 

PERBUDAKAN MODERN MENGHASILKAN KEUNTUNGAN LEBIH DARI US $32 MILIAR UNTUK PEMILIK BUDAK.

Perbudakan modern sangat menguntungkan, menghasilkan setidaknya US $32 miliar keuntungan setiap tahun – lebih dari seluruh hasil dari Islandia, Nikaragua, Rwanda, dan Mongolia digabungkan menjadi satu. Dan ini bukan hanya masalah di negara-negara yang jauh dan miskin. Hampir setengah dari total tersebut, sekitar $15.5 miliar, dari negara industri dan kaya.

TENAGA KERJA BUDAK MENGKONTRIBUSI MINIMAL 122 BARANG DARI 58 NEGARA DI SELURUH DUNIA.

Penelitian resmi pemerintah U.S. mengidentifikasi banyak produk – seperti berlian dari Afrika, batu bata dari Brazil, dan udang dari Asia Tenggara – sebagai produk yang biasanya diproduksi dengan tenaga kerja budak. Di seluruh dunia, orang dipaksa untuk bekerja dengan ancaman kekerasan dan dibayar hanya sedikit atau tidak dibayar untuk memproduksi puluhan hal yang kita gunakan setiap hari, seperti bola untuk sepak bola, bunga, dan cokelat.

Related Posts:

May Day Dimata Anarkis

Refleksi May Day

Judul Asli: May Day Sebagai Sejarah Perjuangan Kelas
URL: http://anarkis.org/may-day-sebagai-sejarah-perjuangan-kelas/

Pengantar
Artikel ini dipublish kembali karena banyak hal yang cukup menarik berkaitan dengan sejarah dan teori-teori yang berseliweran tentang hal-hal "kiri". Kritik terhadap partai, ormas dan teori-teori kiri adalah nyanyian-nyanyian yang terus diteriakkan dalam tulisan-tulisan Anarkhi. Mungkin banyak hal menarik dalam artikel ini yang harus dibukakan seterang-terangnya tentang semua gerakan kiri dan berharap menjadi salah satu diskusi menarik di weblog ini. Ditunggu responnya bagi kita semua.
------------------------------------------------------------- 

Asal-Usul
May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Gerigi-gerigi panas mesin era industri membelalakkan mata kaum pekerja terhadap kondisi masyarakat. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis Barat. Amerika Serikat merupakan contoh konkrit. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, menuai amarah dan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi di 1806 oleh pekerja cordwainers. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat.

Abad 19 juga menandakan sebuah momen penting kesadaran kelas pekerja dunia. Kongres Internasional Pertama [i], diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia. Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan jam sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun sama) telah dilakukan National Labour Union di AS: “Sebagaimana batasan-batasan ini mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres merubah tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia.” Kaum revolusioner waktu itu menganggap bahwa tuntutan delapan jam sehari bukanlah tuntutan final, melainkan taktik untuk mengakselerasikan kesadaran kelas yang luas di antara kalangan kelas pekerja. Semenjak saat inilah, gerakan pekerja mulai menggemakan ide-ide mengenai solidaritas internasional. Di mana harapan akan sebuah dunia baru yang lebih baik mulai bersemi di setiap hati para kelas pekerja dunia yang beramai-ramai berseru: “Derita satu adalah derita yang dirasakan semua!” Kongres Jenewa merupakan titik berangkat transformasi visi dan strategi gerakan kelas pekerja di masa depan.

Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut.

Tragedi Haymarket
Pada April 1886, ratusan ribu kelas pekerja di AS yang berkeinginan kuat menghentikan dominasi kelas borjuis, bergabung dengan organisasi pekerja Knights of Labour. Perjuangan kelas masif menemukan momentum di Chicago, salah satu pusat pengorganisiran serikat-serikat pekerja AS yang cukup besar. Gerakan serikat pekerja di kota ini sangat dipengaruhi ide-ide International Workingsmen Association. Gerakan tersebut telah melakukan agitasi dan propaganda tanpa henti sebelum Mei untuk merealisasikan tuntutan ‘Delapan Jam Sehari.’ Menjelang 1 Mei, sekitar 50.000 pekerja telah melakukan pemogokan. Sekitar 30.000 pekerja bergabung dengan mereka di kemudian hari. Para pekerja turun ke jalan bersama anak-anak serta istri untuk meneriakkan tuntutan universal ‘Delapan Jam Sehari.’ Pemogokan ini membawa aktifitas industri di Chicago lumpuh dan membuat kelas borjuis panik.

Namun tepat 3 Mei, pemerintah mengutus sejumlah polisi untuk meredam pemogokan pekerja di pabrik McCormick. Mereka menembak mati empat orang pekerja dan menciderai banyak orang. Gusar dengan tindakan kelas penguasa tersebut, sejumlah kaum anarkis yang dipimpin Albert Parsons dan August Spies–juga merupakan anggota aktif Knights of Labour–menyerukan kepada kelas pekerja agar mempersenjatai diri dan berpartisipasi di dalam demonstrasi keesokan hari. Pertemuan di hari berikut yang berlokasi di bunderan Haymarket itu, berjalan tanpa insiden. Karena cuaca buruk banyak partisipan aksi membubarkan diri dan kerumunan tersisa sekitar ratusan orang. Pada saat itulah, 180 polisi datang dan menyuruh pertemuan dibubarkan. Ketika pembicara terakhir hendak turun mimbar, menuruti peringatan polisi tersebut, sebuah bom meledak di barisan polisi. Satu orang terbunuh dan melukai 70 orang diantaranya. Polisi menyikapi ledakan bom tersebut dengan menembaki kerumunan pekerja yang berkumpul, menyebabkan satu orang terbunuh dan banyak yang terluka.

Meskipun tidak jelas siapa yang melakukan pelemparan bom, media massa dan politisi borjuis mulai melemparkan tuduhan-tuduhan kabur bahwa ledakan tersebut merupakan ulah kaum sosialis dan anarkis. Mereka menyerukan ‘sebuah balas dendam yang pantas kepada kaum radikal.’ Setiap tempat pertemuan, sekretariat serikat pekerja, tempat cetak, serta rumah pribadi para aktifis diserang polisi. Setiap tokoh sosialis dan anarkis ditangkap. Bahkan individu-individu yang sama sekali tidak memahami apa itu sosialisme dan anarkisme, ditahan dan disiksa. Julius Grinnell, Jaksa Penuntut Umum kota tersebut, menyuruh kepolisian ‘melakukan penyergapan terlebih dahulu baru kemudian mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran hukumnya’. Delapan dari tokoh anarkis yang aktif di Chicago, dituntut dengan tuduhan pembunuhan terencana. Mereka adalah August Spies, Albert Parsons, Adolph Fischer, George Engel, Fielden, Michael Schwab, Louis Lingg dan Oscar Neebe.

Pengadilan spektakuler kedelapan anarkis tersebut adalah salah satu sejarah kebengisan lembaga peradilan AS yang sangat dipengaruhi kelas borjuis Chicago. Pada 21 Juni, 1886, tanpa ada bukti-bukti kuat yang dapat mengasosiasikan kedelapan anarkis dengan insiden tersebut (dari kedelapan orang, hanya satu yang hadir. Dan Ia berada di mimbar pembicara ketika insiden terjadi), pengadilan menjatuhi hukuman mati kepada para tertuduh. Pada 11 November, 1887, Albert Parsons, August Spies, Adolf Fischer, dan George Engel dihukum gantung. Louise Lingg menggantung dirinya di penjara.

Sekitar 250.000 orang berkerumun mengiringi prosesi pemakaman Albert Parsons sambil mengekspresikan kekecewaan terhadap praktik korup pengadilan AS. Kampanye-kampanye untuk membebaskan mereka yang masih berada di dalam tahanan, terus berlangsung. Pada Juni, 1893, Gubernur Altgeld, yang membebaskan sisa tahanan peristiwa Haymarket, mengeluarkan pernyataan bahwa, ‘mereka yang telah dibebaskan, bukanlah karena mereka telah diampuni, melainkan karena mereka sama sekali tidak bersalah.’ Ia meneruskan klaim bahwa mereka yang telah dihukum gantung dan yang sekarang dibebaskan adalah korban dari ‘hakim-hakim serta para juri yang disuap.’ Tindakan ini mengakhiri karir politiknya.

Bagi kaum revolusioner dan aktifis gerakan pekerja saat itu, tragedi Haymarket bukanlah sekadar sebuah drama perjuangan tuntunan ‘Delapan Jam Sehari’, tetapi sebuah harapan untuk memerjuangkan dunia baru yang lebih baik. Pada Kongres Internasional Kedua di Paris, 1889, 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur pekerja. Penetapan untuk memperingati para martir Haymarket di mana bendera merah menjadi simbol setiap tumpah darah kelas pekerja yang berjuang demi hak-haknya.

Meskipun begitu, komitmen Internasional Kedua kepada tradisi May Day diwarisi dengan semangat berbeda. Kaum Sosial Demokrat Jerman, elemen yang cukup berpengaruh di Organisasi Internasional Kedua, mengirim jutaan pekerja untuk mati di medan perang demi ‘Negara dan Bangsa.’ Setelah dua Perang Dunia berlalu, May Day hanya menjadi tradisi usang, di mana serikat buruh dan partai Kiri memanfaatkan momentum tersebut demi kepentingan ideologis. Terutama di era Stalinis, di mana banyak dari organisasi anarkis dan gerakan pekerja radikal dibabat habis di bawah pemerintahan partai komunis.[ii] Hingga hari ini, tradisi May Day telah direduksi menjadi sekadar ‘Hari Buruh’, dan bukan lagi sebuah hari peringatan kelas pekerja atau proletar untuk menghapuskan kelas dan kapitalisme.


Redefinisi Proletariat Modern
May Day, sebagai sebuah sejarah perjuangan kelas, adalah bukti kesadaran kelas pekerja yang hadir sejak diawalinya industrialisasi di dalam masyarakat. Masyarakat terubah menjadi pabrik dengan mesin-mesin bising beserta divisi-divisi kerja, yang memisah-misahkan aktifitas dan kesadaran mereka sebagai kelas yang tersubordinat. Transformasi ini mendefinisikan bentuk dari kesadaran kelas yang terjadi pada waktu itu. Apabila May Day lahir dari radikalisasi kesadaran kelas pekerja di era industri, bagaimana menempatkannya dengan kesadaran kelas di era pascaindustri, di mana kelas itu sendiri telah semakin kabur?

Setelah Perang Dunia II, banyak pemikir Marxis, terutama kalangan Mazhab Frankfurt [iii], tidak lagi melihat romantisisme perjuangan kelas era industri sebagai sesuatu yang relevan bagi sistem yang mereka namai sebagai ‘kapitalisme lanjut’. Mereka melihat perkembangan kapitalisme industrial menuju pascaindustrial melahirkan bentuk-bentuk lebih maju, kompleks, yang dapat mengintegrasikan setiap level aktifitas sosio-kultural masyarakat. Perkembangan ini bisa dilihat dari tumbuh pesatnya pabrik-pabrik pendidikan dan budaya teknokratik serta munculnya ideologi kekuasaan baru: kapitalisme birokratik. Kapitalisme lanjut, menurut mereka, telah berhasil merasionalisasi keterasingan masyarakat menjadi sesuatu yang normal. Peran-peran ini terutama dilakukan oleh kemajuan teknologi dan industri pendidikan—yang mencapai kulminasinya setelah Perang Dunia II—dengan menyuntikkan ideologi borjuis kepada pelajar, yang nantinya menjadi produk-produk intelektual kompeten bagi kepentingan kapitalisme. Proletariat pascaindustri tidak lagi terwujud sebagai kelas-kelas, dalam pengertian konsepsi Marxis mengenai konflik yang tak terdamaikan di antara kelas pekerja dan kelas pemodal. Kontradiksi kelas semacam ini, bagaimanapun, telah menguap. Di negara-negara komunis kelas pekerja menjadi bagian birokrasi negara dan menjadi hamba bagi ideologi kekuasaan tersebut. Sementara kelas pekerja di negara-negara kapitalisme Barat terintegrasi lebih jauh ke dalam budaya konsumtif. Kelas-kelas di dalam masyarakat sekarang, tidak lagi seperti kelas dalam bayangan Marx. Akan tetapi, sudah semakin terintegrasi dan melebur menjadi bagian inheren sistem kapitalistik.

Meskipun begitu, para filsuf ini sama sekali tidak menawarkan sebuah praktik konkrit untuk menyikapi sistem kapitalistik yang sudah sedemikian menyeluruh. Pada sisi lain, Mazhab Frankfurt, tetap memberi kontribusi penting fondasi teori-praksis ilmiah bagi gerakan-gerakan yang lahir dari setiap keretakkan kapitalisme lanjut. Gerakan-gerakan yang lahir dari Mazhab Frankfurt sangat dikarakteristisasikan dengan wacana emansipatoris, partisipatif, dan nonhierarkis yang juga menjadi narasi utama Teori Kritis aliran Frankfurt. Mazhab Frankfurt sengaja bergelut di wilayah sosiologi, psikologi, teknologi, dan budaya untuk menyingkap setiap kepentingan yang melatarbelakangi kesadaran ‘palsu’ individual dan perannya di dalam masyarakat.

Setelah tahun 60an—di mana terjadi berbagai perjuangan dari berbagai ranah kultural, rasial, gender, seksual serta tumbuh pesatnya gerakan pelajar—hingga pada perlawanan kontemporer terhadap neoliberalisme yang terjadi di seluruh dunia, May Day bukan lagi menjadi momen perayaan aktifis serikat pekerja dan partai Kiri. Akan tetapi momentum tersebut, telah direnggut menjadi momentum kesadaran kelas baru yang tidak lagi berasosiasi dengan praksis-praksis usang marxisme-leninisme. Dan yang lebih mencorakkan gerakan proletariat modern terhadap penolakan politik kepartaian dan penghambaan ideologi. Pemikir-pemikir Marxis ‘antiotoritarian’[iv] seperti: Antonio Negri, John Holloway, Harry Cleaver, membuka ruang bagi definisi baru perjuangan kelas, menjadi inspirator bagi gerakan emansipasitoris proletariat modern. Bahkan para pemikir ini, seringkali mengabaikan konsepsi kesadaran kelas Marxis tradisional, yang dianggap terlalu ekonomik-politis deterministik, sehingga tidak dapat merefleksikan kebutuhan emansipasistik proletariat di era pascaindustri.

“Karena kami précaires: kami para pengangguran, kaum perempuan dan anak muda, orang-orang biasa, pekerja tidak tetap, kaum pelajar, buruh migran. Kami adalah ketidaktetapan yang fleksibel, dan bertahan hidup dari ketidaktetapan yang lahir dari lusinan kolektif di setiap kota-kota dan melalui jaringan trans-Eropa untuk membela hak-hak sosial bersama dan mengklaim hal baru….

Kami tidak memiliki kepercayaan terhadap mereka, yang berada di bawah naungan pemerintah, serikat-serikat, partai politik, ataupun institusi-institusi kultural, yang berpura-pura berbicara mengatasnamakan kami dan mengambil keputusan yang berhubungan dengan hidup kami. Sementara di saat bersamaan mengacuhkan tuntutan-tuntutan sosial dan merepresi praktik-praktik transformasi sosial.” (Konfrensi Pers Jaringan May Day Eropa)

Pernyataan di atas memberi gambaran umum karakteristik kesadaran kelas baru era modern. Munculnya berbagai macam gerakan antiotoritarian yang bergelut di berbagai isu lingkungan, pelajar, homoseksual, indigenous, hak-hak perempuan dan imigran, pengangguran, pekerja tidak tetap, dan banyak lagi varian gerakan sosial, yang wacananya sentralnya adalah sebuah perlawanan menyeluruh terhadap kapitalisme neoliberal beserta aparatus negara.

Reclaim The Streets (RTS), yang berakar di Inggris, adalah gerakan lingkungan radikal yang mengambilalih jalan-jalan tersibuk pusat perkotaan—di dalam rentang waktu temporer–untuk mengangkat isu-isu penghapusan budaya kendaraan bermotor sambil berjoget ria dengan musik rave. Tidak jarang RTS melakukan kolaborasi bersama aksi pemogokan kelas pekerja. Tute Bianche, gerakan otonomis Italia, menduduki beberapa gedung kosong untuk dijadikan tempat koordinasi gerakan radikal antineoliberal sekaligus menjadikannya sarana ruang publik. Gerakan-gerakan pekerja seperti Wildcat Jerman, Federasi ClassWar, People’s Global Action, praktisi culture jammers[v] melawan budaya konsumtif, No Border Network, Zapatista, petani tanpa tanah di Brazil, Piqueterros Argentina, dan Mapuche di Chilli. Di Asia terdapat gerakan serikat pekerja radikal, Earth First di Davao, eks-pekerja PT DI dan Serikat Becak Jakarta di Indonesia, Intifada, Anarchist Against the Walls, dan gerakan homoseksual di Timur Tengah, adalah sekian dari beragamnya kesadaran kelas baru yang muncul di era pascaindustri. Sebuah kesadaran kelas tidak lagi digolongkan oleh definisi kelas-kelas sempit. Kesadaran kelas pascaindustri melihat diri sebagai subyek yang tersubordinasikan ke dalam sistem kapitalisme yang mengarah kepada kesadaran emansipatif demi mengambilalih kendali atas kehidupannya, di dalam relung aktifitas keseharian.

Impuls perjuangan kelas May Day juga berasal dari bentuk kesadaran kelas serupa. Perjuangan kelas Haymarket dipengaruhi oleh semangat antiotoritarian radikal yang tidak menghamba pada kepentingan ideologi kekuasan tertentu. Relevansi May Day hari ini adalah untuk mengembalikan impuls kesadaran kelas yang sejati, yang selama ini telah dininabobokkan oleh kepentingan ideologi Kiri dan hasratnya untuk menyubordinasi, meniadakan otonomi. Untuk membawa kesadaran kelas kepada setiap level masyarakat yang termiskinkan tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara pemenuhan kualitas hidup.

Mengenang kata-kata August Spies, salah satu martir Haymarket, ketika sedang menantang militansi perjuangan kelas pekerja Chicago dengan berseru: “To Arms we call you, to arms!”

Catatan Kaki
[i] Kongres Internasional Pertama Jenewa, Swiss, merupakan awal manifestasi perjuangan kelas pekerja di seluruh dunia. Kongres dihadiri dan didominasi oleh kaum radikal dari berbagai variannya: sosialis, Marxis, mutualis, anarkis, serta berbagai organisasi serikat pekerja lain. Organisasi Internasional Pertama ini bernama International Workingsmen Association.

[ii] Hungaria 1956 adalah salah satu sekian bukti kebengisan Komunis Internasional di bawah bendera stalinis yang merepresi kehendak otonom dan swakelola kaum proletariat Hungaria yang menolak dominasi struktural partai komunis.

[iii] Pemikir-pemikir Marxis Mazhab Frankfurt—seperti Adorno, Habermas, dan Fromm, dll.—cukup berbeda dengan para teoritisi Marxis tradisional. Dengan meninggalkan tema besar Marx yang melulu menekankan pada wilayah ekonomi dan konsep kelas, terutama distorsi yang dilakukan oleh Engels dan Lenin, mereka memusatkan analisa kapitalisme lanjut pada ranah-ranah lain, yang mereka yakini telah tersubordinasikan ke dalam satu sistem kompleks dan lebih maju .

[iv] Para pemikir tersebut menginspirasikan dan terinspirasi dari gerakan-gerakan kelas pekerja otonomis Italia serta Zapatista di Meksiko. Kelompok Tute Bianche, adalah salah satu organ otonomis yang terinspirasi buku Empire karya Michael Hardt dan Antonio Negri. Penolakan terhadap pemberhalaan kerja, swaorganisasi, internasionalisme, otonomi serta perlawanan terhadap neoliberalisme merupakan tema sentral pemikir-pemikir tersebut. Karena alasan ini mereka juga dikategorikan sebagai pembawa impuls antiotoritarian—selain anarkisme—di dalam gerakan antiglobalisasi kapital kontemporer.

[v] Culture Jammer adalah sebutan bagi aktifis-aktifis anti-korporat yang bergerak di bidang penghancuran ruang-ruang teknologi informasi kapitalisme. Aksi-aksi mereka berupa vandalisme terhadap media-media iklan korporasi seperti: papan iklan, televisi, serta ruang-ruang publik lainnya untuk dapat menyampaikan pesan budaya tandingan alternatif melawan budaya kapitalistis. Termasuk meredefinisi nilai-nilai manusia yang sejati yang mereka yakini telah diubah menjadi keinginan untuk mengkonsumsi.

Daftar Pustaka
Kalle Lassn, Culture Jammer: The Uncooling America.
Michael Hardt, Antonio Negri, Empire, Harvard University Press.
Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies, Pustaka Indonesia Satu.
Affinitas, Marxis Otonomis.
Howard Zinn, People’s History of United States, New York: Harper & Row Publishers
Emma Goldman, Living My Life Vol 1, Dover books.
Naomi Klein, No Logo, Verso.

Situs
Wikipedia, Free Encyclopedia, Haymarket Tragedy
------------------------------------------------------------------------------------

Jika tertarik atau banyak hal yang mau diungkapkan silahkan tulis di Komentar, ditunggu....

Related Posts:

Belajat Tentang Materialisme Historis

Materialisme Historis Marx

Judul Asli : Materialisme Historis Sebagai Ilmu
Penulis : Doug Lorimer

Materialisme Historis sebagai sebuah ilmu berbicara mengenai hukum-hukum jeneral dan tenaga penggerak perkembangan masyarakat manusia. Seperti halnya semua ilmu yang lainnya, materialisme historis mencoba mengungkapkan esensi obyek yang dipelajarinya dengan jalan memahami hubungan material yang terletak didasar fenomena-yang-muncul dari obyek tersebut. 

Seorang ahli fisikia terbesar abad ke-20, Albert Einstein menyatakan: “Kepercayaan akan adanya dunia eksternal, yang terlepas dari perasaan individu, merupakan landasan bagi segala ilmu alam.” (2) Kepercayaan tersebut merupakan pijakan cara-pandang materialis dalam melihat dunia. Namun pandangan materialis sebelum Marx masih tidak konsisten dan terbatas. Cara pandang materialis seperti itu tak bisa menerapkan prinsip-prinsip filsafat materialisme pada studi kehidupan sosial dan sejarah karena masih sarat dengan pandangan-pandangan idealis. (3) Sumbangan terbesar Marx dan Engels bagi perkembangan pemikiran ilmiah adalah karena mereka telah menyempurnakan materialisme yang baru setengah-jadi, yakni, mereka mengembangkannya pada studi tentang masyarakat, sehingga cara pandang materialis dalam melihat dunia, untuk pertama kalinya, menjadi konprehensif dan sepenuhnya konsisten serta efektif, ampuh.

1. Kelahiran Materialisme Historis
Sebelum materialisme historis lahir, dibutuhkan prakondisi sosial dan prakondisi teoritis tertentu. Hal tersebut bisa dijembatani oleh perkembangan logis pemikiran sosial, politik dan filsafat yang progresif. Tetapi kondisi-kondisi sosial juga memainkan perannya dalam memberikan kemungkinan berhasilnya penemuan hukum-hukum kehidupan sosial.

Percepatan/akselerasi perkembangan sosial, rangkaian peristiwa-perisitwa revolusi yang terjadi di Inggris dan, terutama, revolusi borjuis Prancis; semakin menajamnya kontradiksi dan bentrokan antar-kelas; kebangkitan kelas pekerja dalam khasanah sejarah—secara umum, itu lah prakondisi-prakondisi sosial yang membantu kelahiran materialisme historis.

Bila kemajuan sejarah bergerak sangat lambat, seperti yang terjadi di zaman feodalisme, maka sangat lah sulit untuk memahami hukum-hukum perkembangan sosial yang progresif, atau sangat lah berat untuk mengerti pergantian dari satu sistem sosial tertentu menjadi sistem sosial yang lain.

Peristiwa terbesar yang terjadi di akhir abad ke-18 dan di awal pertengahan abad ke-19 menunjukkan bahwa masyarakat, dalam eksistensi dan perkembangannya, merupakan sebuah subyek organisme sosial kehidupan yang memiliki kemampuan untuk merubah dan mematuhi hukum-hukum obyektif tertentu—yang sebenarnya independen dari keinginan dan kesadaran manusia.

Itu lah kesimpulan yang dicapai Hegel, (4) contohnya, dalam filsafat sejarahnya. Meskipun masih idealis dan mistis, Hegel berupaya mempertimbangkan sejarah dunia dari sudut pandang keharusan perkembangan internalnya. Ia memberikan perhitungan ke depan yang brilyan sehubungan dengan hakikat hukum yang mengatur perkembangan sosial dan korelasi antara kebebasan dengan keniscayaan dalam kehidupan sosial.

Penemuan hukum perkembangan sosial juga telah dipersembahkan dalam hasil studi yang dilakukan oleh ekonom borjuis Inggris, William Petty, Adam Smith dan David Ricardo, yang berkesimpulan bahwa tenaga kerja merupakan sumber kesejahteraan, yang memberikan sumbangan terhadap teori nilai tenaga kerja. Menurut Marx, ekonom Inggris telah menjelaskan tentang anatomi ekonomi kelas kepada kita. Meskipun mereka memandang bahwa basis keberadaan tiga kelas dalam masyarakat borjuis—tuan tanah, borjuis dan proletar—berasal dari perbedaan sumber pendapatan mereka—menyewakan tanah, mengeruk keuntungan dan menerima upah—masih dalam makna pendistribusian kesejahteraan atau bukan dalam makna produksi, namun pandangan mereka merupakan langkah yang maju dalam perkembangan pemikiran sosial.

Penemuan yang dilakukan oleh sejarawan Prancis semasa restorasi Bourbon—Augustin Thierry, François Mignet dan François Guizot (dan sebelum mereka oleh utopis sosialis terbesar Prancis, Saint-Simon)—yakni mengenai peran perjuangan kelas sebagai motif penggerak revolusi dalam abad baru, merupakan hal yang sangat penting yang mempersiapkan kelahiran materialisme historis. Materialisme sebelum Marxis juga memberikan sumbangannya dalam proses tersebut. Interpretasi mereka mengenai kejadian-kejadian sosial dan sejarah pada umumnya didasarkan pada posisi idealis, dan tak seorang pun yang mampu menemukan perhitungan ke depan yang brilyan. Seorang materialis Prancis abad 18, Helvetius, contohnya, menunjukan pentingnya lingkungan dan situasi-sekitar dalam membentuk opini sosial dan moral manusia; moral yang jelek merupakan hasil dari situasi-sekitarnya yang buruk, tulisnya. Dari pemahaman tersebut ia mengambil kesimpulan bahwa, untuk merubah moral yang jelek, situasi-sekitarnya harus dirubah. Tapi ia gagal memberikan penjelasan ilmiah mengenai bagaimana hal tersebut bisa dilakukan. Dalam pandangannya, perubahan kondisi sosial harus dijalankan melalui perbaikan hukum, hukum baru, yang hanya bisa dilakukan oleh penguasa yang jenius. Dalam posisi tersebut, ia masih seorang yang idealis. 

Keberhasilan ilmu-pengetahuan alam juga memberikan pengaruh tertentu atas kelahiran materialisme historis. Pada akhir abad ke-18 dan awal pertengahan abad ke-19 terdapat upaya yang keras untuk menghasilkan ilmu kemasyarakatan yang secara ketat memiliki watak ilmu sosial yang ilmiah, yang sesuai dengan model ilmu-pengetahuan alam—mekanika, fisika, kimia dan biologi. Usaha tersebut merupakan langkah yang salah karena memperlakukan masyarakat seperti alam, alamiah, tanpa mempertimbangkan hakikat spesifiknya sebagai sebuah organisasi sosial yang memiliki hukum-hukum perkembangan yang khusus dan intrinsik.

Marx dan Engels merupakan orang-orang yang pertamakali menghasilkan teori kemasyarakatan yang ilmiah. Mereka menciptakan materialisme historis dengan memperluas filsafat materialisme dan, secara materialis, merevisi dialektika sehingga bisa memahami masyarakat—dengan menerapkannya pada aktivitas praktek revolusioner kelas pekerja. Dengan menunjukan adanya hubungan intrinsik, yang tak bisa dipisahkan, antara materialisme historis dengan filsafat materialisme secara umum, Lenin menulis:

“Marx mempertajam dan mengembangkan filsafat materialisme sepenuh-penuhnya, dan memperluas pemahaman mengenai alam sehingga bisa melibatkan, memasukan, pemahaman tentang masyarakat manusia ke dalam kognisi masyarakat. Materialisme historis Marx merupakan penemuan terbesar dalam pemikiran ilmiah. Kekacauan dan kesewenang-wenangan pandangan mengenai sejarah dan politik, yang muncul sebelumnya, digantikan oleh teori ilmiah yang (secara ketat) terpadu dan harmonis, sehingga bisa menunjukan bagaimana, sebagai akibat pertumbuhan tenaga-tenaga produktif, terbentuk lah sistim kehidupan sosial yang baru menggantikan yang lama.(5) 

Hukum-hukum universal mengenai perkembangan materi ditemukan oleh materialisme dialektik yang beoperasi dalam masyarakat, tapi dalam hal ini ia memiliki bentuk khusus. Metode dialektik, yang diaplikasikan pada masyarakat, dan metode materialisme historis, pada esensinya, merupakan konsep yang identik. Tapi, jika kita ingin mengetahui hukum-hukum perkembangan masyarakat manusia, tidak lah mencukupi hanya memahami prinsip-prinsip umum filsafat materialisme dan hukum-hukum dialektika; namun kita juga harus mempelajari bentuk-bentuk khusus aktifitasnya saat beroperasi dalam suatu bentuk khusus pengorganisasian materi. Artinya, sebagai tambahan bagi kategori-kategori filsafat, kita harus memiliki kategori-kategori sosial semurni-murninya kategori sosial, misalnya, formasi sosio-ekonomi, tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi, corak atau cara produksi, basis dan suprastruktur, kelas-kelas sosial, dan sebagainya dan sebagainya. Kategori-kategori tersebut memberikan landasan untuk menyimpulkan hukum-hukum pokok keberadaan sosial dan pengetahuan sosio-historis, hukum-hukum perkembangan masyarakat manusia.

Marx dan Engels memformulasikan proposisi dasar materialisme historis pada tahun 1840-an, dalam karyanya “The German Ideolgy”. Walaupun pandangan baru mengenai sejarah, perkembangan sosial, pada awalnya sekadar sebuah hipotesa dan metode, tapi ia merupakan hipotesa dan metode yang, untuk pertama kalinya, memungkinkan adanya pendekatan (yang ketat) secara ilmiah dalam memahami sejarah. Dalam kata-kata Lenin, mereka menyebabkan studi tentang masyarakat menjadi ilmu-pengetahuan, karena mereka memungkinkan materialisme historis bisa digunakan untuk mengungkapkan pengulangan-kejadian dan regularitas perkembangan hubungan-hubungan sosial, bisa digunakan untuk menjeneralisasi sistim-sistim berbagai negeri menjadi konsep formasi sosio-ekonomi, dan bisa digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang jeneral yang menyatukan atau menyamakan berbagai negeri tersebut namun, pada saat yang sama, bisa mengungkapkan perbedaan-perbedaan inheren yang disebabkan karena kondisi-kondisi spesifik dalam perkembangan negeri-negeri tersebut.

Pada tahun 1850-an, Marx melakukan studi tentang formasi sosio-ekonomi kapitalisme yang sangat kompleks. Dalam karyanya, “Capital”, ia menunjukan perkembangan, pergerakan dan gangguan terhadap formasi sosio-ekonomi kapitalisme. Ia menyimpulkan bagaimana, dalam formasi sosio-ekonomi kapitalisme, kontradiksi berkembang antara tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produksi, kontradiksi kelas-kelas sosial dan bagaimana, di atas landasan/basis hubungan-hubungan produksi material, berkembang suprastruktur yang berkesesuaian dengan basis tersebut, dan bagaimana ide-ide tertentu, yang merefleksikan cara-pandang dan kepentingan kelas-kelas sosial utama/pokok dalam masyarakat kapitalis, bisa muncul.

Marx dan Engels tidak menggunakan istilah “sosiologi” untuk teorinya karena istilah tersebut kemudian banyak digunakan oleh berbagai aliran positifis-idealis (6), yang samasekali tak memiliki makna sebagai sebuah ilmu-pengetahuan kemasyarakatan yang sejati. Tapi, doktrin yang mereka hasilkan dalam praktek merupakan dan hanya merupakan teori “sosiologi” ilmiah papan nama, walaupun teori tersebut bisa dijadikan bahan untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum aktual dan tentang motif penggerak dalam perkembangan sosial. Lenin menekankan:

“Ketika Darwin bisa menghancurkan pandangan yang mengatakan bahwa spesies binatang dan tanaman itu tidak berkaitan, hanya kebetulan saja, ‘diciptakan secara metafisik’, dan tak mengalami perubahan, maka baru lah biologi memperoleh landasan ilmiahnya, karena bisa menetapkan pendapat bahwa spesies itu mengalami perubahan dan berkembang. Demikian pula Marx, ia bisa menghancurkan pandangan yang mengatakan bahwa masyarakat itu merupakan gabungan mekanik dari individu-individu yang menyerahkan segala macam modifikasinya pada kehendak pemegang kekuasaan (atau, bila anda menyukainya, pada kehendak masyarakat dan pemerintah), dan yang terlahir dan berubah sewaktu-waktu saja. Dengan demikian, Marx adalah orang yang pertama kali yang meletakan studi tentang masyarakat di atas basis ilmiah dengan memberikan konsep bahwa formasi ekonomi masyarakat merupakan hasil-kesimpulan dari hubungan-hubungan produksi tertentu, dan memberikan fakta bahwa perkembangan formasi-formasi seperti itu merupakan proses sejarah alam.(7) 

2. Persoalan yang Dibahas dalam Materialisme Historis
Masyarakat manusia dalam hakekat dan strukturnya merupakan bentuk keberadaan yang paling kompleks. Masyarakat manusia merupakan bagian alam yang spesifik dan, secara kwalitatif, unik serta, dalam makna tertentu, bertentangan dengan bagian alam lainnya. Interpretasi mengenai inter-relasi antara masyarakat dengan alam lah yang pada dasarnya membedakan materialisme historis dengan idealisme—yang hampir dalam setiap kasus menyodorkan anti-tesis absolut dalam melihat relasi antara masyarakat dengan alam—atau yang juga membedakan materialisme historis dengan materialisme metafisik—yang tidak mau mengakui perbedaan kwalitatif antara masyarakat dengan alam.

Giovanni Vico, seorang filosof Itali abad ke-18, menulis bahwa sejarah masyarakat berbeda dengan sejarah alam karena sejarah masyarakat dibuat oleh manusia, dan hanya oleh manusia, sedangkan fenomena dan proses alam terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah hasil dari kekuatan yang buta, tak memiliki kaitan dengan person siapapun (impersonal), dan spontan. Fakta bahwa masyarakat merupakan sebuah panggung bagi aktifitas manusia—yang mempunyai pikiran dan keinginan, dan yang menetapkan sendiri tujuan-tujuan tertentunya (serta berjuang untuk mencapainya)—telah, pada masa lalu ataupun pada masa kita sekarang ini, menjadi batu penghalang bagi sosiolog dan sejarawan yang mencoba mempelajari esensi, penyebab fundamental proses dan fenomena sosial. Beberapa di antaranya, memutlakkan hakikat spesifik peristiwa-peristiwa sosial dan sejarah, secara metafisik menentang ilmu-pengetahuan alam—yang mempelajari fenomena dan proses yang berulang-ulang—untuk dijadikan landasan bagi limu-pengetahuan sejarah karena mereka menganggap bahwa sejarah hanya memperlajari hal-hal yang individual dan unik. Jadinya, pada abad ke-19, beberapa filosof Jerman tertentu dari aliran neo-Kantianism (H. Ricket, W. Windelband) percaya bahwa harus ada dua metode pemahaman yang berbeda—yang bahkan mungkin saling bertentangan: apa yang disebut nomometrik—atau metode jeneralisasi yang diterapkan pada ilmu alam—dan metode ideografik—metode individualisasi (yang hanya mempelajari peristiwa-peristiwa individual dan unik) yang diterapkan pada ilmu-pengetahuan sejarah.

Tapi, pembedaan metafisik terhadap ilmu-pengetahuan alam dan ilmu-pengetahuan sosial sangat lah berlebihan dan tidak adil. Nampaknya kita tidak akan bisa menemukan fenomena yang benar-benar identik di dalam alam ketimbang di dalam sejarah (contohnya, dua spesies binatang atau dua daun dalam satu pohon yang sama). Di sisi lain, dalam masyarakat, dalam sejarah, di samping ada hal-hal yang berifat spesifik dan individual, ada juga yang bersifat umum—yang mewujudkan dirinya dalam fenomena ekonomi, dalam hubungan-hubungan sosial, dalam politik dan dalam kehidupan intelektual berbagai macam orang pada tahapan perkembangan sejarah yang sama. Hanya dengan meneliti gambaran-gambaran umum fenomena tersebut lah maka kita bisa menemukan hukum kehidupan sosial.

Sebenarnya, bila kita pahami bahwa proses-proses dan perisitiwa-peristiwa sosial adalah merupakan hasil dari kegiatan manusia itu sendiri, maka tidak lah sulit untuk memahami fenomena manusia dan kegiatannya sebagaimana halnya juga ketika memahami fenomena alam. Dan, tentu saja, seharusnya akan lebih mudah bagi manusia dan masyarakatnya untuk mendesakan kekuasaannya terhadap hubungan-hubungan sosial yang ada ketimbang menundukkan kekuatan kolosal alam. Sejarah manusia dan sejarah ilmu-pengetahuan menunjukkan bahwa penjelasan tersebut: salah.

Di awal pertengahan abad ke-19, ilmu-pengetahuan alam telah menunjukan kemajuan yang berarti, tapi ilmu-pengetahuan kemasyarakatan secara umum masih sangat muda, masih cikal-bakalnya. Setahap demi setahap kemanusiaan mulai mengetahui hukum-hukum dan kekuatan-kekuatan alam, sehingga bisa ditempatkan dalam kekuasaannya. Tapi, nampaknya, merupakan tugas yang jauh lebih sulit ketika hendak menemukan hakikat dan hukum-hukum masyarakat yang sebenarnya. Bahkan merupakan tugas yang jauh lebih sulit, lebih lama, mengelola hukum-hukum dan proses-proses sosial serta meletakkannya di bawah kekuasaan masyarakat. Kemungkinan untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut hanya bisa diperoleh dengan menciptakan ilmu-pengetahuan sosial yang bisa diaplikasikan pada tugas praktis mentransformasikan kehidupan sosial secara revolusioner.

Masyarakat manusia, fenomena dan proses-proses sosial dipelajari oleh berbagai ilmu-pengetahuan. Ekonomi-Politik meneliti hukum-hukum tentang kemunculan dan perkembangan produksi komoditi. Ilmu-pengetahuan hukum mempelajari hukum-hukum tentang kemunculan, hubungan, dan fungsi-fungsi berbagai lembaga politik dan hukum, negara dan hukun. Kritisisme estetika, seni, mempelajari hukum-hukum tentang kemunculan dan perkembangan seni, hubungan seni dengan realitas, dan metode kreativitas artistik. Etika mempelajari bidang-bidang moral dalam hubungan-hubungan antar-manusia. Jadi, walaupun masyarakat manusia itu diselidiki oleh berbagai imu-pengetahuan, namun masing-masing studi hanya merupakan aspek kehidupan sosial tertentu saja, atau hanya merupakan salah satu tipe dalam hubungan-hubungan atau fenomena sosial (ekonomi, politik dan ideologi).

Materialisme Historis tidak berurusan dengan aspek-aspek kehidupan sosial yang terpisah-pisah tersebut, tapi mempelajari tentang hukum-hukum umum dan tenaga penggerak yang memfungsikan serta mengembangkan kehidupan sosial; mempelajari kehidupan sosial yang secara keseluruhan terintegrasi; mempelajari hubungan intrinsik dan kontradiksi seluruh aspek-aspek dan relasi-relasi hubungan sosial. Tak seperti ilmu-pengetahuan yang terspesialisasi, materialisme historis mempelajari, di atas segalanya, hukum-hukum umum perkembangan masyarakat, hukum-hukum kemunculan, keberadaan, dan motif penggerak perkembangan formasi-formasi sosio-ekonomi.

Hukum-hukum umum sosial, yang berkaitan dengan epik-epik sejarah, beroperasi dalam setiap formasi sosio-ekonomi, dalam setiap epik sejarah, dalam cara yang spesifik. Karenanya, bila kita hendak mendapatkan ide yang benar mengenai karakter dan esensi hukum-hukum umum sosial, kita harus mempelajari fungsi spesifik hukum-hukum tersebut dalam berbagai epik sejarah, dalam berbagai formasi sosio-ekonomi—misalnya, dalam masa kolektivisme primitif, dalam masa “despotisme timur”, dalam masa perbudakan kuno, dalam masa feodalisme, atau dalam masa kapitalisme. Jadi, konsep “hukum-hukum umum sosial” memasukan koneksi-koneksi dan relasi-relasi intrinsik yang memberikan karakter pada hukum-hukum formasi-formasi sosio-ekonomi yang paling umum, yang ditentukan secara historis.

Materialisme historis juga berbeda dengan pendapat yang mengatakan bahwa sejarah hanya lah sekadar disiplin empiris. Sejarah menyiratkan studi tentang sejarah berbagai orang, berbagai peristiwa, dalam sekuens/tahap-tahap tertentu kronologisnya. Sejarah tidak memperlakukan tindak-tindak berbagai peristiwa secara abstrak, tidak dalam istilah-istilah teoritis yang umum, tapi dalam bentuk historis yang spesifik, yang mempertimbangkan kondisi kongkret di setiap negeri, yang mempertimbangkan tindakan orang-orang secara kongkrit dan pengaruhnya terhadap perubahan, yang kadang-kadang memainkan peranan yang sangat penting dalam peristiwa-peristiwa sejarah.

Di lain pihak, materialisme historis, sebagai sebuah ilmu-pengetahuan tentang perkembangan sosial, tidak mempelajari satu orang tertentu, atau satu negeri tertentu, tapi mempelajari masyarakat manusia secara keseluruhan, karena materialisme historis mempertimbangkan perkembangan masyarakat dari cara pandang hukum-hukumnya yang paling umum.

Materialisme historis, sebagaimana layaknya juga filsafat Marxis secara umum, mengkombinasikan teori dan metode sebagai suatu kesatuan. Materialisme historis dilengkapi oleh dialektika metarialis untuk menyelesaikan pertanyaan epistemologi (8) mendasar ilmu-pengetahuan sosial—pertanyaan tentang hubungan antara keberadaan sosial dan kesadaran sosial. Yang memberikan pengertian kepada kita tentang hukum-hukum yang paling umum dan tenaga penggerak dari masyarakat, karenanya, ia merupakan teori sosial yang paling jeneral serta ilmiah. Dengan alasan tersebut lah maka materialisme historis merupakan metode yang paling ampuh untuk mempelajari fenomena dan proses-proses kehidupan sosial, dan merupakan metode untuk aksi revolusioner. Dengan pertolongannya lah sejarawan, ekonom, mahasiswa-mahasiswa hukum dan seni dapat menemukan jalannya di tengah-tengah kompleksitas fenomena sosial. Yang paling penting, materialisme historis bisa memberikan [kepada pelopor (vanguard) politik kelas pekerja] tuntunan ilmiah dalam praktek sosial revolusionernya, demi mewujudkan revolusi sosialis-proletariat.

Materialisme historis mengasumsikan signifikansi metodelogi yang khusus dalam suatu konteks perkembangan sosial yang dinamis, yang berubah secara cepat, saat sejarah berubah dengan tajam, dan saat dibutuhkan suatu analaisa obyektif yang khusus dan ketat terhadap peristiwa-peristiwa sejarah, terhadap perilaku kelas-kelas dan partai-partai.

Materialisme historis merupakan landasan bagi sosialisme ilmiah, yang mempelajari strategi dan taktik perjuangan kelas pekerja, yang mempelajari hukum-hukum dan tenaga penggerak revolusi proletariat dan pembangunan masyarakat sosialisme.

Materialisme historis juga sangat relevan bagi penelitian sosial kongkret. Saat menerapkan metode matematis atau metode pengumpulan pendapat, metode wawancara, menyebarluaskan angket dan sebagainya, seseorang harus memiliki pijakan yang kuat dalam teori sosial (jeneral) Marxisme beserta metodenya. Pada gilirannya, ilmu-pengetahuan sosial Marxis, yang dianggap sebagai ilmu-pengetahuan teoritis (jeneral) tentang masyarakat, dalam perkembangannya, akan menyandarkan diri pada penelitian sosial yang spesifik, menggunakan data statistik sebanyak-banyaknya dan menggunakan data empiris lainnya yang berkaitan dengan berbagai macam aspek kehidupan sosial. Penelitan sosial yang spesifik akan bisa menyingkapkan mekanika berfungsinya hukum-hukum sosial dalam kondisi kehidupan yang nyata dan beragam.

Marxisme—yang memiliki tingkat kelas/kwalitas yang tingggi—memberikan contoh-contoh yang tepat dan begitu banyaknya ketika menerapkan metode kesejarahan-materialis dalam studi kongkrit proses-proses sosial. “Teori, kawanku, betapa pucatnya, namun yang segar adalah keabadian pohon kehidupan.” Lenin kerap mengutip bait dalam karya Gothe, Faust, dalam polemiknya melawan Marxis yang gagal melihat segala sesuatu yang baru dan tak teramalkan, tak diharapkan—yang dihasilkan oleh kehidupan yang berkembang cepat. Kehidupan, yang benar-benar terjadi dalam dunia, dalam sejarah, selalu lebih kaya ketimbang teori sosial yang paling maju sekalipun. Itu lah fakta bahwa kita, secara khusus, membutuhkan kewaspadaan terhadap zaman kita yang dinamis dan berbadai ini.

Materialisme historis memberikan kita panduan yang obyektif, ilmiah, agar jalannya peristiwa-peristiwa bisa kita ketahui dan mengerti, memprediksinya secra ilmiah, dan bisa melihat prospek dan kecenderungan-kecenderungan perkembangan sosial—jadi, dengan demikian: memberikan basis teoritis dalam tindakan revolusioner.

Ideolog borjuis mempertahankan gagasan bahwa keanggotaan politik tidak lah sesuai dengan ilmu-pengetahuan karena mengurangi karakter ilmiah materialisme historis, karena jelas-jelas mengakui bahwa materialisme historis merupakan panduan teoritis bagi praktek revolusioner. Beberapa di antaranya mempertahanan gagasan bahwa pengetahuan ilmiah berada di luar aktivitas politik praktis kelas sosial dan partai politik tertentu—sehingga sepertinya pengetahuan hanya demi pengetahuan. Mereka, jadinya, memisahkan politik dari praktek, setidaknya (atau apalagi) ketika melihat praktek sosial revolusioner. Tapi bisa kah, dalam masyarakat yang terbelah ke dalam kelas-kelas, ada teoritikus yang berkoar-koar di luar kepentingan kelas, tak peduli terhadap kepentingan-kepentingan kelas, dan tak mengambil posisi dalam perjuangan kelas? Ada, yakni, tentunya, orang-orang yang tak pernah eksis di dunia ini, hanya ada dalam angan-angan. Pada kenyataanya, kita tetap menemukan orang-orang yang benar-benar bermulut besar dengan “kenetralannya” namun, dalam praktek, mereka lah yang justru menyuruh kita sesengit mungkin berjuang (apakah secara partisan atau non-partisan) melawan teori sosial Marxis, agar bisa mendeskreditkannya dan menggantikannya dengan varian teori sosial borjuis.

Untuk menyangkal ide teori sosial yang tak memiliki pemihakan kelas—yang pada esensinya munafik—kaum Marxis terus terang mengakui bahwa memang benar teori sosial Marxis berpihak pada kepentingan atau melayani kebutuhan kelas pekerja. Lenin menegaskan bahwa “...dalam masyarakat yang berbasiskan perjuangan kelas, tak ada satu pun ilmu-pengetahuan sosial yang tidak berpihak”, dan “mengharapkan ilmu-pengetahuan tidak berpihak dalam masyarakat yang berbasiskan buruh-upahan adalah suatu kebodohan yang naif, sama hal mengharapkan ketidakberpihakan pemilik pabrik saat harus menjawab persoalan: apakah upah buruh boleh dinaikan tapi dengan tidak mengurangi keuntungan kapital.” (9) 

Memang benar bahwa pemihakan-kelas dalam teori sosial akan tidak sesuai dengan pendekatan ilmiah, yakni bila teori tersebut mencerminkan dan mempertahankan posisi serta kepentingan kelas-kelas yang secara historis sudah tak berguna lagi (outmoded) dalam perjalanan perkembangan sosial. Bila teori sosial melakukan hal seperti itu, maka teori sosial tersebut mengabaikan kebenaran realitas sosial obyektif. Dan, bila teori sosial melakukan hal yang sebaliknya, maka teori sosial tersebut menjadi benar-benar obyektif dan ilmiah, yakni benar-benar mencerminkan dinamika realitas sosial, mencerminkan posisi, kepentingan-kepentingan dan aspirasi-aspirasi kelas-kelas dalam masyarakat yang, secara historis, progresif.

3. Karakter Obyektif Hukum-hukum Perkembangan Sosial
Lebih dari ratusan tahun yang lalu, dalam pengantar karyanya di tahun 1859, yang berjudul “A Contribution to the Critique of Political Economy”, Marx memberikan pernyataan formal yang sepenuh-penuhnya tentang proposisi-proposisi dan prinsip-prinsip dasar materialisme historis:

“Dalam produksi sosial kehidupannya, [manusia] masuk ke dalam hubungan-hubungan yang pasti, yang tidak terhindarkan dan independen dari keinginannya, yakni hubungan-hubungan produksi yang selaras dengan suatu tahap perkembangan tertentu dalam tenaga-tenaga produktif materialnya. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi tersebut lah yang akan menentukan struktur ekonomi masyarakat, yakni fondasi masyarakat yang sebenarnya, yang di atasnya muncul, berdiri, suprastruktur hukum dan politik yang selaras dengan bentuk-bentuk kesadaran sosialnya. Itu lah corak produksi kehidupan material yang mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik dan intelektual secara umum. Bukan lah kesadaran [manusia] yang menentukan keberadaannya, tapi, justru sebaliknya, keberadaan sosialnya lah yang menentukan kesadarannya. Pada tahap tertentu perkembangannya, tenaga-tenaga produktif material masyarakat akan bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada, atau akan bertentangan dengan hubungan-hubungan kepemilikan—apa yang secara legal/hukum merupakan istilah lain dari hubungan-hubungan produksi—yang sedang mereka jalani. Dalam bentuk-bentuk perkembangan tenaga produktif tertentu, hubungan-hubungan kepemilikan tersebut kemudian berubah menjadi belenggu mereka. Setelah itu, datang lah epik revolusi sosial. Bila ada perubahan dalam fondasi ekonomi maka, secara besar-besaran, seluruh suprastruktur sedikit banyak akan pula ditransformasikan secara cepat. Dengan mempertimbangkan tranformasi semacam itu maka harus dibedakan antara transformasi material kondisi-kondisi ekonomi produksi, yang akan ditentukan oleh ketepatan ilmu-pengetahuan alam, dengan transformasi hukum, politik, agama, estetika atau filsafat—pendeknya, bentuk-bentuk ideologis yang mencerminkan kesadaran (manusia) akan pertentangan tersebut dan perjuangan untuk mengatasinya. Sebagaimana juga pendapat kita tentang satu individu, yang tidak didasarkan pada apa yang dipikirkan oleh si individu tersebut, demikian pula kita tidak bisa menilai periode transformasi tersebut berdasarkan kesadaran transformasi tersebut; sebaliknya, kesadaran tersebut harus dijelaskan bukan berdasarkan kontradiksi kehidupan material, tapi berdasarkan pertentangan antara tenaga-tenaga produktif sosial dengan hubungan-hubungan produksinya. Tak pernah ada tatanan sosial yang pernah menghilang, mati, sebelum tenaga-tenaga produktif memperoleh ruang untuk berkembang; dan hubungan-hubungan produksi yang baru, yang lebih tinggi, tak akan pernah terlahir sebelum keberadaan kondisi-kondisi material telah matang dalam kandungan masyarakat lama itu sendiri. Karenanya, keberadaan [kemanusiaan] hanya sebatas atau akan ditentukan oleh sejauh mana [kemanusiaan itu sendiri] bisa menyelesaikan tugas-tugasnya; karenanya, bila kita melihat masalahnya secara lebih dekat, selalu saja didapati bahwa tugas itu sendiri akan muncul hanya bila kondisi-kondisi material untuk menyelesaikannya telah eksis, atau paling tidak sedang dalam proses pembentukan.” (10) 

Formulasi proposisi-proposisi dan prinsip-prinsip dasar teori sosial Marxis tersebut menekankan dua gambaran yang sangat penting. Pertama, historisisme yang sangat ketat, yakni yang mempertimbangkan bahwa masyarakat merupakan sesuatu yang berada dalam keadaan selalu berkembang. Kedua, aplikasi-konsisten pandangan materialis terhadap sejarah—sebagai suatu hukum-yang-mengatur prosesnya—yang, dalam analisa terakhir, dikondisikan oleh perkembangan tenaga-tenaga produkstif manusia, dikondisikan oleh tingkat perkembangan interaksi produktifnya dengan alam. Mengomentari formulasi Marx tersebut, Lenin menulis:

“Hal yang paling bemanfaat dari “sosiologi” dan historiografi pra-Marxis adalah karena mereka memberikan akumulasi fakta-fakta mentah, yang dikumpulkan secara acak, dan suatu deskripsi aspek-aspek individu dalam proes sejarah. Kemudian kita menguji totalitas tendensi-tendensinya yang berlawanan, dengan merangkum, menyempitkan, manfaat-manfaat tersebut menjadi apa yang disebut secara definitif disebut: kondisi-kondisi kehidupan dan produksi ... dan dengan menyingkapkan bahwa, tanpa pengecualian, semua ide dan semua ragam tendensi berkaitan dengan kondisi tenaga-tenaga produktif material, maka Marxisme bisa menunjukkan jalan bagi studi—yang komprehensif dan mencakup segalanya—tentang kelahiran, perkembangan dan kemerosotan sistim-sistim sosio-ekonomi. Manusia menciptakan sejarahnya sendiri tapi apa yang menentukan motif manusia, massa rakyat, yakni, apa yang menumbuhkan bentrok-pertentangan di antara ide-ide dan upaya-upaya yang saling bertentangan? Apakah intisari seluruh pertentangan tersebut di kalangan massa masyarakat manusia? Kondisi obyektif kehidupan material apa yang membentuk basis dari semua aktivitas historis manusia? Hukum perkembangan apa yang mengatur kondisi-kondisi tersebut? Semua itu lah yang menjadi perhatian Marx, dan ia bisa memberikan jalan bagi studi sejarah yang ilmiah—sebagai proses tunggal—yang, dengan segala macam keragaman dan pertentangannya, diatur menurut hukum-hukum yang pasti.” (11) 

Kita telah memahami sebelumnya, bahkan sebelum kemunculan materialisme historis, khususnya di bawah pengaruh kemajuan-kemajuan ilmu-pengetahuan alam, manusia berusaha untuk memahami kehidupan sosialnya, sejarah masyarakatnya, sebagai sebuah proses yang bergerak menurut hukum. Tapi hukum-hukum sosial, umumnya, diperlakukan dengan cara yang sama sebagaimana hukum mekanika, fisika atau proses-proses biologis alam. Sehingga gambaran spesifik ciri kehidupan sosial—yang diciptakan oleh manusia yang memiliki pikiran dan kemauan—diabaikan. 

Sumbangan terbesar Marx dan Engels adalah: mereka bisa mengungkapkan bahwa di dalam kehidupan sosial, di dalam sejarah masyarakat, bukan saja terdapat hubungan anatara hukum-hukum sosial dengan hukum-hukum alam, tapi juga bisa menunjukkan bahwa hukum sosio-historis berbeda secara radikal dari hukum alam. Itu tercermin dari penjelasan mereka bahwa: perkembangan sosial merupakan bagian dari proses historis alam.

Proses historis alam merupakan proses yang seharusnya, niscaya, dan obyektif, yang memiliki aturan hukumnya—sebagai proses alam; sebuah proses yang tidak saja tidak bergantung pada kehendak dan kesadaran manusia tapi, sebenarnya, yang menentukan kehendak dan kesadaran tersebut. Pada saat yang bersamaan, tidak seperti dalam proses-proses alam, proses-proses historis alam merupakan hasil dari kesadaran, hasil dari aktivitas manusia yang sadar. Secara sekilas, proposisi tersebut nampaknya seperti mencerminkan kontradiksi logika: bagaimana mungkin, kita bisa menggabungkan fakta sosial, proses-proses historis, yang dihasilkan oleh manusia—yang memiliki kesadaran, kehendak dan hasrat, serta bisa menentukan sendiri tugas-tugas dan tujuan-tujuannya—dengan fakta bahwa sejarah patuh terhadap hukum-hukum obyektif-seharusnya, yang niscaya, yang tidak tergantung pada kehendak dan kesadaran manusia?

Kontradiksi tersebut bisa dipecahkan jika kita mengingat bahwa manusia (dan khususnya kelompok besar manusia—kelas-kelas, partai-partai, dan sebagainya), dalam mengejar tujuan-tujuannya, dipandu oleh ide-ide dan hasrat-hasrat tertentu serta, pada saat yang sama, selalu hidup di bawah kondisi-kondisi obyektif tertentu yang tidak tergantung pada kehendak dan hasrat mereka namun, pada akhirnya, ditentukan oleh arah dan karakter aktivitas, ide dan aspirasi-aspirasi mereka.

Apa yang dimaksud dengan hukum-hukum sosial?
Setiap hukum alam mencerminkan saling-keterkaitan (yang objektif, yang seharusnya, dan yang relatif stabil) antar-fenomena, antar-proses-proses. Demikian pula, hukum-hukum yang dibentuk oleh materialisme historis dan ilmu-pengetahuan sosial lainnya mencerminkan suatu prinsip keterkaitan reguler, berulang-ulang, antara fenomena sosial dan antara proses-proses sosial, yang memang selayaknya, niscaya, dan relatif stabil.

Beberapa hukum sosial beroperasi dalam berbagai tahap perkembangan sosial. Yakni mencakup hukum-hukum yang menentukan peran keberadaan sosial dalam kaitannya dengan kesadaran sosial; hukum-hukum yang menentukan peran hubungan-hubungan produksi yang dominan dalam kaitannya dengan suatu struktur masyarakat tertentu; hukum-hukum yang menentukan peran tenaga-tenaga produktif dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan ekonomi; hukum-hukum yang menentukan peran basis ekonomi dalam kaitannya dengan suprastruktur sosial; hukum-hukum tentang ketergantungan hakekat sosial individu pada keseluruhan hubungan sosial, dan sebagainya. 

Di samping hukum-hukum sosial yang bersifat umum, terdapat juga hukum-hukum yang hanya menangani formasi-formasi sosial tertentu. Yakni, terutama, hukum tentang masyarakat yang sudah terbagi ke dalam kelas-kelas, yang hanya merupakan karakter hubungan-hubungan produksi tertentu, dan hukum tentang perjuangan kelas sebagai tenaga pengegrak sejarah, yang hanya berlaku dalam formasi-formasi sosio-ekonomi yang didirikan di atas antagonisme kelas-kelas.
Beberapa kritik terhadap materialisme historis mengatakan bahwa sebuah hukum memiliki keterkaitan yang selalu eksis di manapun. Jika hukum perjuangan kelas tidak sesuai dengan persyaratan tersebut, maka ia tidak bisa disebut hukum.

Dalam gambaran umum, hukum-hukum kehidupan sosial rentang waktu eksistensi dan tindakannya lebih pendek ketimbang hukum-hukum alam. Hukum-hukum sosial lainnya, di samping hukum tentang perjuangan kelas, hanya berlaku pada saat dan di mana terdapat kondisi-kondisi dan hubungan-hubungan yang dibutuhkannya tersedia. Namun demikian, hukum-hukum tersebut obyektif, hukum-hukum sebenarnya yang mencerminkan keterkaitan intrinsik, yang relatif konstan, di antara fenomena sosial dan proses-proses sosial. Di atas segalanya, bahkan hukum biologi bumi pun tak bisa diterapkan pada matahari. Tetapi, prinsip tersebut bukan mengarahkan orang untuk meragukan realitasnya, obyektivitasnya.

Beberapa ekonom dan sosiolog borjuis mengangkat hukum-hukum sosial (misalkan, hukum eksistensi dan perkembangan kapitalisme) pada tingkatan hukum yang abadi, alami dan tidak dapat diganggu-gugat; mereka melihat kapitalisme (dengan kepemilikannya yang tak adil) dan hubungan-hubungan dominasi serta penindasannya berlaku pada semua tahap perkembangan masyarakat. Engels mengritik pandangan tentang hukum sosial dan ekonomi semacam itu:

“Bagi kita, apa yang disebut ‘hukum ekonomi’ bukan lah merupakan hukum alam yang abadi tetapi hukum sejarah yang bisa muncul dan bisa menghilang; dan aturan ekonomi-politik moderen, sejauh yang telah disusun dengan obyektivitas yang tepat oleh para ahli ekonomi, bagi kita hanya sekadar merupakan sebuah ringkasan dari hukum-hukum dan kondisi-kondisi yang mendasari masyarakat borjuis sehingga bisa eksis—pendek kata, kondisi-kondisi produksinya dan pertukarannya yang tercermin secara abstrak dan garis besarnya saja. Karenanya, bagi kita, tak ada satu pun dari hukum-hukum tersebut—sejauh itu mencerminkan hubungan-hubungan borjuis yang sepenuhnya—yang lebih tua dari masyarakat borjuis itu sendiri; hukum-hukum yang, sampai sekarang, sedikit banyak masih valid bagi seluruh sejarah hanya lah hukum-hukum yang tercermin dari hubungan-hubungan tersebut, yang merupakan kondisi-kondisi yang selayaknya dalam semua masyarakat yang didirikan di atas basis kekuasaan kelas dan penghisapan. (12) 

Setiap hukum beroperasi di bawah kondisi kondisi tertentu dan hasil-hasil tindakannya tergantung pada kondisi-kondisi tersebut, yang berbeda dari satu formasi ke formasi lainnya, juga berbeda dalam setiap formasi, dan mengasumsikan bentuk-bentuk spesifik di berbagai negeri. Dengan demikian, kapitalisme di setiap negeri memiliki gambaran tertentu disebabkan masa lalu sejarah negeri tersebut, tergantung besar-kecilnya struktur-struktur ekonomi pra-kapitalis yang masih mendekam. Namun gambaran khusus tersebut tak berpengaruh terhadap hal utama: tidak, dan tidak bisa, menghapuskan hukum-hukum jeneral yang inheren dalam masyarakat kapitalis; tak ada hukum-hukum perkembangan kapitalisme yang memiliki karakter nasional, yakni hukum-hukum kapitalisme yang memiliki karakter khusus di setiap negeri; hukum-hukum formasi sosio-ekonomi yang tersendiri, walaupun spesifik, bila dikaitkan dengan hukum-hukum sosial jeneral, hukum-hukum itu sendiri merupakan hukum-hukum jeneral bagi semua negeri yang menjadi bagian dari formasi tertentu. Dalam hal tersebut, sebagaimana dalam bidang-bidang lainnya, terdapat kesatuan dialektik antara yang jeneral dengan yang khusus, yang berlaku di tingkatan internasional dengan yang berlaku di tingkatan nasional. Mengabaikan atau mengorbankan prinsip kesatuan dialektik tersebut, terlalu menekankan karakter nasional dengan menghancurkaan yang umum, yang internasional, bisa mengarah pada tendensi-tendensi nasionalis. Itu lah garis pembatas yang harus dilihat dan dimengerti oleh Marxis: sebagai kaum internasionalis—dalam pengertian politik—dan sebagai kaum dialektikus—dalam pengertian teori.

4. Aktifitas Kesadaran Manusia dan Peranannya dalam Sejarah
Dalam pengertian bahwa perkembangan sosial merupakan sebuah proses sejarah alam, apakah itu berarti kita menghambat upaya untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai peran kreatif manusia—aktivitas transformasi revolusioner? Apakah hal tersebut tidak akan mengarahkan kita agar meremehkan aktivitas historis, inisiatif historis kekuatan-kekuatan sosial progresif, atau meremehkan peran faktor subyektif?

Mereka yang berada di kubu padandangan idealis-subyekyif sering menuduh Marxis sebagai penganut fatalisme. Sosisolog borjuis memepertahankan pendapat bahwa konsepsi Marxis tentang karakter obyektif hukum-hukum perkembangan sosial meremehkan kebebasan manusia, meremehkan aktivitas sadar manusia, dan itu artinya anti-humanis. Mereka menuduh bahwa Marxis memandang faktor ekonomi sebagai segalanya, sedangkan ide-ide dan berbagai bentuk kesadaran sosial—seperti filsafat, moralitas, agama—diremehkan, bukan apa-apa atau, dari sudut pandang materialisme historis, dianggap samasekali tak memiliki signifikansi. Kasus seperti itu lah yang dijadikan bukti oleh kubu yang mengkritik Marxisme. Tapi, sebenarnya, mereka sedang mengaburkan materialisme historis menjadi materialisme ekonomi, yang vulgar. Keduanya, kubu idealis-subyektif dan materialis vulgar, salah, dan bertentangan satu dengan yang lainnya secara radikal.

Materialisme Historis sama sekali tidak menafikan signifikansi faktor politik, kesadaran sosial; malah sebaliknya, maaterialisme historis mengakui peranannya yang begitu penting dalam kehidupan sosial. Ide-ide reaksioner dan kebijakan reaksioner (contohnya, ide-ide rasis, kebijakan fasisme) memainkan peranan yang sangat negatif. Mereka membiarkan dan membawa kehancuran yang besar bagi rakyat pekerja.

Sebaliknya, ide-ide progressif, ide-ide revolusioner—dalam bidang filsafat, ekonomi, politik dan moral—dan kebijakan-kebijakan yang didasarkan padanya memainkan peran yang sangat besar, khususnya, saat ide-ide tersebut tersebar di kalangan massa, saat mereka bertindak sebagai kekuatan sejarah yang termobilisasi, terorganisir dan melakukan perubahan.

Materialisme historis, sebagaimana Marxisme secara keseluruhan, mengambil bentuk dan berkembang dalam rangka memerangi dua kecenderungan yang saling bertentangan: Pertama, menentang subyektifisme Hegelian Muda; Kedua, melawan providensialisme (13) dan fatalisme yang meremehkan signifikansi kesadaran manusia, aktivitas kreatif (menentang obyektifisme borjuis, menentang oprtunisme “sosialis” dengan teori-teorinya yang percaya bahwa peralihan dari kapitalisme ke sosialisme bica dicapai secara damai, dan sebagainya).

Kritikan borjuis terhadap Materialisme Historis berupaya membuktikan adanya kontradiksi antara aktivitas revolusioner partai Marxis dengan ajarannya tentang keniscayaan sejarah, khususnya tentang keruntuhan kapitalisme yang tak terdihindarkan. Kritik tersebut mengatakan, jika kita tahu bahwa gerhana bulan itu tak terhindarkan dan terpaksa harus terjadi karena terdapat hukum-hukum tertentu yang mengaturnya, maka tak seorang pun akan (atau mengapa bersusah payah) berpikir untuk mendirikan kelompok yang hendak mencegah gerhada bulan tersebut terjadi, tapi, si Marxis, yang mengajarkan kepada kita bahwa kapitalisme akhirnya akan runtuh, tetap saja mendirikan partai politik untuk melawan kapitalisme demi mendirikan sosialisme.

Adalah sesuatu yang bodoh dan absur, tentunya, mendirikan kelompok untuk “mengatur” gerhana bulan atau datangnya musim semi dan musim panas. Pergerakan bumi dan matahari, atau juga pergerakan bulan, tidak melibatkan aktivitas manusia. Rotasi bumi adalah mengelilingi matahari, dan rotasi bulan mengelilingi bumi, jauh sebelum manusia ada di bumi. Tapi sejarah dibuat dan sedang dibuat oleh manusia, dan hanya oleh manusia. Hukum-hukum perkembangan sosial, tak seperti hukum-hukum alam, merupakan hukum-hukum aktivitas manusia. Di luar aktivitas tersebut, hukum-hukum perkembangan sosial tak berlaku. Karenanya, revolusi-revolusi sosial, termasuk revolusi sosialis, bisa terjadi sebagai hasil perjuangan kelas-kelas progresif berdasarkan penggunaan hukum-hukum obyektif perkembangan sosial, khususnya hukum-hukum perjuangan kelas. Semakin mendalam dan komprehensif pengetahuan kita terhadap hukum-hukum perkembangan sosial, hukum-hukum revolusi sosial, semakin tinggi kesadaran, solidaritas, kesatuan dan organisasi rakyat pekerja, maka semakin berhasil lah perjuangan untuk sosialisme—penggerak kemajuan sejarah.

Sebagaimana juga bahwa pengetahuan tentang hukum-hukum dan proses-proses alam memberikan kepada kita kesempatan untuk memperkecil, menekan, kekuatan-kekuatan alam, demikian pula pengetahuan tentang hukum-hukum sosial yang menguasai kekuatan-kekuatan perkembangan sosial membuat kelas-kelas progresif secara sadar bisa menciptakan sejarah, berjuang demi kemajuan sosial. Dengan mengetahui hukum-hukum obyektif perkembangan sosial maka kekuatan-kekuatan sosial progresif bisa bertindak tidak secara membabi-buta, tidak secara spontan, tapi dengan menggunakan pengetahuan tentang apa yang sedang mereka kerjakan, dan, dalam makna tersebut: secara bebas.

Hukum-hukum perkembanagan sosial biasanya berfungsi sebagai kecenderungan-kecenderungan; yang mencari jalannya dengan mendobrak segala rintangan, dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya peristiwa-peristiwa yang dapat memberikan kesempatan, melalui konflik dengan kecenderungan-kecenderungan lain yang betentangan—yang, tentu saja, didukung oleh kekuatan-kekuatan musuhnya—atau kecenderungan-kecenderungan yang harus dilumpuhkan dan diatasi dalam rangka menjamin kemenangan kecenderungan-kecenderungan dan kekuatan-kekuatan yang progresif.

Konflik antara berbagai kecederungan atau kebiasaan berarti bahwa dalam setiap periode sejarah terdapat lebih dari satu kemungkinan. Jadi, tenaga-tenaga produktif yang diciptakan kapitalisme menyediakan—untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia—kemungkinan untuk mendirikan masyarakat sosialis, yang akan membebebaskan tenaga-tenaga produktif tersebut dari batas-batas hubungan-hubungan produksi kapitalis dan mensubordinasikannya pada manajemen kolektif rakyat pekerja. Kemungkinan alternatifnya, bagaimanapun juga, bukan lah kelanjutan kapitalisme, tapi semakin parah, atau semakin parahnya kontradiksi antara hubungan-hubungan produksi kapitalis dengan tenaga-tenaga produkstif—yang semakin besar kekuatannya—yang diciptakan oleh kapitalisme itu sendiri. Bila kecenderungan tersebut bisa terjadi, bisa terwujud, bisa berjalan, maka tenaga-tenaga produktif manusia akan didorong ke arah stagnasi dan kerusakan yang disebabkan oleh degradasi ekologi, dan runtuhnya kapitalisme berubah menjadi bentuk barbarisme baru, atau bahkan—sebagai hasil dari peledakan-peledakan nuklir di tingkat global—kehancuran ras manusia itu sendiri.

Pembentukan organisasi-organisasi Marxis revolusioner di seluruh negeri, perubahan mereka dari kelompok propagandis sosialisme menjadi partai-partai popular yang mampu memobilisasi massa rakyat dalam rangka perjuangan demi kekuasaan kelas pekerja dan sosialisme, karenanya merupakan tugas untuk melaksakan kewajiban yang paling mulia dan paling penting. Tanpa partai-partai seperti itu, perjuangan demi sosialisme tak akan pernah dimenangkan dan kemanusiaan secara keseluruhan akan mengalami tingkat penderitaan, degradasi, yang tak pernah dialami sebelumnya dan, bahkan, akan mengalami penghancuran fisik.

Keniscayaan sejarah, oleh karenanya, bukan lah berarti takdir. Dalam kehidupan nyata, manfaat efek hukum-hukum obyektif dan berbagai kecendrungan perkembangan sosial memudahkan kemungkinan-kemungkinan tertentu, yang realisasinya tergantung pada aktivitas massa: perjuangan kelas.

Pengetahuan tentang hukum-hukum keniscayaan sejarah, tentang hukum-hukum obyektif perkembangan sosial, tidak lah berarti membebaskan manusia untuk tidak bertindak, atau tidak butuh tindakan manusia, tapi justru menuntut tindakan aktif, partisipasi sadar manusia untuk menggunakan hukum-hukum tersebut demi kebutuhan mereka. Ajaran materialisme historis tentang proses historis alam tidak lah meremehkan peran keberadaan manusia, peran aktivitas sadarnya, tapi justru bisa menunjukkan signifikansi aktivitas tersebut, signifikansi perjuangan kekuatan-kekuatan progresif. Mengabaikan hukum-hukum tersebut, atau gagal mempertimbangkan kondisi-kondisi aktual dan alat-alat perjuangannya, bisa membuat massa rakyat pekerja, kelas pekerja dan partai-partainya, menjadi tak berpengharapan, pasif, atau malah melakukan petualangan politik sehingga mudah dikalahkan.

Dengan cara itu, materialisme historis bisa menyelesaikan problem filosofis: hubungan antara kebebasan dengan keniscayaan, problem antara kebebasan berkehendak dengan determinisme. Kebebasan [yang diamati Engels] tidak lah ada dalam mimpi (untuk membebaskan diri dari hukum-hukum alam), tapi ada dalam pengetahuan tentang hukum-hukum tersebut, dan di dalam kemungkinan membuat hukum-hukum tersebut bekerja secara sistimatis ke arah tujuan-tujuan tertentu. Pandangan tersebut berguna untuk mengetahui hukum-hukum eksternal alam sehingga memudahkan kita mengetahui huukum-hukum yang mengatur eksistensi ragawi dan mental manusia itu sendiri—dua kelas hukum yang bisa kita pisah-pisahkan hanya di dalam pikiran kita saja, bukan dalam realitas. Kebebasan kehendak, karenanya, samasekali tak berarti apa-apa kecuali sebatas kapasitas untuk membuat keputusan-keputusan dengan menggunakan pengetahuan tentang subyek tertentu. Dengan demikian, semakin bebas kebijakan seorang manusia dalam menjawab pertanyaan tertentu, maka semakin besar lah keniscayaan yang berisikan hukum-hukum yang akan menentukan kebijakan tersebut; sedangkan ketidakpastian, yang bisa disebut sebagai pengabaian atau ketidakpedulian—dalam bentuk pemilihan serampangan terhadap berbagai kemungkinan keputusan yang saling bertentangan—menunjukkan adanya ketidakbebasan tertentu, yakni yang (karena) dikuasai oleh obyek yang memang selayaknya mengontrol dirinya sendiri. Kebebasan, karenanya, hanya lah sebatas semungkin apa kita bisa menguasai diri kita dan alam, penguasaan yang ditentukan oleh pengetahuan kita terhadap keniscayaan alam; karena memang demikian lah yang seharusnya, selayaknya, dihasilkan, diproduksi, oleh perkembangan historis. (14) 

Apa yang dikatakan Engels adalah tentang hukum-hukum alam yang sepenuhnya diterapkan pada hukum-hukum sosial, pada hubungan antara kebebasan dan keniscayaan dalam kehidupan sosial. Hukum-hukum sosial, yang banyak tak dipahami manusia dan bahkan ditentang oleh mereka, akan beroperasi sebagai kekuatan-kekuatan spontan yang bermusuhan terhadap manusia. Tapi bila kita bisa memahami hukum-hukum tersebut beserta hakikatnya, memahami kondisi-kondisi dan arah operasinya, maka kita akan mampu menguasai dan menggunakannya.

Sejarah kemanusiaan tentunya tidak lah selalu dihasilkan sesederhana sebuah garis lurus yang kian meninggi. Akan lah mistis bila hal tersebut hanya disusun dari arah-gerak ke depan. Namun demikian, sejarah kemanusiaan, secara keseluruhan, sering dipandang secara logis sebagai sebuah garis lurus yang semakin meningkat—dari satu formasi sosio-ekonomi ke formasi sosio-ekonomi lainnya, dari formasi sosio-ekonomi yang rendah ke formasi sosio-ekonomi yang tinggi, yang diukur dari perkembangan produktivitas sosial tenaga kerja manusia—padahal, sebenarnya, sejarah kemanusiaan bisa mengalami kemunduran, mengalami zigzag, mengalami kehancuran historis akibat, misalnya, perang-perang, invasi barbar, dan kemerosotan serta kejatuhan kekuasaan negara.

Gerakan historis itu beragam, tidak seragam, dan banyak memasukkan hal-hal yang spesifik—sehubungan dengan gambaran menyimpang dan kondisi-kondisi khusus perkembangan berbagai manusia. Tapi, dengan begitu, kita bisa melihat kebesaran materialisme historis, yang dihasilkan dari kekacauan dan keragaman (tanpa batas) hukum, regularitas, dan pengulangan-pengulangan dalam segala hal yang paling esensial dan pokok, yang merupakan ciri perkembangan kemanusiaan.

Adakah makna bahwa sejarah kemanusiaan, perkembangan masyarakat, atau pergerakan tersebut tak memiliki arti dan sangat mendasar sebagaimana arus sungai yang menyapu segala sesuatu yang ada dipinggirnya? Tentu saja tak ada landasannya untuk menyetujui atau mengakui makna apapun yang diimpor pada sejarah dari ruang hampa, dari ketiadaan—seperti kemutlakan metafisika yang sudah ditentukan sebelumnya, program yang sudah diatur terlebih dahulu atau takdir supranatural kemanusiaan. Pada saat yang sama, sejarah masyarakat dalam setiap zamannya memiliki isian pastinya. Massa, kekuatan-kekuatan progresif yang menciptakan sejarah, menyusuri jalannya demi mendapatkan hubungan-hubungan ekonomi, politik dan sosial lainnya yang baru, yang lebih mau berjuang untuk memenuhi beban tugas-tugas sejarahnya. Manusia mungkin bisa tak sepenuhnya sadar akan tugas-tugas tersebut, atau mereka mungkin salah memahaminya, kadang-kadang dalam bentuk mistis, bentuk khayalan. Dalam periode-periode transisi besar sejarah, kesadaran, aktivitas kreatif massa dan kelas-kelas progresif, berhasil mencapai puncaknya. Jadi, sejarah kemanusiaan tak seluruhnya spontan, dan kesadaran sosial juga merupakan bagian yang memainkan peranan penting.

Isi dari epik sekarang ini adalah perjuangan antara kekuatan-kekuatan kapitalisme dengan kekuatan-kekuatan sosialisme, transisi revolusioner dari kapitalisme menuju sosialisme. Kesadaran berjuang kelas pekerja dan sekutu-sekutunya, yang menghendaki sosialisme, mempercepat gerak sejarah. Dan, pada saat sekarang ini, sedang menyelesaikan berbagai kesulitannya, dan berada dalam kontradiksi serta antagonisme yang mendalam; karena itu, tak akan dicapai dalam arah layaknya garis yang lurus. Tapi, dalam hal ini, ada juga zigzagnya dan kemudurannya. Namun demikian, bila dilihat secara keseluruhan, proses historis konteporer sedang mengarah menuju sosialisme, dan itu lah maknanya yang paling mendalam. 

***

(1) Lorimer, Doug, “Fundamentals of Historical Materialism, the Marxist View of History and Politics”, Resistance Books, Sydney, 1999, hal. 20-35.

(2) Dikutip dari D. Gribanov et al, “Einstein and the Philosophical Problems of 20th Century Physics“ (Progress Publishers: Moscow, 1979), hal. 18.

(3) Filsafat materialisme merupakan pandangan yang berpendapat bahwa, di luar kesadaran kita, terdapat dunia eksternal yang independen terhadap kesadaran apapun, namun bisa direfleksikan dalam kesadaran kita; pandangan yang berpendapat bahwa totalitas obyek-obyek di dunia eksternal merupakan materi yang menentukan (penentu), dan kesadaran merupakan produk dari sistim-sistim material tertentu, yakni, organisme hidup yang memiliki sistim syaraf dan otak. Filsafat materialisme beroposisi terhadap filsafat idealisme, yang memegang teguh pendapat bahwa kesadaran, apakah itu kesadaran manusia ataupun kesadaran supranatural, merupakan satu-satunya gambaran utama realitas, dan materi merupakan produk kesadaran individual yang kita miliki (idealisme-subyektif) atau merupakan pelepasan dari kesadaran supranatural (idealisme-obyektif).

(4) G.W.F Hegel (1770-1831) adalah figur lanjutan aliran fisafat idealis Jerman yang awalnya dirintis Immanuel Kant. Hegel berusaha menyelesaikan perbedaan filsafat tradisional dalam menangani persoalan antara pikiran dan materi, dan hasilnya adalah rumusan tentang realitas yang diseragamkan dan monistik yang menyebabkan materi menjadi suatu ekspresi tenaga inti pengatur yang “teraleniasi”—atau apa yang disebut sebagai akal atau Ruh Absolut. Walaupun teori Hegel tentang keberadaan merupakan teori yang idealis, namun ia memandang realitas sebagai sesuatu yang sedang mengalami proses perkembangan dialektik. Dalam pengantar edisi kedua Capital, Jilid 1, Marx menyadari bahwa “Di tangan Hegel, mistifikasi yang diderita dialektika sedikitpun tak menghalanginya untuk menjadi orang yang pertama yang menyajikan bentuk-bentuk jeneral bagaimana dialektika bekerja secara konprehensif dan cara yang sadar. Oleh Hegel dialektika diberdirikan oleh kepalanya. Dialektika harus dibalikkan agar berdiri secara benar, agar orang bisa menemukan inti-rasional di balik kulit mistiknya.” 

(5) Lenin, V.I., “Collected Works”, Progress Publishers, Moscow, 1964-1970, Vol. 19, hal. 25.

(6) Positifisme adalah kecenderungan filsafat borjuis yang diprakarsai oleh Augustus Comte (1798-1857), suatu cabang empirisme, yang memegang teguh pendapat bahwa satu-satunya pengetahuan yang absyah adalah yang “positif”, yakni, yang dengan segera dan secara empiris bisa menentukan kebenaran dengan menyodorkan bukti-bukti dan pengakuan-pengakuan. Comte memandang penemuan hukum-hukum perkembangan sosial harus didasarkan pada kecenderungan-kecenderungan sosial saat ini yang akan, secara mekanistik, diproyeksikan bagi masa depan. Para pengikutnya, neo-positifis, menolak jeneralisasi teori-teori sosial apapun atau menolak “penetapan-penetapan nilai” yang melewati batas penjelasan-penjelasan sederhana terhadap peristiwa-peristiwa aktual dan lembaga-lembaga sosial.

(7) Lenin, V.I., “Collected Works”, Progress Publishers, Moscow, 1964-1970, Vol. 1, hal. 142.

(8) “Epistemology”: studi tentang sumber-sumber, perkembangan, batas-batas dan validitas pengetahuan.

(9) Lenin, V. I., “Selected Works” [dalam tiga jilid], Progress Publishers, Moscow, 1975, hal. 44.

(10) Marx, K., dan Engels, F., “Selected Works” [dalam tiga jilid], Progress Publishers, Moscow, 1969-1970, hal. 503-04.

(11) Lenin, V. I., “Selected Work”s [dalam tiga jilid], Progress Publishers, Moscow, 1975, hal. 25.

(12) Marx, K., dan Engels, F., “Selected Correspondence”, Progress Publishers, Moscow, 1975.

(13) Arah yang sudah ditentukan sebelumnya oleh kekuatan yang tak bisa dibuktikan secara ilmiah <beberapa orang melihat bahwa kunci gerak sejarah terletak pada kekuatan... providen—William Ebenstein>, “Webster’s II New Riverside University Dictionary”, The Riverside Publishing Company, hal.948.

(14) Engels, F., “Anti-Dühring” (Progress Publishers: Moscow, 1969), hal. 136-37.

Related Posts: