# Renung Senja 16

Ya Allah sandaran cintaku
Ya Allah pondasi jiwaku
Ya Allah Sang penabur kelembutan ...
Ya Sin’ atap ku
Kaf Ha Ya ‘Ain Shad kecukupanku
Ha Mim ‘Ain Sin Qaf pelindungku
Ya Allah wahai cahaya
Wahai yang Haqq
Wahai penolong
Kenakan aku sebagian cahaya-Mu
Ajarkan aku sebagian ilmu-Mu

Beri pengertian kepadaku dari-Mu
Dan dengarkan aku dari-Mu
Perlihatkan aku dengan-Mu
Wahai Dzat yang menundukkan matahari dan bulan bagi Muhammad
Wahai Engkau yang menundukkan laut bagi Musa
Engkau yang tundukkan api bagi Ibrahim
Engkau yang tundukkan gunung dan besi bagi Daud
Engkau tundukkan angin, syetan-syetan, (manusia) dan jin bagi Sulaiman
Engkau yang tak terduakan
Engkau yang tak terbandingkan
Aku kangen Engkau Allah
Aku sayang Engkau Allah
Aku rindu Engkau Allah
Ya manismuhu mahbub
Wawajhuhu matlub
Anshofa, 02/12/2013


Related Posts:

‎# Renung Senja 15‎

Sudahlah.

Filosofikan hidupmu sedemikian rupa. Semampu-mampumu, sekuat-kuatmu, sesuai kadar kekuatan dan kelemahanmu sendiri. Manusia, sekalipun prototipe sempurna ciptaan Tuhan, tetap mempunyai kadar batas kemerdekaan, dimana ia mampu menimbang segala apa yang ia ucap, ia dengar, ia lakukan.
Mengapa harus filosofi..?

Itulah letak kebijaksanaan. Yang hampir semua manusia enggan mencari, bahkan untuk sejenak menoleh sedikitpun aras-arasen. Skala dan aksentuasinya begitu luas, tapi anda bisa memulainya dari diri sendiri.

Produk paling gampang adalah membuat orang, dan siapapun disekitar anda merasa senang, merasa gembira. Itu sudah cukup. Dan berdo’alah kepada Tuhan ditengah kebahagiaan mereka, ditengah kegembiraan mereka.
Jika anda kuat menakar, jangan mengungkit-ungkit menjadi subjek. Apalagi front man atas kegembiraan yang terjadi.

Berdialektikalah dengan Tuhan, berbincang-bincanglah pada jernihnya hati, berasyiklah dengan sejatinya cinta. Biarkan mereka bahagia, tanpa tahu siapa yang sesungguhnya membuat mereka bahagia. Biarkan mereka tertawa tanpa mengerti siapa yang membuat mereka tertawa. Biarkan saja mereka beribadah dengan tekun, belajar dengan rajin, sregep ngaji, rajin beramal, bangun pagi, bekerja keras, dengan ketidakmengertian bahwa sebenarnya siapa yang mendorong dibalik itu semua. Sebuah kebahagiaan yang tak terkira.

Itu latihan untuk menjadi ikhlas. Ikhlas adalah ketertundaan. Lho..?

Ada yang kau tunda : Kebahagiaan
Ada yang kau nyalakan : Harapan
Ada yang kau tunggu : Kesabaran
Tuhan, aku tetap bersama-Mu dan baik-baik saja.

Related Posts:

‎# Renung Senja 14

Emm...

Lama aku tidak menyapamu wahai pelantun hati...

Diary ini terlalu lama tidak kusapa sebagaimana lamanya aku tak bersapa dengan pemilikmu. Iya, pemilikmu itu. Yang nun berada ‘jauh’ disana, mengembara mencari jati dirinya, mencari cicilan cinta untuk kehidupannya. Juga diriku, berusaha semampu mungkin memperbaiki diri, menata hati.

Pemilikmu itu wahai pelantun hati...

Entah sedang melakukan hal apa disana. Apa yang sedang ia fikirkan. Apakah ia sedang bahagia ataukah dirundung kesedihan aku sama sekali ‘buta’. Ah. Pemilikmu itu wahai pelantun hati, yang aku memanggilnya May. Semoga Tuhan mengiringi langkahnya. 
Seringkali, bersama kesendirian setelah bergelut sapa dengan teman sebaya, selalu ‘kutengok’ sejenak tentang isi hati, isi fikiran, untuk berceloteh menggambarkan suasana yang sedang bergejolak bahwa masa depan adalah ruang panjang tak terkira. Ia misteri. Dan kita hanya mampu melangkah dalam rencana, namun kepastian hanyalah milik Tuhan semata.

Pemilikmu itu wahai pelantun hati...

Perempuan sederhana dengan ‘ke-endelanya’, cerewetnya, senyumnya, cara berbicaranya, tangisnya, perih sakitnya—ketika ia ngamar di Rs Aisiyah—menjadi kenangan tersendiri dalam ingatanku. Yang aku tuangkan dalam tulisan-tulisan, foto, dan apapun saja yang akan aku buka kembali jika rindu sedang bergejolak.

Beberapa obrolan-obrolan singkat yang masih kuingat tentunya.

“ Benar kata pyan Mas, jika memang kita tidak ditakdirkan bersama di dunia, semoga di akhirat kita bisa. Bitawakkal ilallah “

Juga ia yang bercerita tentang mimpinya

“ Kelak, jika diberi kesempatan, May ingin lanjut kuliah s2 diluar negeri Mas. Menurut Mas gimana..?

Dan kehati-hatianya dengan zat kimia

“ Hati-hati Mas. Jangan terlalu sering makan bakso, mie, pangsit, dengan berlebihan. Itu mengandung bla..bla..bla.. nanti efeknya bla..bla..bla...soalnya kandungan kimiawinya bla..bla..bla... dan juga rokok, dicoba sedikit-sedikit ninggalin rokoknya, itu bahaya karena bla...bla..bla...

Aku hanya senyum-senyum saja. Jadi pendengar setia. Kurekam dengan detail apa-apa yang ia omongkan, ia harapkan, ia impikan. Sembari kuamini dengan doa, dengan ketulusan.

Ah May. Bagaimanakah kabarmu...?

Pemilikmu itu wahai pelantun hati...

Perempuan penuh pesona, yang tak pernah kutemukan pesonanya kecuali dia. Disini, di pondok sederhana ini, kurang ngejleng piye konco-konco putri disini...? ada Evi, Hikmah, Nafisah, Linda, yang menjadi buah bibir santri putra. Mereka perempuan-perempuan ayu, tapi tidak bagiku. May tetaplah yang paling ayu. Sampai kapan pun dan bagaimanapun.   

May, ayok bersabar, saling menanti dan mendo’a semoga kelak dipertemukan Tuhan dalam cintaNya, dalam rindhoNya. Semoga Tuhan hadir dalam kisah cinta ini. Ada baiknya, kita harus ‘berpisah’ sementara demi ruang rindu yang kita tunggu.

Sayangi Ibu Ayahmu, Amah Abahmu, Adik-adikmu. Cintai teman-temanmu, sahabatmu, dan  siapapun saja. Agar kita tidak buta, agar kita semakin mengenal, bahwa tidak ada alasan untuk membenci seseorang, yang ada hanya cinta.

# Anshofa 28/11/2013 

Related Posts:

TILANG

# Subyek cerita di alihkan akan tetapi kejadiannya bener/fakta.

Polisi (P) : Selamat siang mas, bisa lihat Sim dan STNK?

Sopir (Sop) : Baik Pak…

P : Mas tau..kesalahannya apa?
Sop : Gak pak

P : Ini nomor polisinya gak seperti seharusnya (sambil nunjuk ke plat nomor taksi yg memang gak standar sambil lalu menulis dengan sigap di buku tilang)


Sop : Pak jangan ditilang deh…plat aslinya udah gak tau kemana… kalo ada pasti saya pasang

P : Sudah…saya tilang saja…banyak mobil curian sekarang (dengan nada keras!!)
Sop : (Dengan nada keras juga ) Kok gitu! taksi saya kan Ada STNK nya pak , ini kan bukan mobil curian!

P : Kamu itu kalo di bilangin kok ngotot (dengan nada lebih tegas) kamu terima aja surat tilangnya (sambil menyodorkan surat tilang warna MERAH)
Sop : Maaf pak saya gak mau yang warna MERAH suratnya…Saya mau yg warna BIRU aja

P : Hey! (dengan nada tinggi) kamu tahu gak sudah 10 Hari ini form biru itu gak berlaku!
Sop : Sejak kapan pak form BIRU surat tilang gak berlaku?

P : Inikan dalam rangka OPERASI, kamu itu gak boleh minta form BIRU… Dulu kamu bisa minta form BIRU… tapi sekarang ini kamu Gak bisa… Kalo kamu gak mau kamu ngomong sama komandan saya (dengan nada keras dan ngotot)
Sop : Baik pak, kita ke komandan bapak aja sekalian (dengan nada nantangin tuh polisi)

Dalam hati saya …berani betul sopir taksi ini …
P : (Dengan muka bingung) Kamu ini melawan petugas!?
Sop : Siapa yg melawan!? Saya kan cuman minta form BIRU… Bapak kan yang gak mau ngasih

P : Kamu jangan macam-macam yah… saya bisa kenakan pasal melawan petugas!
Sop : Saya gak melawan!? Kenapa bapak bilang form BIRU udah gak berlaku? Gini aja pak saya foto bapak aja deh… kan bapak yg bilang form BIRU gak berlaku (sambil ngambil HP)

Wah … wah hebat betul nih sopir …. berani, cerdas dan trendy … (terbukti dia mengeluarkan hpnya yang ada berkamera.

P : Hey! Kamu bukan wartawan kan! ? Kalo kamu foto saya, saya bisa kandangin (sambil berlalu)

Kemudian si sopir taksi itupun mengejar itu polisi dan sudah siap melepaskan “shoot foto pertama” (tiba-tiba dihalau oleh seorang anggota polisi lagi )

P 2 : Mas, anda gak bisa foto petugas sepeti itu
Sop : Si bapak itu yg bilang form BIRU gak bisa dikasih (sambil tunjuk polisi yg menilangnya)

lalu si polisi ke 2 itu menghampiri polisi yang menilang tadi, ada pembicaraan singkat terjadi antara polisi yang menghalau si sopir dan polisi yang menilang. Akhirnya polisi yg menghalau tadi menghampiri si sopir taksi

P 2 : Mas mana surat tilang yang merah nya? (sambil meminta)
Sop: Gak sama saya pak…. Masih sama temen bapak tuh (polisi ke 2 memanggil polisi yang menilang)

P : Sini tak kasih surat yang biru (dengan nada kesal)

Lalu polisi yang nilang tadi menulis nominal denda sebesar Rp.30.600 sambil berkata “nih kamu bayar sekarang ke BRI … lalu kamu ambil lagi SIM kamu disini, saya tunggu”.

S : (Yes!!) Ok pak …gitu dong kalo gini dari tadi kan enak…

Kemudian si sopir taksi segera menjalankan kembali taksinya sambil berkata pada saya, “Pak .. maaf saya ke ATM sebentar ya. mau transfer uang tilang. Polisi berkata "ya silakan".

Sopir taksipun langsung ke ATM sambil berkata, … “Hatiku senang banget pak, walaupun di tilang, bisa ngasih pelajaran berharga ke polisi itu.” “Untung saya paham macam2 surat tilang.”

Tambahnya, “Pak kalo ditilang kita berhak minta form Biru, gak perlu nunggu 2 minggu untuk sidang Jangan pernah pikir mau ngasih DUIT DAMAI…. Mending bayar mahal ke negara sekalian daripada buat oknum!”

Dari obrolan dengan sopir taksi tersebut dapat saya infokan ke Anda sebagai berikut:

SLIP MERAH, berarti kita menyangkal kalau melanggar aturan Dan mau membela diri secara hukum (ikut sidang) di pengadilan setempat.. Itupun di pengadilan nanti masih banyak calo, antrian panjang, Dan oknum pengadilan yang melakukan pungutan liar berupa pembengkakan nilai tilang. Kalau kita tidak mengikuti sidang, dokumen tilang dititipkan di kejaksaan setempat, disinipun banyak calo dan oknum kejaksaan yang melakukan pungutan liar berupa pembengkakan nilai tilang.

SLIP BIRU, berarti kita mengakui kesalahan kita dan bersedia membayar denda. Kita tinggal transfer dana via ATM ke nomer rekening tertentu (kalo gak salah no.rek Bank BUMN). Sesudah itu kita tinggal bawa bukti transfer untuk di tukar dengan

SIM/STNK kita di kapolsek terdekat dimana kita ditilang. You know what!? Denda yang tercantum dalam KUHP Pengguna Jalan Raya tidak melebihi 50ribu!

Dan dananya RESMI MASUK KE KAS NEGARA


Related Posts:

KHAZANAH


Gara-gara kasus sholawat dalam program KHAZANAH yang ditayangkan TRANS 7 diangkat ke facebook dan dapat tanggapan ramai, bakdal kuliah Subuh para santri langsung berkerumun menonton televisi, menunggu program KHAZANAH ditayangkan. Sewaktu KHAZANAH mulai tayang dengan pemaparan mukjizat Nabi Muhammad Saw membelah bulan, para santri mengangguk-angguk meng-amin-i yang diungkapkan KHAZANAH.

Pada saat menyinggung lambang BULAN dan BINTANG yang digunakan sebagai lambang umat Islam, telinga para santri mulai menegang. Sebab dalam narasi yang dibacakan perempuan yang ‘fasih’ berbahasa Arab itu, ditegaskan bahwa lambang BULAN dan BINTANG itu awalnya digunakan oleh khilafah Turki Usmani, yakni pada masa Sultan Muhammad II menaklukkan Konstantinopel. Selama menaklukkan Konstantinopel itulah, orang Turki melihat lambang Dewa dan Dewi Byzantium kuno, yaitu Apollo dan Artemis. Lalu lambang BULAN dan BINTANG dari agama kuno itu dijadikan simbol kebesaran Turki Usmani oleh Sultan Muhammad II yang akhirnya dianggap sebagai simbol Islam.

Bertolak dari latar sejarah agama pagan pemuja Apollo dan Artemis itulah lambang BULAN dan BINTANG secara keliru dijadikan lambang Islam. Padahal, Rasulullah tidak pernah memberi contoh lambang itu. Bendera yang digunakan Rasulullah, hanya warna hitam, putih dan hijau. Jadi lambang BULAN dan BINTANG yang digunakan umat Islam saat ini adalah tidak memiliki dasar Keislaman sama sekali, karena BULAN dan BINTANG adalah lambang paganisme umat kafirin.

“Jancok, ini sejarah goblok yang menggoblokkan umat,” sergah Bahar Izzulhaqq, mahasiswa pasca sarjana arkeologi berkomentar,”Berani sekali orang goblok-goblok ngarang sejarah tanpa dasar, sak karepe dewe. Itu merusak ilmu pengetahuan. Itu menggoblokkan umat agar goblok seperti mereka.”

“Sabar Har, sabar,” tukas Dullah menenangkan,”Memangnya lambang BULAN dan BINTANG itu diambil Turki Usmani setelah Sultan Muhammad II menaklukkan Konstantinopel? Apa keliru penjelasan narator KHAZANAH itu?”

“Bukan keliru, tapi sengaja memutar-balik sejarah secara goblok,” sahut Bahar Izzulhaqq ketus, “Tahu tidak mereka bahwa mata uang era Arab Sassanians di bawah Umar bin Ubaydillah bin Mi’mar yang menjadi Gubernur Fars, tahun 686 M, yaitu 54 tahun setelah Rasulullah Saw wafat, sudah mencantumkan lambang BULAN SABIT dan BINTANG? Tahu tidak mereka bahwa mata uang zaman Umayyah, tahun 760 M sudah menggunakan lambang bergambar BULAN dan BINTANG? Tahu tidak mereka bahwa mata uang perak setengah dirham pada masa Sulayman menjadi gubernur Tabaristan di bawah Khilafah Abbasiyah tahun 784 M juga menggunakan lambang BULAN SABIT dan BINTANG? Tahu tidak mereka bahwa perhiasan-perhiasan kalung pada era kekuasaan Fatimiyyah di Mesir, abad 11, sudah menggunakan lambang BULAN SABIT dan BINTANG?”

“Lho apa iya toh, Har?” tukas Dullah.

“Arkeolog sedunia sudah pada tahu semua fakta itu,” kata Bahar Izzulhaqq,”Kalau mereka memutar-balik sejarah dengan menyatakan bahwa lambang BULAN dan BINTANG yang digunakan umat Islam baru muncul zaman Turki Usmani menaklukkan Konstantinopel abad ke-15, itu selain menyesatkan umat juga akan menjadi bahan tertawaan arkeolog sedunia. Nanti dipikir umat Islam goblok semua seperti mereka.”

“Lalu maksud mereka memutar-balik sejarah itu kira-kira apa?” gumam Dullah.

“Ya apalagi maksud utamanya kalau tidak mengabsahkan bahwa lambang Wahabi itulah yang paling benar dan Islami, sesuai tuntunan Rasulullah Saw,” kata Bahar Izzulhaqq tegas.

“Maksudnya yang lambang Islami sesuai tuntunan Rasulullah itu seperti bendera Saudi Arabia di atas kain hijau yang bertuliskan Laailaha ilallah Muhammad Rasulullah dengan gambar pedang di bawahnya?” tanya Dullah minta penegasan. Bahar Izzulhaqq mengangguk, membenarkan.

“Apa makna di balik bendera itu, menurut penafsiran arkeologis-mu Har?”

“Sesuai sejarah Wahabi, lambang tulisan Laailaha ilallah Muhammad Rasulullah itu adalah jargon utama mereka. Barangsiapa memberi makna beda atas kalimah Laailaha ilallah Muhammad Rasulullah sebagaimana mereka tafsirkan, pedang di bawah kalimah itulah yang akan berkelebat menyembelih. Begitulah, bendera itu adalah lambang gerakan Wahabi yang ditandai mengalirnya darah umat Islam di mana-mana,” kata Bahar Izzulhaqq menjelaskan.

“Yang susah, kalau semua lambang BULAN dan BINTANG sudah dimaknai secara Wahabisme sebagai pengaruh paganisme,”Kata Sufi Kenthir tiba-tiba menyela,”Karena organisasi Islam sudah terlanjur banyak yang menggunakan lambang BULAN dan BINTANG”.

“Haha, yang mula-mula kena dampak buruknya adalah Partai Bulan Bintang – PBB,” sergah Sufi Sudrun terbahak,”Bisa mumet bin puyeng itu Bang Yusril distigma Wahabi partainya tidak Islami tapi terpengaruh paganism Yunani-Romawi.”

“Bukan hanya PBB, kang,” sahut Sufi Senewen,”Muhammadiyyah pun bisa dinilai tidak Islami, karena lambang yang digunakan itu kan mirip SURYA MAJAPAHIT? SURYA MAJAPAHIT sendiri bisa dianggap terpengaruh Dewa Surya, dewa matahari. Juga terpengaruh Dewa Syiwa sebagai Rawi (matahari) yang bersinar cemerlang. Dus organisasi Muhammadiyyah bias dianggap terpengaruh paganism Hindu-buddha Majapahit.”

“Bukan hanya PBB dan Muhammadiyah, bro,” tukas Sufi Sudrun tergelak memegangi perutnya,”NU juga bias dianggap terpengaruh paganisme Hindu-Buddha, malah aliran yang lebih ganas yaitu pengaruh aliran Bhairawa-tantra pemuja Dewi Bumi : Pertiwi, Durga, Kali yang haus darah. Hmm, ada-ada saja cara licik dan curang Wahabi memutar-balik sejarah untuk membenarkan diri dan menganggap sesat umat lain.” 

Roben yang sudah panas dadanya ikut menyela,”Maaf para paklik, paman dan om-om yang terhormat. Kalau logika dalam tayangan KHAZANAH itu diikuti, berarti hanya lambang Saudi Arabia dan Hizbut Takrir saja yang Islami dan benar sesuai ajaran Rasulullah karena keduanya menggunakan tulisan Arab Laailaha Ilallah Muhammad Rasulullah, sedang yang lain lambangnya terpengaruh paganisme, apakah seperti itu alurnya?”

Sebelum para sufi menjawab, tiba-tiba Guru Sufi yang keluar dari Mushola menyahuti, “Jangan dipikir kalau sudah memakai lambang dengan tulisan Arab Laailaha Ilallah Muhammad Rasulullah itu sudah paling Islami dan paling sesuai tuntunan Rasulullah Saw.”

“Lhadalah, apa memang seperti itu, Mbah Kyai?” tukas Dullah dan Sukiran hampir berbarengan, “Bagaimana penjelasannya? Bagaimana lambang bertulisan huruf Arab Laailaha ilallah Muhammad Rasulullah bisa dianggap tidak selalu bermakna Islami dan sesuai tuntunan Rasulullah?”

“Jika pikiran kalian terhegemoni oleh lambang-lambang huruf Arab dengan makna bahwa itulah huruf Islami, maka kalian sangat keliru, karena faktanya huruf Arab sudah ada sebelum Nabi Muhammad Saw lahir ke dunia. Huruf Arab diawali sejak Huruf Paku zaman Hammurabbi hingga huruf Ibri, yang sudah hadir 5000 tahun sebelum masehi. Bahkan huruf Arab yang berkembang dari huruf Ibri, asalnya gambar-gambar bermakna seperti Aliph (sapi), Bait (rumah), Rosh (kepala), Mayim (air), ‘Ayn (mata), dan seterusnya. Nah bagaimana kalau huruf Arab kemudian dikaitkan dengan paganisme Arab pra Islam? Bukankah dalam fakta Nabi Muhammad Saw sendiri tidak pernah mencontohkan tulisan Laailaha Ilallah dalam huruf Arab? Dalam fakta, bendera warna Hijau, Hitam dan Putih yang digunakan Nabi Muhammad Saw dewasa itu pun tanpa gambar apa-apa. Polos. Jadi siapa mereka itu, mau menghegemoni pikiran kita untuk dipaksa meyakini bahwa lambang Tauhid Laailaha ilallah Muhammad Rasulullah yang ditulis dalam huruf Arab adalah yang paling Islami dan paling sesuai tuntunan Rasulullah Saw?” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Woo iya Mbah Kyai,” sahut Dullah ketawa,”Nabi Muhammad Saw kan ummi dan tidak pernah memberikan contoh tulisan yang Islami? Bahkan Al-Qur’an pun disampaikan beliau dalam bentuk hafalan tanpa aksara.”

“Ya memang, itulah fakta. Jadi siapa yang menyatakan bahwa huruf Arab adalah huruf Islam? Bukankah Abu Jahal waktu itu kalau menulis surat menggunakan huruf Arab? Orang-orang Kristen Najran pun dewasa itu menulis dengan huruf Arab,” kata Guru Sufi tegas.

“Jadi?” sergah Dullah dan Sukiran berbarengan.

“Siapa bilang bendera Saudi Arabia dan bendera Hizbut Takrir adalah bendera berlambang Islam yang paling Islam dan paling sesuai contoh Rasulullah Saw?”

“Yang bilang ya Wahabi sendiri dan kemudian diakui sendiri kebenarannya.”

Para santri dan para sufi tertawa bersama. Sufi Sudrun yang duduk di samping Sufi Kenthir tiba-tiba berkata,”Kemarin bilangnya mau BOIKOT nonton KHAZANAH, ini semua kok malah rame-rame nonton KHAZANAH.”

“Nonton dagelan paklik,” sahut Bahar Izzulhaq,”Sekarang ada acara humor model baru, sayang kalau diboikot….hehehe.”

Oleh: Agus Sunyoto

Related Posts:

# Renung Senja 13

Jika kau adalah seorang perempuaan. Tatkala kau ingin ingin mengekspresikan kebahagiaan cinta, ambillah hikmah dari representaasi cinta seorang Fatimah dan Layla. 

Tatkaala jari jemari Fatimah lecet, kusam, dan kasar karena mengolah roti dan gandum untuk suaminya Ali, itulah gambaran cinta yang suci. Ketika mata Fatimah lembab, menghitam, kering karena menangis sedih, tak kuasa menahan perih, luka lara karena banyaknya sayatan-sayatan di punggung Ali, itulah air mata seorang bidadari. Ketika Fatimah harus rela, mengikhlaskan diri, menyiman sendu karena akan dipinang Ali dengan hanya mas kawin cincin dari besi, itulah sesungguhnya cipratan cinta Tuhan yang diberikan kepada Fatimah sebagai calon bidadari surgawi yang menemani Ali hingga mati.  Itulah Fatimah, perempuan tangguh yang menyimpan kesejatiaan cinta untuk suaminya Ali. Semoga engkau semua bisa menjadi Fatimah di masa depan, yang selalu menemani setiap langkah perjuangan dan pengorbanan. 

** Sukun, Malang 16/11/2013

Related Posts:

Suluk kontemplasi


Ndase pecah, kebelet ngiseng, gara-gara soal Guru.

Penanggalan masehi terbukti tidak mampu mengelaborasi seluruh tatanan chip dalam otak dan hatiku. Katakanlah, kesempitan cara berfikir, cara memancang sesuatu, maupun management hati, sudah sedemikian rupa terbalik-balik, terpecah-pecah, hingga seluruh energy habis tumpah ruah karena itu.
Makanya cari guru “ demikian nasehat-nasehat yang ada 

Siapapun kamu, dengan berbagai aksentuasi pengalaman dan cara lelakumu, kamu harus punya tonggak, pondasi, yang berdiri dibalik tulang punggungmu. Paling tidak, ia yang akan ngulur  tangan, ngontrol setiap gerak langkahmu,  ngaweruhi sangkan paran disetiap pengetahuan yang kau cari. Itulah guru. 

“ Lalu, apakah aku tidak bisa menjadi guru bagi diriku sendiri..? 

“ Lha kau itu siapa..? wali, rasul,  Nabi, atau apa..? ngoco dulu. Kemakshuman para wali, rasul, dan nabi pun harus dituntun oleh sang Jumenengi ilmu. Allah Swt. Itu pun masih dijembatani oleh sang pembawa wahyu, Jibril As. Berarti, Jibril disamping sebagai asisten Tuhan, ia juga merangkap sebagai pembawa wahyu ke-ilahian yang dengan otoritas Tuhan wahyu itu disebul di dalam gerak, langkah, para wali, rasul, dan nabi “ 

  Emm..kalau begitu aku harus berguru kepada malaikat Jibril gitu…? 

“ Fahamilah dengan tersirat, bukan yang tersurat. Jibril As adalah sebuah  symbol, tanda, analogi, untuk menggambarkan bahwa siapapun harus mempunyai guru ” 

“ Setiap orang adalah guru bagiku ”

“ Apa maksudmu..? ” 

“ Untuk berkaca, untuk lebih mengenal, untuk mencipta cinta, bahwa guru paling nyata adalah siapapun yang ada dihadapan kita. Aku tak peduli siapa mereka. Bakul jamu, tukang laundry, ustadz, kyai, professor, penjual ikan, tukang tambal ban, siapapun saja dan apapun profesi serta latar belakangnya. Dari merekalah aku mengais pengalaman-pengalaman, mengeksplorasi proses hidupnya yang bermacam-macam, merangkum hikmah-hikmah yang terpendam—mungkin diremehkan banyak orang. Merekalah Jibril-Jibril dunia, Jibril yang nyata, tampak, disetiap cuil-cuil kehidupan, diemperan-emperan gang, dipojok-pojok sejarah, yang tak pernah mendapatkan ruang untuk ditulis kisah-kisahnya, sejarah hidupnya. Sejarah hanya milik mereka yang menang.  ” 

“ Mungkin itulah guru bagimu, tapi kau tak punya sanad guru yang bermata rantai hingga pada Rasulullah. “

“ Justru mata rantai guruku lebih dari itu “ 

“ Tidak. Kau hanya mengada-ada”

“ Wahai sahabat, tengoklah sejenak dan mari saling melengkapi pengetahuan satu sama lain. Aku tak mau berdebat hanya untuk mencari pembenaran-pembenaran, apalagi mengklaim pengetahuan mana yang paling absah, paling benar, paling paling dan paling. Aku menghargai prinsip dan metodemu dalam mencari guru. Dan setidaknya kau juga bisa bersikap demikian padaku.  

 Ojok nylemur

“ Lho..aku nggak nylemur

“ Ah..kau ini”

“ Ah kau juga” 

“ Piye to”

“ Lha enake piye”  

 Pecah ndasku diskusi sama kamu”

“ Aku malah kudu ngiseng lek diskusi karo kowe

“ Hahahahahaahahah” 

“ Eh..awas, Jibril neng mburimu” 

# Siapapun itu guru,, apapun itu ilmu, dan dimanapun itu sekolahan
Anshofa, 14/11/2013   

Related Posts:

# Renung Senja 12

Katanya Sarjana

Lho, katanya sarjana, katanya sudah wisuda, katanya sudah bertoga, katanya sudah menyandang gelar, katanya sudah jadi pakar disiplin ilmu, katanya disambut banyak orang, katanya bangga dengan prestisius puncak, katanya sudah membuat Ibu Bapak bangga, katanya sudah menghasilkan karya (skripsi), katanya sudah berproses belajar, katanya sudah yudisium, katanya ..katanya..katanya. Dan katanya sudah menjadi wisudawan. Dimana seluruh dialektika pengetahuan sudah menancap. Katanya sudah menjadi wisudawan. Dimana sudah dipastikan menjadi manusia yang manusia, yang dibekali dengan tiga pengetahuan dasar. Kognitif, afektif, dan psikomotrik.

Seorang sarjana, tentunya idealis dasarmu kognitifisme. Kau merangkum permasalahan sosial dengan cara pandang objektif, cara berfikir yang tepat, dan tentunya kau pandai dalam hal itu. Kan sarjana.
Seorang sarjana, pastinya didalam hatimu terpancar sikap-sikap santun, akhlak yang baik, jiwa yang sehat, bisa menjadi uswatun hasananah bagi teman-temanmu, adik-adikmu, kakak-kakakmu, dan tentunya kau menjadi promotor yang tangguh bagi lingkunganmu. Kan sarjana, bukankah itu yang disebut afektif.

Seorang sarjana, gerak dan lakumu harusnya selangkah lebih maju, paling tidak bisa berlari disaat semua masih merangkak. Kau sudah berada di depan, di garis finish untuk menatap masa depan yang gelap, yang pekat, yang menjadi misteri bagimu tetapi tidak bagi Tuhan.
Namun, itu tidak kulihat dari seorang dirimu, tidak tampak dari sikapmu, dari cara berbicaramu, bergaulmu, yang didahimu terstempel tog sarjana.

Kau sudah menjadi sarjana, tapi belum bagi kehidupan.    

Anshofa, 08/11/2013

Related Posts:

# Renung Senja 11

Segala proses pencarian tentang jati diri merupakan ijtihad manusia dalam menemukan siapa Tuhannya ; man arafa nafsafu faqad arafa rabbahu. Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Pengenalan terhadap diri inilah yang membuat setiap manusia harus jatuh bangun, kadang tersangkut, ketlingsut, bahkan buntu harus memulai dari mana dia akan melangkah. Ketidaktahuan untuk melangkahkan kaki ini mempunyai dua indikasi. Pertama, dia belum punya sistematika ilmu. Kedua, dia belum menemukan seorang guru.

Jika yang menjadi alasan adalah tentang sistematika ilmu, maka aku rasa yang harus kita lakukan dan dalami adalah bagaimana mendapat ilmu dimana pun itu berada. Ilmu itu bisa berupa sketsa-sketsa, pecahan-pecahan logika, realitas kejadian-kejadian, maupun ayat-ayat Tuhan yang membentang luas dalam cakrawala. Cakrawala fikiranmu dan gerak-gerik roso hatimu.

Anshofa, 07/11/2013   

Related Posts:

Sejarah Ki Ageng Gribik


Ki Ageng Gribik yang bernama Asli Wasibagno Timur atau Syeikh Wasihatno merupakan keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Yang mana disebutkan bahwa beliau adalah putra dari Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara atau Bandara Putih, putra dari Jolog adalah adalah putra prabu Brawijaya V raja terakhir kerajaan Majapahit. Ia adaah salah satu ulama’ besar yang memperjuangkan Islam di pulau Jawa, tepatnya di desa Krajan, jatinom, Klaten.
Namun, menurut buku Muhammadiyah Setengah Abad 1912-1962 terbitan Departemen Penerangan RI disebutkan bahwa Ki Ageng Gribik masih keturunan Maulana Malik Ibrahim yang berputra Maulanan Ishaq, yang berputra Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri), yang berputra Maulana Muhammad Fadhillah (Sunan Prapen) yang berputra Maulana Sulaiman alias Ki Ageng Gribik.
Jadi jika ditarik kesimpulan, KH ahmad dahlan masih keturunannya Ki Ageng Gribik.
Dakwah Ki Ageng Gribik sangatlah mengena pada masyarakat pada waktu itu yang masih memeluk agama Hindu dan Budha. Syiar beliau tidak hanya berada di Klaten saja, namun menyebar luas sampai ke daerah Boyolali dan Surakarta.
Ki Ageng Gribik sangat pandai dalam srategi berdakwah, hingga masyarakat pada waktu itu masih kental dengan sesembahan pohon besar menjadi beriman kepada Allah Swt. Keluruhan serta jasa beliau terkenang dan terlekat pada masyarakat, terutama yang tinggal di daerah Klaten dan Boyolali.
Sebutan Gribik yng melekat pad beliau konon dikarenakan kesukaan Ki Ageng Gribik untuk tinggal di rumah yang beratapkan Gribik (anyaman daun nyiur). Makam Ki Ageng Gribik dibuat dari batu merah dan kayu, terletak di dukuh Jatinom , kecamatan Jatinom yang berjarak sekitar 9 km dari kota Klaten Jawa Tengah.
Versi lain menyebutkan bahwa makam Ki Ageng Gribik berada di Malang, Jawa Timur. Hanya saja Ki Ageng Gribik ini disebutkan sebagai putra dari pangeran Kedawung yang juga salah seorang keturunan Lembu Niroto, pemilik panembahan Bromo.
Lembu niroto sendiri adalah putra ketiga dari Brawijaya XI yang memerintah Majapahit pada 1466-1478. Jadi Ki Ageng Gribik adalah cicit dati Raja nBrawijaya XI. Ki Ageng Gribik juga disebut-sebut merupakan salah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga yang berada di Malang. Tak heran jika Ki Ageng Gribik menjadi ulama’ tersohor di Malang pada tahun 1650.
Makam Ki Ageng Gribik kini berada di jalan Ki Ageng Gribik Gg. II, kecamatan kedung kandang, kota Malang. Makam seluas satu hektar itu berada persis di sebelah sebuah masjid yang berdiri di jalan itu yang juga bernama masjid Ki Ageng Gribik. Diantara susunan batu nisan dan bangunan kijing yang ada di kompleks makam terddapat sebuah bangunan berukuran sekitar 7x4 meter di sisi barat.
Berbeda dengan bangunan lain, dua pintu yang menghadap utara selalu tertutup rapat. Dahkan digembok dari luar. Di dalam bangunan itu terdapat dua buah makam. Itulah makam Ki Ageng Gribik dan istrinya.
Wallahu ‘alam.

Related Posts:

# Renung Senja 10

Seorang kawan, tiba-tiba memberikan sesuatu. Ia berikan begitu saja sambil cengangas-cengenges seakan tak peduli dengan keherananku mengapa ia memberikan sesuatu itu. Ia kemudian merebahkan diri, memejamkan matanya. Sepertinya ia kelelahan. Ia tanggalkan saja tasnya yang besar di sampinya. Ia masih tak peduli dengan keherananku. Dan sejenak kemudian, ia terbang di alam mimpinya. 

Kuamati plastik hitam itu, kuambil, kutimang-kutimang. Apa kira-kira isinya, siapa pengirimnya. Agak mendramatisir sedikit, fikiranku berkahayal, menghempas kesegala arah menemukan sangkut paut atas plastik hitam di depanku. 

Fikiranku mengantarkan pada diriku yang sedang tidur-tiduran di musholla pondok. Sambil mendengarkan entah apa, diriku itu seolah menikmati suara dari headset yang ia cupingkan di telinganya. Aku yang sedang menyaksikan diriku itu paling tidak mafhum musik apa yang ia dengar. 
Aku yang sedang menyaksikan diriku itu hanya senyum. Sebenarnya, ia sedang menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan betapa rumitnya manusia dengan segala sifatnya, keunikannya, kebodohannya, maupun cara berfikirnya. 

Diriku yang kulihat itu selalu mencoba menerjang, mencari kemerdekaan yang terpasung, memungut pengetahuan yang tercecer, hingga ia akhirnya merasa bosan dan capek. Seakan tak ada pangkal, serasa tak ada ujung. Ia himpit kebesaran dunia dengan cara meremehkannya. Ia gertak pongahnya penguasa dengan cara mendemonya. Ada kalanya ia sangat puas dengan apa yang ia lakukan, juga tak kalahnya ia roboh dengan apa yang sudah dihasilkan. 

Ia remehkan segala sesuatu yang membuatnya terpenjara. Paling tidak, bisa membuatnya sedikit leluasa di tengah berbagai himpitan yang mengurungnya. Di sisa-sisa keletihannya, ia pun hanya bisa memejamkan mata, bersila, memicingkan telinga, berharap ada suara yang sesungguhnya tak bisa di dengar oleh indra. Ternyata ia sedang mencari kesejatian. Ia buka pori-pori jiwanya, ruhnya, alam bawah sadarnya, bahwa Tuhan selalu berbisik di setiap lubuk hati manusia. Ia sedang mencari itu. 

Kemudian fikiranku mengantarkan pada diriku yang sedang menikmati dunianya. Diriku yang sedang kulihat itu mengaktualisasikan sisi kemanusiaanya, darah mudanya, ditengah hingar bingarnya aktivitas kampus, dunia akademisi, hingga sisi lemahnya menghadapi cinta dan asmara. 

Aku berkata pada fikiranku. “ Tolong, hantarkan aku pada kisah cintanya, pada cerita asmaranya”. 

Kemudian, aku dihantar pada sebuah dunia yang rumit dan terbalik-balik. Aku tidak bisa menerka dunia apa ini. Dimana elemen-lemennya ngeblur dan tak jelas. Eksotis warna-warni yang amburadul. Langit yang biru sesungguhnya tidak biru, ia menghijau campur aduk dengan warna kuning dan hitam. Hijaunya pepohonan hambar menyatu dengan warna jingga dan orange. Hitam yang tidak hitam, putih yang entah apa itu benar-benar putih, cokelat yang ragu-ragu menampilkan dirinya sebagai warna cokelat. Dunia apa ini. 

Aku bertanya “ Dunia apakah ini, aneh sekali “.  Fikiranku menjawab “ inilah dunia cintanya, dunia asmaranya. Absurd tak terpola, penuh sketsa-sketsa, wajah tak tergambarkan dari suasanya hatinya. Malam terbalik menjadi siang, siang menghendaki dirinya menjadi malam. Rindang berasap, pepohonan menyeruak.  

Inilah ruang pengap tentang cintanya. Inilah waktu tak berujung dimana kerinduan mencercanya habis-habisan. Dirimu itu adalah kau sendiri, yang berusaha menampik wajah keeaslian dengan merayu keadaan. Kau membohongi dirimu sendiri, sebagaiamana dirimu yang lain. Kau yang sangat mencintainya, namun pula tersiksa olehnya. Maka, kau kuat-kuatkan dirimu untuk selalu tulus, ikhlas, pasrah. Kau berpisah sementara dengannya karena kau takut kehilangannya. Kau pasrahkan ia kepada Tuhan, kau titipkan ia pada kejujuran hati. Bahwa cinta yang sejati tidak akan pernah mati. 

Dan tiba-tiba saja aku sudah berada di kamar. Alam bawah sadarku sudah kembali. Menjadi normal lagi. Seorang kawanku terbangun dan berkata “ Cak, bungkusan itu dari Mbak Binti”.
Dan aku pun tersenyum. Bahagia. Sangat bahagia.  

Malang, 03/10/2013  

Related Posts:

Senyuman yang jujur



Sampai saat ini, di usiaku yang 23 ini, tak faham aku dengan segala terminologi apa itu sukses, bahagia, dengan segala bentuk puncak pencapaian manusia. Tolak ukurnya apa, tingkat manfaatnya apa, dan kebahagiaan yang bagaimana aku sama tak faham dengan semua itu. Yang oleh manusia menyebutnya ‘kesuksesan’. 

Riuh rendah, gegap gempita nuansa, rasa, menyelimuti perasaan teman-temanku. Kala itu, kulihat satu momentum indah dimana semua teman-teman plong menikmati ucapan kesuksesan, kebahagiaan, yang menambah motivasi hidup, siap menerjang kejamnya dunia di masa datang. 

Setiap kepala meyandang toga plus dengan atribut yang lainnya. Ijazah sebagai wujud nyata dari proses pengalaman menimba pengetahuan, paling tidak senyum orang tua menyungging bahagia melihat putra-putrinya tersenyum jujur dan mengatakan “ Ibuk, Bapak, anakmu sudah diwisuda”. 

Lalu, putra-putrinya memeluk rindu Ibunya, betapa tak bisa terungkap perasaan hati saat itu. Berdekap dipelukan Ibu, dengan air mata berlinang sendu Ibunya berkata “ Selamat ya Nak, kamu diwisuda, sudah pinter, berpendidikan tinggi. Ibu hanya bisa mendo’akan. Kamu sudah sukses sekarang. 

Sang Ayah hanya berdiri dengan kewibawaannya, melihat putra-putrinya senang, haru biru bergenggam rasa dengan Ibunya. Ayah yang sudah renta, dimakan usia, segala zaman sudah dilaluinya dengan otot-ototnya yang kuat, segala pengalaman hidup tergambar pada dirinya yang sudah tidak lagi berusia muda. Sang anak, bergegas salim hormat, sungkem, pada sang Ayah dan berkata “Pak, kuliahku sudah tamat”. 

Dan aku hanya terbangun di penghujung malam. Kusesali itu hanya mimpi. Aku berkata pada fikiranku “ Hei fikiran, tolng bangunkan alam bawah sadarku, bahwa senyum Ibu dan Bapak harus menjadi syahadat dalam setiap perjalananku. Tak ada senyuman yang jujur didunia melainkan senyum mereka berdua. 

Fikiranku berkata “ kamu keliru. Kamu terlalu naif jika hanya mengartikan seperti itu. Sungging senyum Ibu dan Bapakmu juga adalah senyum Tuhanmu. Tuhan bersemayam dalam hatinya, Tuhan menangis dalam tangisannya, Tuhan welas asih dalam kasih sayangnya. 

Apa daya, aku menangis sejadi-jadinya. Aku terlalu sok, dan terlalu sombong, sibuk berkelakar mencari ilmu pengetahuan, tanpa pernah menanyakan, bahkan sejenak urun kabar Ibu Bapak di rumah. 

Terakhir kali, kudengar Bapak kecelakaan. Adik yang memberi kabar. Yang membuat hatiku menderas tangis adalah bahwa Bapak tak ingin aku tahu, agar kuliahku tetap bisa fokus dan tak terganggu. 

Dan akhir nuansanya adalah aku harus berjuang keras, militer terhadap diri sendiri untuk mengubah manajemen hidup, revolusi diri, untuk mengejar senyum Ibu dan Bapakku.
Anshofa, 29/10/2013. 

Related Posts: