Nyanyian untukMu

Allahku
Muhammadku
Yahofa sang Hyang Tunggalku
Himmada sang abdi kebenaran
.
Oh Allllaaaaaaaaaaaaaaaaaaah
Sang Hyang Ismaya
Ya Dzal Jalalil Wal Ikram
Kaf Ha' Ya' A'in Shad kufitu
Wa Bi Ham Mim A'in Siin Qaaf humitu
.
Nafasku berat, beraaaaaaaat sekali
Dadaku sesak, sesaaaaak sekali
Tangisku pecah, dibelantara siang dan malam
Pori-pori terbuka
Kesejatian tentang Tuhan pun menjadi bermakna..
.
Siji jenarkan hamba
Tak peduli
Jika semua orang menganggap sesat hamba
Alhallajkan hamba
Tak kuhirau semua manusia ingin memenggal kepala hamba
.
Allah
Ya Allah
Rabbuna Allah
Rabbiya Allah
Allah
            Allahh
                        Allaahhhhhh
                                    Allaaaah
                                                Allah
Lidah menjadi kelu
Tatapan mata menjadi syahdu
Sekali lagi
Ya Allaaaaah
Dimanakah angin malam
Dimanakah keheningan gelap
Semua gemetar dan meledak
Dada ini, nafas ini, gerak bibir ini,
Hanya merongrong menyebut asmamu
Allah…
Allah…
Allah…
Alllah..
Khairil asma’i wa fil ard..
Jiwaku bergemuruh
Laksana gempa ingin menerjang
Dada ini mau hancur
Karena tak kuat menahan rasa
Kusadar aku adalah pria                                      
Yang selalu bergelut dan berkelahi dengan asa
Tapi apa daya
Kelemahan dan kekerdilan kan selalu ada
Allahumma baddid syamlahum
Wafarriq jam’ahum
Allah // Allah // Allah//
            // Yahofa Allah// Allahu Yahofa// Sang Hya Allah// Allahu Sang Hyang//
            //Ismaya Allah// Allahu Ismaya// Sang Hyang Taya Allah// Allah Sang Hyang Taya//
Lillah…
            Lillaah…
                        Lillaaah…
Raji’un..
            Raji’un…
                        Raji’un….
Ijabata…
            Ijabata..
                        Ijabata…
Lidahku dan tenggorokanku kelu…
Sungguh tak tahan
Oh Allahku, himadaku….
Mati muda sajalah…
#sesat semuanya menjadi gelap#
Malang, oktober 2012
01.55 Wib dini hari

Related Posts:

Semua ada porsinya



 Wiridan atau yang biasa kita sebut dzikir itu baik, dan mulia sekali dihadapan Allah. Tapi wiridan itu bisa menjadi dhalim, berdosa, dan menyakitkan orang jika salah meletakkan pada sebuah hukum sosialitas dimana manusia berada. Jangan salahkan siapa-siapa, jika kepala anda benjol dilempar batu karena wiridan pada hari minggu ketika orang sekampung lagi kerja bakti.  Juga jangan merasa suudhon pada setiap orang, jika tiba-tiba orang disekeliling  tidak menyapa, tidak ngurus, bahkan antipati dengan keberadaan anda, karena disaat orang sekampung gegap gempita menyiapkan acara agustusan, anda kok malah ngeluyur rekreasi dengan sanak family anda.
            Al-qur’an itu kalam mulia, firman Tuhan, pedoman hidup, cahaya hati. Tapi itu akan berbalik menjadi buruk jika lagi-lagi manusianya salah menempatkan dialektika Al-qur’an pada tempat yang sesungguhnya. Rasulullah benar-benar mengapresiasi terhadap umatnya yang selalu menempatkan Al-qur’an pada setiap langkahnya, gerak-geriknya. Kana Khuluquhul qur’an-Rasulullah itu akhlaknya qur’ani, kita pun sesungguhnya juga bisa berakhlak qur’ani. Implementasinya tidak hanya terdapat pada lincahnya gerah lidah dalam memainkan orkestrasi ayat-ayat Al-qur’an. Bukan hanya lembutnya bibir kita dalam memainkan estetika huruf-huruf hija’iyah. Saya yakin, setiap huruf hija’iyah-alif, ba’ sampai ya’-mempunyai filosofi, hikayat, hikmah yang sangat mendalam. Karena keterbatasan ilmu dan cara berfikir saja yang mungkin sampai saat ini kita saya belum menemukan apa makna dibalik itu semua. Dan intinya, pergulatan apapun saja didunia ini dari segi teologi, social, hukum, undang-undang, politik dan apapun saja semua mengandung kebaikan kalau ditempatkan pada ruangnya.      
                Prinsip “kullu syai’in mustasnayat” masih berlaku, tidak saja hukum karma. Maka, manusia yang bijak adalah mereka yang mampu membaca kejujuran, membaca objektifitas di tengah topeng kemanusiaan yang dibuat-buat.

Related Posts:

Allah,2014


Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib

            Sejak jauh sebelum hari Pilgub Jakarta, sejumlah teman saya tanya “lebih ok mana Foke-Nara atau Jokowi-Ahok?” muncul labirin dan mosaik jawaban.
            Ada jawaban “close-up” : si FN bagusnya di sini, kacaunya di situ; si JA hebatnya begini, memblenya begitu — tentu saja semua dalam skema nilai-nilai baku kebangsaan dan kenegaraan: kualitas kepemimpinan, kematangan manajemennya, kreativitas pembangunannya, watak sosial budayanya, juga kadar kasih sayang kerakyatannya.
            Jawaban yang ini ada yang ambil dari konsep demokrasi modern, ada yang dari filosofi dan budaya tradisi, ada yang dari Agama, tapi tentu saja banyak yang “common sense” atau “kata ini”, “menurut itu” dan lain sebagainya. Yang dari Agama misalnya menyebut pemimpin harus soleh. Soleh maksudnya kebaikan yang dikerjakan dengan konsep, perencanaan dan perhitungan komprehensif sedemikian rupa sehingga “dipastikan” sangat minimal mudlaratnya.
            “Soleh” itu “baik” pada formula yang demikian. Ada “baik-baik” yang lain dalam bahasa Tuhan. “Khoir” itu kebaikan yang universal, cair, bahkan Kristal, belum berbentuk, belum aplikatif. “Ma’ruf” itu kebaikan yang sudah melalui dialektika, diskusi, perundingan, pergesekan-pergesekan antar manusia, sehingga kemudian disepakati sebaga aturan bersama. “Ihsan” itu kebaikan yang lahir murni dari nurani manusia: orang berbuat baik meskipun tidak disuruh, tidak diwajibkan, tidak diatur oleh hukum atau etika. Ada lagi “birr”, yang menghasilkan istilah “mabrur” : itu puncak pencapaian kebaikan dalam hubungan spesifik antara manusia dengan Tuhan, pada posisi di mana dunia dipunggungi atau sekurang-kurangnya dinomer-duakan secara total.
            Kalau memakai “close-up” pemahaman yang ini, benar-benar tidak gampang menilai mana yang lebih oke antara FN dengan JA. Begitu luasnya kemungkinan dalam kehidupan, namun begitu jauh lebih luasnya cakrawala probabilitas pada diri manusia. Kalaupun persepsi, analisis dan kesimpulan kita tepat tentang JA dan FN, kebenarannya direlatifkan oleh teori ilmu teater: “Tidak ada aktor yang buruk. Yang ada adalah pemain yang berada di tempat yang tepat atau tidak”.
            Jadi, soal “casting”. Hidung seindah dan semancung apapun menjadi mengerikan kalau letaknya tergeser setengah sentimeter. Shalat menjadi kebaikan kepada Tuhan hanya kalau dilaksanakan pada interval waktunya. Berdzikir siang-siang itu buruk ketika berbarengan dengan istri bingung tak punya beras. Bernyanyi dan bermusik dangdut itu sangat dilaknat kalau dilaksanakan di halaman Masjid ketika orang sedang shalat Jumat berjamaah.

            Bahkan ada orang yang ketepatannya adalah memelihara kambing, bukan ayam. Ada pejabat yang ketepatannya menjadi penjaga gudang. Ada tentara yang ketepatannya berpangkat Kolonel, sehingga Pak Riamirzad Ryacudu ketika menjadi KASAD pusing kepala karena ada temannya yang mengajukan Surat Mohon Tidak Naik Pangkat. Orang macam saya ini hampir sama sekali nir-tepat: jadi intelektual tidak tepat, jadi seniman, kiai, aktivis, dukun, pengasuh Sekolah, pemikir, dan macam-macam lagi — belum pernah benar-benar berada pada koordinat ketepatan.
            Kalau keruwetan hidup macam itu dituruti: bagaimana bisa punya presisi pengetahuan bahwa JA tepat memimpin Jakarta? Apalagi terkadang, entah berapa prosentasenya, justru yang diperlukan adalah ketidak-tepatan. Striker sebuah kesebelasan nendang bola agak melenceng, sehingga terkena kaki pemain belakang lawan, sehingga bola meleset dan masuk gawang.
            Nabi Muhammad SAW menyarankan mantan musuh utamanya sesudah “Kemenangan Mekah” agar segera cari istri dan berumah tangga. Dilaksanakan. Kelak putra beliau yang dikasih saran ini yang membunuh cucu Nabi. Jengis Khan menghancur-leburkan peradaban Islam meluluh-lantakkan perpustakaan besar Islam Bagdad, kemudian kelak cucunya menjadi tokoh Muslim yang membangun kembali tradisi intelektual dan kebudayaan Islam.
            Dalam kasus itu di mana letak ketepatan dan di mana ketidak-tepatan? Penguasa pembunuh keluarga Nabi Muhammad SAW itu menambah teks khutbah Jumat dengan kalimat kutukan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kelak cucunya menjadi Khalifah terbaik dalam sejarah Islam dan dia yang menghapus kalimat kutukan itu. Karena itu dalam sebuah peperangan, tatkala pasukan musuh keok dan tinggal dipenggal lehernya, Nabi Muhammad SAW melarangnya: “Jangan bunuh, saya sudah mendoakan kebaikan Islam bagi cucu-cucu mereka”.
            Jadi JA dan FN berangkulan aja dari maqamnya masing-masing untuk membangun kegembiraan rakyat Jakarta dengan kesungguhan hati dunia akhirat terserah Jokowi bisa wudlu atau tidak, itu wilayah konflik dia dengan Allah. Toh sudah sama-sama bisa makan berkecukupan, bisa beli pakaian lebih dari tiga lembar, punya mobil, dan sudah sama-sama aqil baligh.
            Aqil artinya sudah memiliki kesanggupan untuk menggunakan akal. Dan akal itu pasti sehat. Baligh artinya kemampuan untuk menyampaikan, menerapkan, mengaplikasikan, mewujudkan, mengejawentahkan atau mentransformasikan visi menjadi realitas, ilmu menjadi kenyataan, cita-cita dan cinta menjadi entitas kehidupan.
            Mereka toh juga sama-sama “Amirul Mu’minin”, pemimpin proses menuju “aman”, dengan landasan “iman”, membawa senjata “amanah”, dengan ujung doa “amin”. Amirul Mu’minin membangun iman amin amanah aman beras rakyatnya, aman sekolah anak-anaknya, aman pasarnya, aman kesehatannya, aman keadilannya, aman hartanya, aman kerjaannya, aman seluruhnya.
            Jokowi dan Foke sama-sama Muslim dan Mu’min. Kriteria, parameter atau tanda-tandanya: kalau ada Jokowi dan Foke, kalau ada Muslim dan Mu’min di suatu lingkungan, maka terjamin amanlah harta semua orang, aman martabat semua orang, dan aman nyawa semua orang.
            Tetapi jaminan “aman” itu belum pernah benar-benar menjadi pengalaman sejarah, sekurang-kurangnya belum dipercaya bahwa benar demikian. Sehingga atas pertanyaan tentang JA-FN itu muncul jawaban yang sangat lebih jauh “mempercayai” relativitas. Memang lebih luas namun ada semacam tarik-ulur antara kemungkinan dengan kepastian. Semacam jawaban agak bingung antara sangka baik dengan sangka buruk, antara kewaspadaan dengan rasa kapok — oleh suatu keberlangsungan realitas yang mungkin mengecewakan, bahkan mungkin menyiksa.
            Kehidupan ini sedemikian tidak pastinya sehingga ada suatu momentum pertandingan sepakbola di mana suatu kesebelasan lebih baik kalah dari pada menang. Karena faktor mental, karakter, route hati dan bioritme, situasi kebersamaan mereka, peta dan tahap turnamen — membuat kesebelasan itu lebih baik mengalami kalah dulu kali ini, demi kebangunan yang lebih matang pada tahap berikutnya. Juga karena kwalitas mental para pemain belum transenden dari situasi kalah atau menang.
            Jawaban yang ini berpandangan bahwa dalam hukum dialektika sejarah, belum tentu kalau JA menang itu pasti baik bagi diri mereka atau rakyat Jakarta. Juga kalau FN kalah belum tentu itu buruk bagi keduanya maupun bagi rakyat. Juga tak bisa dipastikan sebaliknya. Tetapi karena keterbatasan rasional, manusia harus mengambil ketetapan pandangan bahwa yang baik adalah kalau JA menang dan yang celaka adalah kalau FN menang. Sementara kalangan yang lain harus memastikan pendapat sebaliknya: bahwa yang aman adalah kalau FN menang dan yang bahaya adalah kalau JA menang.
            Keduanya memiliki kebenarannya masing-masing, sehingga yang terindah dalam kehidupan adalah kita manusia menyediakan ruang seluas-luasnya untuk apresiasi bahwa orang lain hidup dalam kebenarannya sendiri yang bisa jadi berbeda atau bertentangan dengan kebenaran kita. Kebudayaan dan peradaban dibangun oleh kesanggupan managemen, kerendah-hatian, dinamika-kontinyu ilmu, kearifan dan kelenturan mental pada manusia di antara perbedaan dan pertentangan itu.
            Itulah sebabnya selama pertandingan dua petinju saling mengincar, memukul dan menjatuhkan, kemudian selesai tanding mereka berpelukan, saling mengangkat dan mengacungkan tangan lawannya. Sebab mereka itu “musuh” selama pertandingan namun sahabat dalam kehidupan. Partnership yang kompak dalam ideologi untuk sama-sama menghormati sportivitas. Sportif itu bahasa moralnya: jujur. Bahasa hukumnya: adil. Bahasa keseniannya: pas.
            Jawaban yang paling “parah” berbunyi semacam “distrust statement”. Suatu ungkapan pesimis yang ternyata optimistik. Misalnya: “Jokowi atau siapapun pasti bisa berbuat baik dan sedikit mengubah Jakarta, tapi tidak akan berdaya menghadapi penyakit-penyakit Indonesia yang sudah terlalu akut. Yang dicuri terlalu banyak, yang mencuri terlalu banyak, modus pencuriannya, formulanya dan teknis strategi pencuriannya saling mendukung dan saling menggelembungkan dengan mental dan budaya kemunafikan yang hampir sempurna.”
            “Semua itu muncul di semua lini dan segmen, di semua bidang dan disiplin, di gedung pemerintahan, di sekolah, di lembaga-lembaga apapun, di jalanan, di tempat-tempat ibadah. Teraplikasi pada manusianya dan sistemnya, etika sosialnya dan hukumnya. Komplikasi penyakit Pemerintahan Indonesia di era apapun sudah bukan hanya tidak bisa diatasi, tapi bahkan semua bertengkar ketika mencoba merumuskannya. Dengan pendekatan ilmu dari bumi, planet-planet maupun dari langit sap tujuh”.
            “Ini bangsa semakin tidak mengerti dirinya. Ini Negara salah lahirnya. Ini rakyat menjalani 25 tahun Orde Lama untuk menyesalinya, menelusuri 32 tahun Orde Baru untuk mengutuknya, kemudian memanggul 14 tahun Reformasi untuk muntah dan pecah kepalanya. Bawa ke sini Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Firaun yang cacat teologi namun ratusan tahun sejahtera rakyatnya, serta semua pemimpin dunia yang terpuji dan emas catatan sejarahnya: gabungkan menjadi satu orang, mari bertaruh kalau sampai dia bisa mengatasi masalah Indonesia….”
            Jadi bagaimana pesismisme itu bisa bersifat optimistik? Teman itu menjawab: “Barang siapa tidak punya kemampuan untuk mengatasi masalah, maka ia tidak berkewajiban untuk menyelesaikan masalah. Barang berat yang mestinya dimuat oleh truk besar, tidak memberi kewajiban kepada becak atau andong untuk mengangkutnya. Kita yang becak lakukan terus darma perjuangan becak, yang andong aktif terus menyelenggarakan pengabdian becak.”
            “Setor-setor kerja keras dan kebaikan ke masa depan sesedikit apapun. Rajin tanam padi terus, karena ada sahabat-sahabat dari pegawai birokrasi alam semesta yang menjalankan kewajiban menumbuhkan padi itu dan menyiapkan panen raya. Ada ratusan Kabinet dalam kehidupan, termasuk yang meneteskan embun dari gigir daun-daun, yang memelihara detak jantung, juga yang menjadwal jam berapa kita buang air kecil pagi ini, siang nanti, sampai kelak kita mati atau datang kiamat besar atau kecil, tanpa bergantung pada keputusan DPR dan Sidang Isbat Depag”.
            “Ya Allah, nanti 2014 iku Pemilu dong…. Kalau Engkau berpartisipasi, jatah suara-Mu tak satu, melainkan hidayah-Mu dengan mudah merasuki semua mereka yang sedang bingung menentukan pilihan”.
Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 47 XVIII 27 September – 3 Oktober 2012

Related Posts:

Tuhan ndak ndeso


            Allah itu ndak ndeso lo. Kita sering terjebak pada satu liniersi pemikiran dan ajaran  kalau Allah sudah menetapkan satu hukum dan  kita sengaja melanggarnya, sudah tentu dosa menjadi efeknya. Dalam ranah ibadhah mahdhah, shalat, puasa, zakat, dan haji menjadi tonggak utama kualitas keislaman kita sehingga tak ada dalil dalam pustaka apa saja bahwa kelima rukun islam itu boleh ditinggalkan. Tapi memang dasar kita, kadangkala mungkin juga seringkali kita ini ngajak “guyon” Gusti Allah. Jangan kaget jika ada santri sering ngomong “Afdhalul A’mal Assholatu fi Awwali Waktiha” ternyata diam-diam dia justru sering  shalat “Fi Akhiri Waktiha”.  Anda harus sedikit pintar, jangan buru-buru men-just bahwa dia menyepelekan shalat, kita tidak tahu bahwa ternyata Allah justru menaruh rahmad dan kasihNya kepada si santri ini. Nah lo.
            Inilah yang sering menjebak kita dalam menangkap berbagai kompleksitas permasalahanyang ada. Orang dengan seenaknya menghakimi sesuatu tanpa tahu persoalan dibelakangnya. Seorang dosen dengan mudah mengebiri nilai mahasiswanya hanya karena si mahasiswa sering terlambat dalam mata kuliahnya, padahal  mahasiswa ini setiap pagi harus bertarung melawan waktu dengan pertarungan yang tak rasional. Dari shubuh hingga pukul 06.30 dia harus membagi waktu dengan menjadi loper Koran sekaligus kuliah. Setiap hari tanpa berhenti. Praktis, dia sering telat masuk kuliah pagi. Pengebirian nilai itu tak akan terjadi bila tercipta hubungan harmonis dengan menanyakan alasan-alasan mengapa dia sering terlambat.
            Seorang santri dita’zir oleh keamanan pondok karena ketahuan tidak sholat jum’at pada suatu hari. Tanpa mengetahu alasan yang sebenarnya, keamanan pondok nyeramahi habis-habisan tanpa memberi kesempatan santri itu mengemukakan alasannya mengapa ia tak shalat jum’at. Alasan “klise”, shalat jum’at hukumnya wajib, sehingga jika ada seorang muslim tidak menunaikan shalat jum’at maka ketentukan syari’at sudah jelas ia akan berdosa sebagaimana meninggalkan shalat fardhu. Karena shalat jum’at adalah pengganti dari shalat dhuhur. Maka pendidikan di pesantren benar-benar mengajarkan akan pentingnya melaksanakan syari’at dengan sempurna. Dimulai dengan dipaksa diharapkan santri bisa terbiasa, jika santri sudah mampu melaksanakan syari’at dengan kebiasaan tanpa proses berfikir lagi itulah sesungguhnya letak keberhasilan pendidikan yang diterapkan. Pun dengan kelebihan dan kekurangannya. Maka, wajar jika keamanan pondok itu member sanksi kepada si santri walaupun jauh dibelakang ada alasan rasional dan logis mengapa si santri harus meninggalkan shalat jum’at.
Sebuah flash back
            Aku sedikit berani mengatakan Allah ndak ndeso salah satunya adalah karena faktor latar belakang dan konsekuensi logis dari mengapa si santri harus berat hati meninggalkan shalat jum’atnya. Gus santri ini dihadapkan pada dua hal yang membuatnya harus memilih . Tetap menunaikan kewajiban syari’atnya atau menolong orang kecelakaan di hadapannya. “Ah..Gusti Allah ndak ndeso” begitu batinnya sambil bergegas menolong pengendara motor yang kecelakan di depan matanya. Aku kira si santri tetap mendapatkan pahala shalat jum’atnya  sebagaimana kisah kyai yang mendapat predikat haji mabrur tetapi wurung berangkat ke makkah karena mentasarufkan tabungan hajinya kepada tetangganya yang sakit untuk berobat. Begitu juga dengan seseorang yang membatalkan puasa sunnahnya karena menghormati hidangan tuan rumah yang menjamunya.
            Salah satu output keislaman seseorang adalah dalam ranah sosialnya. Kebaikan dan kemaslahatan sosial harus diutamakan karena  frekuensi ampunan Allah tidak akan terwujud tanpa saling meminta maaaf dulu diantara manusia.   
            Saling husnudzonlah diantara sesama.
Malang, oktober 2012
             

Related Posts: