1000 hari wafatnya Gus Dur Sebuah paradigma kebangsaan dan keislaman plural**


            Tanggal 27-29 September 2012 di Pondok Pesantren Tebuireng sedang marak diadakannya peringatan 1000 hari wafatnya KH.Abdurahman Wahid atau yang sering disapa Gusdur. Peringatan ini bukanlah yang kali pertama diadakan, sebelumnya ketika peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur, acara yang sama juga diselenggarakan. Komplek pesantren Tebuireng yang sudah mengalami perluasan arena semenjak era kepengasuhan Gus Shalahudin Wahid ini agaknya menjadi altar yang pas untuk acara-acara besar. Khususnya peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur pada hari ini (27/09/ 2012). Diberbagai segmen seminar, diskusi, bahkan di peringatan 1000 hari wafatnya beliau ini sosok kharismatik, kontroversi, dan seringkali dianggap nyleneh ini seakan tiada habis untuk selalu dikupas, dikaji,dan diulas dari hari ke hari. Terlepas dari sisi kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia, semoga beliau mendapat tempat yang terbaik di sisiNya. Amin. 


            Peringatan 1000 hari wafatnya mendiang Gus Dur ini agaknya merupakan satu testimony kebangsaan yang dibalut dengan spiritualitas islam yang dibawanya. Sepak terjang Gus Dur sebagai tokoh pluralis, nasiolis menempatkan beliau sebagai tonggak pemersatu bangsa dari segala macam latar belakang masyarakat yang dibelanya.  Kita tentu tidak lupa dengan pembelaan-pembelaaan Gus Dur terhadap kelompok-kelompok minoritas yang selalu menjadi justivikasi kesalahan dari masyarakat dan isu nasional. Atas nama Harmonisasi keindonesiaan inilah yang melatarbelakangi Gus Dur dalam membela siapapun saja tidak pandang dari suku, ras, agama dan golongan. Kita sangat ingat betul bagaimana kelompok keturunan Tionghoa menjadi satu diantara kelompok-kelompok/personal lain yang merasakan pembelaan Gus Dur. Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur mengeluarkan PP. No 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres no. 14 tahun 1967. Kebijakan Gus Dur membuka kran kebebasan budaya dan agama bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, yang sebelumnya terkekang oleh represi penguasa Orde Baru. Peran Gus Dur ini mengembalikan eksistensi warga Tionghoa di Indonesia. Tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di Indonesia kembali terangkat. Kebijakan Gus Dur ini menjadi bagian dari politik identitas, untuk mencipta harmoni keindonesiaan dan tentunya kebangsaan.

            Begitupun dengan corak spirit keislaman yang terbalut dalam diri seorang Gus Dur. Corak keislaman beliau adalah sebuah proses pengembaraan, dimana Gus Dur mengalami berbagai macam akulturasi pemikiran dari masa ke masa. Diakui oleh Gus Dur bahwa di masa mudanya, di tahun-tahun 1950-an, ia mengikuti jalan pikiran Ikhwanul Muslimun, sebuah kelompok Islam “garis keras” yang pengaruhnya juga sampai ke Jombang, Jawa Timur. Bahkan Gus Dur juga ikut aktif dalam gerakan Ikhwanul Muslimun di kota kelahirannya itu. Lalu pada tahun1960-an, Gus Dur tertarik untuk mendalami nasionalisme dan sosialisme Arab di Mesir dan Irak, tepatnya ketika ia menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo dan Universitas Baghdad, Irak. Pengalaman menimba ilmu di kedua Negara tersebut tentu berpengaruh terhadap perkembangan pemikirannya. Namun setelah kembali ke Indonesia di tahun 1970-an, Gus Dur melihat perkembangan dan dinamika baru Islam yang berbeda dengan di Timur Tengah. Ia melihat realitas bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengambil berbagai ideology non-agama, bahkan juga pandangan dari agama-agama lain

            Pengembaraan intelektual dan sipiritual keislaman inilah yang akhirnya mengerucut menghasilkan pemikiran progresif yang teridiomatik dengan sebutan “Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita”. Bahwa representasi dari islamku adalah ketika kebenaran didapat dari sebuah pengalaman, bukan keyakinan. Kebenaran seperti ini tidak bisa dipaksakan agar semua orang juga meyakininya sebagai kebenaran, karena ia bersifat subjektif. Jika anda suatu kali menemukan sekelompok orang, madzhab dengan ijtihad dan dalil baru bahwa shalat Isya’ boleh dengan dua rakaat, maka anda harus memetakan bahwa kebenaran yang anda dapat adalah hasil dari pengalaman dengan nilai subjektifitas yang absurd. Satu contoh “ngawur” seperti inilah yang dimaksud dengan Islamku. Sedangkan yang dimaksud dengan Islam anda adalah keterbalikan dari konsep Islamku. Islam anda adalah sebuah kebenaran yang didapat dari keyakinan, bukan dari pengalaman. Determinasinya lebih mengacu pada tradisionalisme dan ritual kemasyarakatan. Kebenaran seperti ini menurut Gus Dur perlu dihargai dan dijunjung tinggi. Begitupun dengan Isalm kita, rumusan ini adalah sebuah integrasi antara islamku dan islam anda. Intisari dari consensus islam kita adalah sebuah perumpamaan kontekstual yang sangat realitatif, bahwa banyak santri tidak mendapat predikat “muslim yang baik” karena ia tidak pernah memikirkan masa depan islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan agama seringkali dianggap “muslim yang baik” hanya karena ia menyatakan fikiran-fikirannya atas masa depan islam.

            Akhir kata, semoga di peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur ini kita selalu bisa mendalami dengan “kaffah” tentang tipologi seorang Abdurahman Wahid dari segala macam sepak terjangnya serta bisa memformulasikan diri Abdurahman wahid kepada keturunan kita kelak. Amin.  
             
Malang, 27 September 2012

Related Posts:

Ibda’ Bi Nafsika. Sepatu Vs Sandal


            Rasulullah mengajarkan kepada umatnya tentang satu metode interaksi yang sangat mendalam, mencakup kohesitas antara hubungan manusia dan tuhan, terselip disitu sebuah pendidikan mental, personal, yang kyai-kyai dipesantren menyebutnya dengan “Ibda’ Binafsika” mulailah dari dirimu sendiri kira-kira begitu terjemahannya. Ada titik temu yang bersifat vertical dimana sesungguhnya manusia adalah guru bagi dirinya sendiri. Mandataris bagi akalnya, hatinya, jiwanya sendiri. “Ibda’ Binafsika” seakan menyindir, meraba sisi sensitivitas kita bahwa ternyata kita diam-diam dan secara tak sadar menjadi munafik, nggaya, pamer udel, merasa paling dintara yang paling dan lain-lain.

             Ibda Binafsika itu idiom, sketsa, layaknya dalil sebagai legitimasi hukum. Siapapun saja mudah mengeksekusi orang dengan cara yang ia bisa. Kalau kyai, ulama’, ustadz pengeksekusian dalam menyampaikan ayat-ayat Allah adalah dengan berdakwah. Berdakwahnya kyai, ulama’, dan ustadz dikebudayaan kita adalah dengan model pengajian, ceramah, kultum, dan lain-lain. Dengan beragam segmentasi yang ada, semua manusia dengan kepasitas keilmuannya sesungguhnya wajib berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar, menjaga keamanan, atau apapun saja dengan satu tujuan horizontal, titik tauhid yaitu agar ia mendapatkan ridho, ma’unah Allah Swt.
            Namun, sebelum anda mulai berdakwah, memimpin, terjun ke medan, seyogyanya pahami dan buatlah pemetaaan atau juga daftar tentang seberapa kekuatan, kelemahan dan kebertahanan anda di lapangan. Minimal apa yang akan anda dakwahkan, sampaikan, kalau bisa itu semua lulus, sudah bukan proses tapi sudah menuai finishing pada diri anda sendiri. Kita ini kan gayanya masya allah, nggaya sekali pokoknya. Seakan merasa paling benar dan agaknya kita ini banyak sekali menjustivikasi kesalahan orang, padahal kesalahan itu benar-benar menempel dan tergambar jelas di jidat kita. Sebuah pengalaman menarik ketika saya menjumpai sahabat saya di perpustakaan. Biar lebih estetis, saya urai kisah ini dengan bentuk cerita.
            Seorang mahasiswa di sebuah perpustakaan pusat sedang tergopoh-gopohnya. Dia ini sudah semester tua, ingin memperbaiki sisa akademiknya dengan mencoba rajin ke perpus. Karena selama kuliah baru kali ini, disemester tiga belas ini ia baru melangkahkan kakinya ke pintu perpus. Sungguh luar biasa. Semangat sekali dia ini, teman-teman sejawat yang kebetulan mengenalnya sedikit terheran-heran.
            Dungaren awakmu nang kampus mbol” sapa salah seorang temannya
            “ Hehehehe” dia hanya nyengir   
             “Cie cie cie…rajine rek, tak dungakno ndang lulus yo” temannya yang lain menimpal
            Hatinya benar-benar bahagia, niat mulianya seakan didengar Tuhan. Doanya ketika itu :
 Ya Tuhan, hamba ini sudah tua moso’ yo belum selesai-selesai. Mau kekampus saja hamba harus mikir seribu kali. Ya Allah, kupaksakan kakiku ini ke perpus, dengan harapan semoga ketika mataku menatap buku-buku yang penuh ilmu, semangatku akan terpacu. Ya Tuhan, dengarkan do’aku. Amin.  
            Selesai berdo’a, hatinya, akalnya, semangatnya semakin mantap melangkah. Ternyata banyak yang berubah, perpus yang dulu tradisional sekarang berubah menjadi digital. Sungguh kemajuan yang sangat pesat. Ketika dia masuk ke ruang perpus lantai satu itu, tiba-tiba ia dibentak.
            “ Hei..Mas yang pake baju hitam, keluar dari perpus” Teriak seseorang
Ia menoleh, ternyata pegawai perpus yang membentaknya.
            Loh loh, ono opo to pak, koq aku disuruh keluar” katanya santai
            “ Pokonya kamu keluar dari perpus, kalau ke perpus itu harus pake sepatu Mas, bukan pakek sandal “
            “Loh, apa hubungannya sandal dengan perpus Pak” 
            “ Kamu itu dibilangin koq ngeyel , cepat keluar dan ganti sepatu dulu baru masuk perpus”
Sebenarnya kalau Gitok mau, ia bisa saja ngeyel se-ngeyelnya beradu mulut dengan pegawai perpus itu. Tapi ia sudah kadung down, semangatnya luntur, dan ia ingin segera pergi. Sebelum pergi ia sempat menatap si pegawai dan melihat ternyata si pegawai itu juga tak memakai sepatu, sama persis seperti dirinya memakai sandal. Bahkan lebih buruk dari sandal yang dikenakannya.
            Ya Allah…..
            Apakah pendidikan melahirkan dikotomi-dikotomi antar manusia? Bukankah pendidikan itu mencerdaskan, memberikan contoh yang baik, mengamalkan ilmu yang sudah difahami, berkata baik, dan lain-lain. Bukankah pendidikan itu bahasa arabnya Tarbiyah masdar dari Rabba-Yurabbiyang berarti mendidik. Mendidik itu, kalau anda menyuruh orang agar tidak merokok, maka anda pun sudah mencontohknnya dengan juga tidak merokok. Mendidik itu, kalau Pak Rektor mengajak semua pegawainya shalat berjama’ah, maka Pak Rektor pun mencontohkannya dengan juga shalat berjamaah. 
            Dan mendidik itu, kalau menyuruh orang pakai sepatu, maka anda pun jangan pakai sandal. Ibda’ Bi Nafsika.
Malang, September 2012

Related Posts:

Shiratal Mustaqim


            Hari ini kuurai sebuah kehidupan baru, awal sebuah kisah seorang yang sedang mencari dirinya. Dia ini tersesat dengan akal dan hatinya sendiri. Manusia itu diciptakan Tuhan untuk selalu berfikir. Terhadap apa saja. Dengan segmentasi yang heterogen ini, kalau manusia tidak bisa menggurui dirinya sendiri dengan software pemberian Tuhan yang bernama akal, ia laksana robot, berjalan kesasna kemari linglung, buta realita dan bisu keadaan. Akal adalah ruang, dimana semua ilmu, hikmah, kebijaksanaaan, rasa bersalah, atau apapun saja ngrumpel menjadi satu. Maka ia harus digali, direnungi.  Afala tatafakkarun, tadzakkarun, Takqilun kata Tuhan.  Loh..sampai mana ini. Kita kembali ke pemuda tadi. Pemuda ini mencoba mencari dirinya dengan sliwar-sliwer, grusak-grusuk ke semua segment organ disekelilingnya. Berharap, dengan grusak-grusuknya itu, dia akan mendapatkan sebuah “nubuwwah” dari Tuhan, berharap menemukan hikmah mengapa, bagaimana, dan siapa sebetulnya dirinya ini. Lebih tepatnya ini adalah proses  tentang pencarian jati diriku, yang sampai hari ini aku tak tahu, bahkan mengapa aku harus mau tahu tentang semua ini.
            Ku lalui tiga tahun setengah ini dengan foya-foya, bergelut dengan ketidakadilan realita, menjadi sok pahlawan bagi orang, bergelut dengan semua strata sosial, preman, ustadz, rektor, pengamen, mahasiswa akademis, aktivis kampus, tukang tambal ban, ayam kampus dan lain-lain. Kesemuanya itu hanya ingin kuungkapkan padamu bahwa sesungguhnya beragam model manusia dengan segala sifat dan karakternya memunculkan satu kesimpulan yaitu : keingintahuan.
                Keingintahuan itu menandakan bahwa didalam diri manusia terdapat ketidakpuasan. Maka, ia melarikan dirinya, akal dan hatinya ketempat dimana ia akan merasa nyaman. Namun belum tentu ketika dia bergelut dengan kenyamannya, ia lantas merasa bahagia. Minum es itu nikmat, tapi kalau pilek, batuk awakmu ngombe es, yo tambah ngelu.  Anda harus mulai meluangkan fikiran anda untuk menemukan hikmah baru bahwa tempat yang nyaman belum tentu membuat anda menemukan kebahagiaan.
            Tiga tahun setengah, kuhabiskan diriku, kepuas-puaskan hasratku, kuhambur-hamburkan nafsu dan waktuku di organisasi. Ekstra maupun intra. Sangat kunikmati dunia ini. Aku ini orangnya agak anti dengan apapun yang bersifat teoritis. Ia hanyalah teks kosong, tanpa makna. Lihat itu, banyak orang ngomong ngalor-ngiduldengan gagahnya, dengan gelar-gelarnya, teori ini teori itu tapi ya hanya sekedar ngomong, suruh kerja dilapangan, melihat realita yang ada, tandang gawe di sekitarnya, ia hanya ngowoh tak mau tahu. Maka, dari pengalamanlah, gejala sosiallah aku menemukan teori, bukan dari teori baru aku akan beraktualisasi. Ini tafsiran subjektif dari keterbatasan akalku, dari kesederhanaan cara berfikirku.
            Kulalui kuliahku dengan berbagai macam proses empiris. Di HMJ PBA (Himpunan Mahasiswa Jurusan), SEMA (Senat Mahasiswa), Jurnalis kampus “Suara Akademika”, maupun dunia ekstra yang penuh dengan dialektika intelektual, spiritual, kebudayaan sosial dan lain-lain. Diam-diam kurelungi lorong baru dunia ini dengan menjadi aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) organ yang “mengaku” berideologi ahlu sunnah wal jamaah, berwatak moderat, toleran, seimbang, dan adil. Dunia ini sangat kunikmati. Pelbagai pengalaman, macam persoalan, model teman-teman seperjuangan, selalu mengiri langkahku. Dari sini kudapati berbagai ilmu baru yang tidak kudapati di bangku kuliah. Maka, bisa kupastikan setiap semester rata-rata aku hanya masuk dua sampai tiga kali, selebihnya absen. Diriku menjadi makhluk bebas dan merdeka. Ideologiku adalah ideology pembebasan, aturan dibuat untuk dilanggar, dan larangan dibuat untuk dikerjakan. Terbalik sudah cara berfikir ini.
            Disaat teman-teman kuliah, belajar, melakukan penelitian, eksperimen kecil-kecilan, mengerjakan makalah atau apapun saja, diam-diam kursakan satu tusukan-tusukan kecil di hati, satu rasa dimana aku hanya menertawakan drama teatrikal yang sedang terjadi di hadapanku. Dunia sosial mengajarkanku akan kepedulian, kasih sayang akan sesama, kepekaan realita, menolong konco sebelah yang tak bisa makan, nulungi­ sahabat yang kesusahan, melek kondisi disekitar, kritis terhadap kebijakan yang semua itu tidak aku dapatkan di ruang kelas. Di ruang yang hanya berukuran 12 m x 10 itu aku hanya dijejalkan ilmu-ilmu kosong, beterbangan tanpa makna. Kuamati benar-benar, konco-konco mahasiswa yang benar-benar akademis diam-diam dia menjadi individualis. Yang terfikir di otak dan hatinya adalah liniersi tujuan. Tugas, nilai, belajar, berputar pada itu saja. Tak bisa dia sedikit meluangkan waktu dan fikirannya untuk sedikit mengenal dan mengamati lebih jauh bahwa dunia ini tidak hanya sebatas huruf, aksara, dan abjad. Dunia ini penuh dengan seni, musikalisasi, irama, estetika gelombang yang hanya mereka yang peduli dengan sesama bisa merasakannya.
            Maka, ketika aku masuk kuliah yang kulakukan hanyalah ngisruh. Membuat onar dan gaduh. hehehe. Jika bosan, aku izin ke kamar kecil dan tak kembali lagi. Kau tahu kawan, hidupku selama tiga tahun di kampus hanya seperti ini. Bosankah? tidak, aku justru tambah menjadi-jadi. Aku sangat percaya dengan filosofi, bahwa puncak kenakalan adalah dimana kau sudah merasa bosan dengan kenakalanmu. Tapi aku belum bosan, aku masih ingin mencerca ketidakadilan, menantang siapa saja yang merasa “sok”, aku tak tahu siapa diriku karena sesungguhnya aku memang sedang mencari diriku.     
Ihdina Shiratal Mustaqim. Wahai Tuhan, tunjukkan jalan yang lurus.
Malang, Sepetember 2012
                   

Related Posts: