Makhluk pemenggal leher


            Aku merasakan dingin tidak hanya pada musim dingin saja. Di siang bolong segala aktivitasku dipenuhi dengan dingin-dingin yang menusuk. Di amalam hari semakin bertambah. Cara berjalan, bertanya, komunikasi, berdagang, belajar semua diliputi oleh dingin. Hingga akal, hati pun menjadi dingin. Teman-temanku merasa aneh dengan sikap dan kelakuanku. Apa yang kutatap, kupegang, kudengar, kebicarakan selalu menjadi es karena setiap gerakku adalah dingin. 
            Aku hampa ditengah kedinginan ini. Ingiiiiin rasanya memeluk, merangkul, sedikit bermesraan dengan seseorang yang kurindukan. Ketika hati ini beku, telingaku menjadi tuli. Ketika mataku buta, fikiranku tambah menjadi hambar. Serasa menghisap aroma panas api. Aku tak punya teman. Kesejatianku terututp oleh kesombongan bak Musa menantang Tuhan karena Kepandaiannya, kepintarannya, kecerdasannya. Tapi Musa adalah Nabi, manusia biasa dengan kolektifisnya sebagai hamba Allah. Hamba Sang hyang Taya, Yahofa. Tentu berbeda jauh denga aku. Haha..lha aku ini siapa. Kolektifitasku bukanla pahala dan ibadah, tapi bertribun-tribun dosa dan maksiat. Ditambah lagi dengan keangkuhan berat yang bernama kesombongan. Ingin menjadi seperti Musa As? Ah..basi. Kau hanya bisa meniru kesombongannya, bukan penghambaaanya kepada sang Tuhan. 
...
            Kubaca satu ayat dalam Al-Qur'an "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan diatas bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri" (Lukman ;18)
            Tiba-tiba hadir seseorang di samping ranjangku. Besar tinggi. Rambut gimbal nan panjang. Seperti Romobargowo dalam tokoh perwayangan. Ia memakai baju hitam legam, membawa sebilah pedang. Sekilas kulihat ujung pedang itu berteteskan darah segar. Darahnya bukan berwarna merah, tapi agak kehitam-hitaman. Dia tersenyum, terlihat gigi taringnya yang runcing dan putih sekali. 
 Aku tak bergeming.
 Dia hanya diam dan diam. Lama sekali. Membuat kakiku kaku. 
Kuberanikan diri bertanya padanya.
"Kau siapa?"
Masih diam
            "Wahai makhluk yang menghamba pada Tuhan, kau siapa?mengapa tiba-tiba datang disaat aku membaca ayat-ayat kesombongan. Mengapa kau tak datang disaat aku membaca ayat-ayat kenikmatan. Jawablah, siuapa kau?" 
            Tetap diam dan terus menatapku dengan senyumnya yang mengerikan. 
            Entah, aku sama sekali tak ketakutan. Bahkan berani berkelahi jika dibutuhkan. Maka, tak kuhirau keberadaannya. Kubuka ayat-ayat kesombongan yang lain. 
"(dikatakan kepada mereka): masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong" (Al-Mukmin ; 76)
            Tak kusangka, makhluk hitam legam nan besar itu menghunus pedangnya pada sebuah Al-qur'an yang  sedang kubaca. Praktis, kitab suci itu hancur, berantakan, sobek tak karuan memenuhi ruang kamarku. Aku ketakukan. Bagaimana jadinya bila pedangnya tiba-tiba menghunus leherku. Aku mau lari. Tapi kakiku kaku. Kupaksakan agar aku bisa lari. Menghindarkan diri dari kejadian aneh nan nyata itu. Aku hilang fikiran. Mataku menjadi buta. Telingaku mengeluarkan nanah dan darah yang anyir. 
Aku bersiap-siap, kutata hati. Kusimpan keberanian untuk segera meninggalkan makhluk itu. Kuambil sobekan ayat-ayat yang tercecer. 
"Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah seorang yang amat pendusta lagi sombong" (Al-Qamar : 25)
Ku singkap sobekan ayat yang berterbangan itu dengan berlari. Makhluk itu terbang diatasku. Sejenak kulihat pedang tajamnya mau menghunus tanganku. Kuterus berlari. Dia terus mengejar. 
Aku tiba disuatu tempat gelap. Sedang makhluk itu sudah tak terlihat. Kubersandar pada sebuah pohon kelapa. Besar nan menjulang. 
Kupejamkan mata, mengingat kejadian sesaat yang kualami. Angin sliyut-sliyut membuatku ingin tidur. Membuatku mengantuk. Sobekan ayat masih kupegang erat.
"sliiiiiiiiiing"
Kusaksikan dunia ini berputar-putar. Tanah yang datar seperti menggelinding. Kusadari bahwa kepalaku sudah terpisah dari badanku. 
"Tuhan tidak menyukai orang-orang yang menyomboongkan diri"
Suara pelan mendesir di telingaku. 

Malang, Juli 2012
10.36 Wib
Ditengah kesendirian. 


Related Posts:

Baju kesombongan manusia


            Puji syukur kehadiran Tuhan yang masa kuasa aku ditakdirkan menjadi makhluk dari golongan manusia. Menjadi sosok agung dengan multi talenta, mengalahkan makhluk-makhluk jagad nan perkasa sekaliber Jin, Syetan, bahkan malaikat. Bukan menyombongkan diri karena mentang-mentang sudah dinash dalam alkitab “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (A-Tin :04). Manusia dengan segala multi talentanya, kekuatan internalnya, kreativitasnya, sesungguhnya merupakan satu qodrat yang haram untuk dipersombongkan. Lha wong Raja-raja besar mbah-mbah kita seperti Panembahan Senopati, raja Majapatih, Prabu Yudistira yang terkenal dengan nama lakobnya Raden darma Putra, Mas Aryo penansang, hingga manusia suci layak malaikat seperti Semar, Pandawa Gareng, Petruk, Bagong dan panakawan saja tidak nggedekno awak. Apalagi kita yang hanya cecunguk kecil dihadapan Tuhan.
Sekali lagi, sujud syukurMu padaMu Tuhan aku diberikan kesempatan untuk berproses menjadi manusia. Ya, berproses menjadi manusia. Karena sesungguhnya aku ini adalah kadal, iblis, bekecot, cicak dengan kepala buaya, ular berbisa, yang hari ini entah sampai kapan menghadapi ujian untuk bisa lulus menjadi sosok yang bernama manusia.  
            Manusia dengan segmentasi, proses menemukan diri, dan keterpukauaannya terhadap apa-apa yang menjadi tujuannya sering mengalami distorsi pemahaman sebenarnya siapa dia dan bagaimana dia mengambil sikap dalam konteks sosial yang melingkupinya. Jika Gus Muhammad Saw adalah seorang nabi agung, raja para nabi, revolusioer besar dalam tatanan perdaban sejarah maka jangan lupa ia tetaplah seorang manusia biasa terlepas dari dimensi dan campur tangan Tuhan terhadapnya. Nabi pernah ditawari oleh Tuhan melalui Jibril As “ Takunu mulukan Nabiyya”. Ya Muhammad Maukah engkau Kujadikan raja diraja ? “ la Akunu abdan Nabiyya. Tidak, aku hanya ingin menjadi nabi yang rakyat jelata. Jadi, sekalipun Gus Muhammad adalah nabi besar, beliau tetap ingin bergumul, bersosialisasi dengan masyarakat dengan sosok kemanusiaannya, bukan dengan kenabianya. Identitas kenabian adalah jatah, gelar dari Tuhan sebagai kekuatan internal untuk menunjukkan sisi kekuasaan Tuhan kepada hambaNya.
            Hijab untuk ngaweruhisiapa kita sebagai manusia semakin hari semakin tebal, seperti tembok raksasa yang sulit untuk dihancurkan. sedari kecil kita sudah di mengalami reduksi pemikiran sehingga mengalami benturan-benturan pemahaman, tidak hanya di dalam struktul masyarakat, tapi juga di dalam mensed, cara berfikir, hingga pada kebodohan yang tersistematis.
            Anda tahu bahwa apapun yang menjadi eksistensi manusia seringkali dijadikan lakon utama, pengkultusan buta dalam membangun citra dan identitas dengan idiomatic klasik bahwa sesungguhnya manusia membutuhkan identitas. Jika seseorang sudah menjadi Profesor ia lupa bahkan bersikap buta bahwa dia manusia, sudah tak mau lagi bergumul dengan orang-orang desa. Jika seseorang sudah menjadi doctor, ia lalai dan mempersempit dirinya dengan sudah tidak lagi cangkrua’an dengan mahasiswa-mahasiswanya. Jika seseorang sudah menjadi Ustadz, Kyai, Gus, atau apapaun saja mau main sepak bola bareng pun merasa kikuk, mau ngopi juga sering merasa rendah “ Masa’ aku ngopi sama arek-arek, aku kan ustadz. Apa kata orang kampung kalau ustdz koq cangkru’an dan ngopi. “ Di berbagai segmen,di lingkungan anda bertempat tinggal, atau dimanapun saja anda bisa mencermati dan bisa berfikir sehat. Tidak hanya dalam skala makro, mikrositas dalam diri kita sendiri pun ternyata timbul batu besar yang bernama kesombongan.
            Segala merk tentang identitas, pusaran eksistensi dari mulai presiden, Guru, ustadz, dosen, dekan, professor,  mahasiswa, bupati, tukang sedot lemat, tukang sedot wc, bencong stasiun, tukang sapu dan lain-lain itu semua adalah explorasi bidang keilmuan, spesifikasi dari konsentrasi ilmu yang anda geluti. Bukan satu citra yang membuat anda harus bangga bahkan terlilit kesombongan karena memakai semua baju itu. Apapin baju, merk, gelar, yang kita pakai dan sandang, kita tetaplah manusia. Jika diminta tolong untuk sekedar menyapu halaman rumah, ndandani genteng, mengantarkan orang tua ke rumah sakit, dan apapun saja bukankah kita  lebih baik mengedahkan tangan dari pada masih berfikir seribu kali hanya karena saya, bukan anda adalah seorang ini, seorang itu.
            “Mas, mbak minta tolong bla,,bla,..
            “loh, sampeyan ini koq. Saya ini orang besar mbak, terkenal, kaya, masa’ nyuruh saya ini itu ”
            Kita berlindung kepada Allah dari kesombongan-kesombongan. Semoga semakin merasa tawadhu’ dan sungkem kita diberikan keselamatan oleh Allah Swt.
Malang, Juni 2012       
             

Related Posts:

Njawab Soal Ngawur Tapi Karena Benar


            Kabeh podo khusyuk, repot, seakan ndunyomau kiamat. Segala referensi dibuka, dianalisis, disingkep, disinanunidemi terwujudnya satu kulminasi kepuasan yang bernama nilai. Nilai itu macem-macem lho, ada yang sekedar nyontek lalu puas syukur-syukur dapat nilai pucak. A. Ada yang pasrah, tawakkal, kuliah cuma formalitas, ngisi absen, kupu kupu (kuliah-pulang2) dapat nilai apik syukur, dapat nilai abang yo tetep syukur. Ngikut aliran jabariyah pokoknya. Ada yang sibuk di dunia sosial, organisasi intra maupun ekstra, berjuang dengan keilmuan empiris, kenyataan bahwa lingkup sosial harus diperjuangkan demi mewujudkan kesadaran kolektif, bahwa mahasiswa adalah pendobrak sejarah, pembaharu peradaban, dengan membela hak-hak temannya, sahabatnya, adek-adeknya, masyarakatnya dalam memperoleh keadilan. Praktis, ketika UAS, opo sing digowo, lha wong kuliahnya di jalan, di pelataran kantin, diskusi-diskusi ilmu hidup dll. Lha, tipikal model mahasiswa demikian biasanya penuh idealisme. Nggak iso nggarap soal ya wajar, lha wong jarang sinau diskursus ilmunya.
Maka yang terjadi adalah peletakan kejujuran yang penuh nilai, sedikit ngawur, absurd dan gagah. Ngisi jawaban yang ditulis soalnya. Atau ngisi jawaban yang bertuliskan “maaf pak bu, saya nggak bisa ngerjakan soal. Ini apa adanya. Mending saya ngulang semester depan dengan belajar serius dan tlaten dari pada tolah-toleh, nyonta-nyonto, lirik depan belakang. Ngak kongkrit. Masalah kecil gini saja sudah penuh kebohongan apalagi ngurusi masalah besar di masyarakat, tindak hukum, integritas sosial, apalah jadinya. Maaf bapak, ibu sudah mengecewakan”. Nilai bagi mereka tidak hanya cukup A,B,C,D,E. Tapi lebih dari itu, nilai harus penuh dengan kejujuran, dialektika pemaknaan, serta idealisme. Nah, lho.
            Kenapa kita tak bersedia merasa menjadi anak yang sedang belajar, sehingga ketidakmampuan itu wajar dan tak perlu ditutup-tutupi. Kenapa kita cenderung menciptakan diri menjadi nabi-nabi yang bersabda dengan gagah perkasa. Absurd dan samar. Mengapa kita mecoba melakukan hal-hal bodoh dengan mengatasnamakan satu pamor yang bernama kemunafikan. Manusia dengan segala aspek multi telentanya mempunya pola dimensi yang tak tertandingi jika ia sadar dan mau berjuang untuk kemampanan dirinya dan masyarakatnya. Dengan penelaahan yang lebih wahid, yaitu menuju Tuhan. Manusia mesti memutuskan untuk menemukan dirinya kembali, memilih tempatnya berpijak, menentuka langkah hidupnya. Ditengah ilmu yang semakin menumbuhkan ruh. Di tegah pengebirian agama, pendangalan agama, ironi kenyataan yang palipurna, penindasan yang disamarkan, penjajahan dengan senyuman. Ini zaman darurat, apa yang bisa kau perbuat? Mengubah masyarakat? Itu impian sekarat.
            Tapi, sekarat-karatnya kita, akan menjadi mulia jika apapun yang kita lakukan, dengarkan, kerjakan, telaah, dieksplorasi dan dicari makna dan filosofinya. Semua ada hikmahnya sahabat.  Ihdinas shiratal mustaqim. Ihdini qalbi, ihdini shirati, wa ihdini nafsi.
Malang, Juni 2012
10.36 Wib setelah UAS

Related Posts:

Css Mora Uin Maliki : Antara Ego, kewajiban dan kepentingan

Bismillahirrahmanirrahim…..
            Forum sosialisasi masalah penempatan anggota Css Mora baru saja digelar. Sekian menit yang lalu, pada hari Rabu tanggal 20 Juni 2012 di kantor HTQ pada pukul 19.00-22.00 Wib.  Menjadi satu moment penting untuk menentukan langkah, masa depan arek-arek dalam menata dirinya maupun organisasinya yang masih bau kencur ini. Entah, aku selalu suudzon mengapa forum-forum yang terjadi selama ini hanyalah kamuflase belaka, kebohongan structural, dan pembodohan mental serta pendidikan yang diterapkan (Ya Allah, semoga ini salah). Aku hanyalah pemuda bodoh yang mencoba mencari langkah, menemukan solusi terhadap lingkungan yang kugeluti. Di organisasi, masyarakat, maupun konco-konco sejawat. Segmentasi menjadi penting, karena itu adalah proses dimana manusia mulai menemukan siapa dirinya dan siapa Tuhannya.

            Forum sosialisasi penempatan ini aku rasa hanyalah pemaksaan Bapak terhadap kami-kami yang ingin menentukan langkah. Intervensi memang penting dan urgen, namun intervensi yang baik, fair, objektif serta menjunjung tinggi rasa paseduluran dan kebersamaan aku kira jauh lebih subtansi dari pada hanya mementingkan keputusan sepihak tanpa diskusi dengan pihak yang terkait, Dalam hal ini arek-arek Css Mora. Diskursusnya jelas, kami yang menjalani proses, memutar tenaga dan fikiran, dan mbanting energi seharusnya menjadi pertimbangan penting untuk diajak ngobrol dulu, diizinkan mendengar sepatah dua kata, sebelum njenengan-njenengan memutuskan sebuah kebijakan. Ya Allah, engkau maha mendengar, seharusnya hamba-hambaMu juga bisa saling mendengar satu sama lain. Inna nastamiunal qaula fayattabiuna ahsanahu.
Antara Kontrakan, Ma’had dan pesantren mahasiswa : Sebuah kronologis    
            Anggota Css Mora melalui mandataris dari kemenag melalui Pembina sejak awal sudah disuguhi kontrak tertulis yang salah satunya harus menetap di mahad sebagai langkah preventif untuk bisa menjaga akhlak, moral maupun satuan ikatan diantara mereka secara emosional. Namun, khusus di Uin Maliki Malang, ma’had menjadi satu prioritas yang tidak dapat digeser keberadaannya. Dia menjadi rayon penting demi proses penjagaan hafalan alqur’an para konco-konco Css Mora. Dari      13 Css (Uin Syarif Jakarta, UPI, IPB, UI, ITB, IAIN Walisongo Semarang, UIN Jogja, UGM, IAIN Surabaya, ITS, UNAIR, UINA Malang, dan Unram)       di Indonesia, satu-satunya Css Mora yang membidangi hafalan al-qur’’an hanyalah Css Mora Uin Maliki Malang. Proses rekuitmen calon mahasiswa baru di PBSB Uin syaratnya adalah mempunyai modal hafalan minimal 10 Juz. Jika tidak, ya ndak lulus.
            Nah, dengan alasan itulah ma’had menjadi urgen di Css Uin malang. Diharapkan, dengan bertempat di mahad, proses terjaganya hafalan, ngaji bareng, meningkatkan kuantitas maupun kualitas hafalan menjadi titik yang tidak bisa ditawar dan harus diperjuangkan. Maka dari itu, angkatan pertama 2009 yang dipimpin Badrun sampai angkatan ketiga yang dikomandoi oleh Dzikrulah menempati ma’had dan menjalankan aktivitas dengan system yang ada. Walaupun dari beberapa konco ada reduksitas yang mencolok. Tapi itu tidak menjadi masalah karena semua bisa menaungi dan memahami peran masing-masing sebagai mahasiswa dengan berbagai multi kesibukan yang diemban. Gugur gunung tandang gawe, sayo-sayok rukun bebarengan ro kancane kata orang jawa. Ya Allah, entah mengapa aku begitu sayang dengan arek-arek.Terlebih kepada cah ayuku disana. May.
            Kemudian, proses penempatan ma’had mengalami sedikit “benturan”. Ini terjadi tahun sekarang 2012. Dimana dengan peraturan baru, mahasiswa lama yang sementara ini bisa tinggal di ma’had untuk tahun depan sudah ditutup. Ma’had untuk tahun ini dikhususkan untuk calon mahasiswa baru yang berkisar dengan jumlah tiga ribu pendaftar dan semuanya akan ditampung di ma’had. Praktis, mahasiswa lama monggo segera pindah termasuk konco-konco Css. Weh-weh….
            Akhirnya, segala kreativitas untuk mencari paguyuban segera meruak. Ada yang mengontrak bareng-bareng putra maupun putri. Ada yang tetap kembali pada eksklusifitas bahwa konco-konco tetap harus masuk dalam satu atap di pesantren. Tentunya pesantren mahasiswa. Dilematis ini hampir menjadi kebingungan yang setiap orang berpegang teguh dengan opsi masing-masing. Ditambah dengan dua akar klasik persoalan tanggung jawab dan kewajiban. Tanggung jawab vertical hafalan al-qur’an serta tanggung jawab horizontal ngrumat organisasi. Nah, untuk mempersatukan ide ini membutuhkan diskusi panjang tentunya, mengingat kaderisasi organisasi dan hafalan adalah perjuangan berat yang harus dilalui bersama-sama demi tersatunya tekad bersama untuk meraih cita-cita juga demi terkobarnya semangat juang untuk menggenggam kesuksesan.
Satu atap di pesantren mahasiswa : keputusan bijakkah?
            Ya Allah…ngeblank utekku.
            Konco-konco geger, rame, kaget, rasan-rasanmendengar ulasan kebijakan Pembina tentang penempatan di pesantren Al-Fadholi. Bukan Al-Fandoli lo yo. Diterangkan bahwa dipesantren ini akan menjadi tempat edukatif terhadap pembinaan yang selama ini dianggap “gagal”. Gagal? Ah…njenengankayak tahu aja Pak. Lha wong tatap empat mata, delapan mata, hingga enam belas mata saja diantara kami saja anda pasif. Koq berani-beraninya memutuskan bahkan menjustivikasi bahwa konco-konco sudah gagal. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan gagal itu? selama ini yang aku fikirkan adalah, sukses menurut bapak adalah secara kuantitas. Jika hafalannya meningkat, ayatnya bertambah, itulah sukses. Padahal banyak konco-konco yang hafidh secara kuantitas tetapi gagal secara kualitas. Loh kan. Jika menelaah lebih lanjut, mencermati keadaan yang ada. Adik-adikku 2010 kurang berhasil apa dalam memperbaiki diri. Setiap malam ba’da Isya’, setiap sore ba’da ashar secara continue, istiqomah ndereshafalan dengan pendamping masing-masing. Terlepas dari lancar atau tidak, mbulet atau tambah ilang itu urusan belakang. Yang terpenting adalah proses usaha, ikhtiyar itulah yang seharusnya menjadi landasan penting, pertimbangan panjang sebelum anda-anda memutuskan bahwa mereka gagal atau tidak. Liniersi pemikiran menjadi satu pola pikir yang salah jika anda tidak bisa menempatkan posisi dan situasi. Ya Allah…ihdina shiratal mustaqim. Engkau mengajarkan untuk selalu melangkah kedepan, melangkah, melangkah dan terus melangkah. Berproses terus tanpa Engkau paksa harus mencapai finishing yang sempurna. Finish itu hak preogatifMu, sedangkan proses adalah ajaranMu.
            Lanjut. Akhirnya lagi njenengan-njenengan memutuskan bahwa kita harus bertempat di pesantren Al-Fadholi. Grrrrrr…..semua podo rame, bisik-bisik. Denga alasan efektifitas, perbaikan, evalusi bla…bla..bla.
            Tibalah saatnya proses tanya jawab. Aku sudah ndak tahan ingin ngomong, nyocot. Dada ini rasanya mau jebol menahan ringkik kekesalan, kebodohan, reduksi pemikiran yang kolot hingga menjadi bolot.
            Kubuka dengan uluk salam, basa-basi.
            “Bapak yang terhormat, terima kasih sebelumnya atas kasih sayang Bapak yang selama ini anda curahkan. Kami juga seperti Bapak koq, sayaaaaaang banget dengan njenengan-njenengan. Namun, pertama yang membuat saya bingung. Sosialisasi ini apakah ada tawar-menawar ataukah sudah final? menanggapi penjelasan Bapak rasanya koq forum ini tidak ada gunanya jika sudah final. Bla…bla….bla…..
            “Yang kedua, jika kami jadi ditempatkan di pesantren, maka aktivitas organisai Css akan mati. Kita tidak hanya bertanggungjawab padahal hafalan saja, tetapi juga pada proses kaderisasi organisasi yang bernama Css Mora. Bla..bla..bla…
            “Yang ketiga, mengapa seluruh kebijaakan selalu mengalami titik keputusan yang sepihak. Seakan-akan kita tidak bisa mandiri. Kita pak yang menjalani ini, bukan njenengan. Keputusan yang fair, objektif dan bijak adalah kita juga didudukkan untuk memberi formula dan pemetaan. Jangan ujug-ujug gitu donk. Jangan lantas anda Pembina lalu intervensi jauh hingga pada persoalen (kata orang Madura) ini. Bla..bla..bla..
            Dan muncullah pertanyaan-pertanyaan lain dari konco-konco. Sekilas kulirik raut muka Bapak-bapak Pembina, merah seakan menahan amarah, Pak Jaiz hanya menundukkan kepala, Pak Saiful tenang dan menurutku juga menahan jengkel sedang Wak Nasih clungak-clunguk, keder, salting.  
            Semua berlangsung panas. Tidak hanya di forum ini. Forum-forum sebelumnya juga sama. Khususnya di angkatan 2009. Khususnya lagi mengapa harus aku yang selalu berbicara, lisan ini sudah kuempet untuk diam, tapi selalu tidak bisa. Maka, spekulasi pun muncul, mereka mengira ini adalah kepentinganku sendiri dengan membawa nama organisasi. Kepentingan personal yang memanfaatkan situasi. Duh, aduh biyung, jika aku boleh ngomong pembelaan yang kukatakan adalah :  Kalau ngomong kepentingan personal, dapat apa aku di Css Mora. Buat apa aku mondar-mandir kesana-kemari, ngurus ini itu, terbang sana-sini, ngurusi arek-arek ini-itu. Disaat teman-teman 2009 lelah, jenuh dan terima apa adanya. Aku hanya berdiri dengan kaki sendiri, tenaga sendiri, dan menghabiskan energy. Untuk apa coba? bukan apa-apa. Lha wong aku wes kadung sayang ke arek-arek. Itu saja. Cukup. Pun demikian, terima kasihku pada Dirga, Ulil, Edi, Miftah yang selalu ngewangi dan mbarengi.
            Forum itu kemudian memberikan satu kesimpulan, bahwa kita diberi kesempatan empat hari untuk berfikir, rembukan dan menentukan langkah untuk mencari paguyuban baru, kontrakan baru dengan membangun komitmen bahwa semoga dengan satu solusi ini kekurangan di intern organisasi juga kewajiban setiap personal konco-konco dapat teratasi dengan lebih baik, lebih membangun dan menjadi edukatif. Semoga.
Malang, Juni 2012

Related Posts:

Puasa Menuju Makan Sejati

Puasa : Menuju Makan Sejati
(Emha Ainun Nadjib)

Puasa itu jalan sunyi 
Tersedia makanan tapi tak dimakan 
Tersedia kursi tapi tak diduduki 
Tersedia tanah tapi tak dipagari
Puasa itu jalan sunyi 
Menggambar tapi tak terlihat 
Bernyanyi tapi tak terdengar 
Menangis tapi tak diperhatikan
Puasa itu jalan sunyi 
Menjadi tanpa eksistensi 
Pergi menuju kembali 
Hadir tapi tak dikenali

ILMU Rasulullah Muhammad, "hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang", telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.
Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.
Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa kita.
Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi mahluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun belumlah "langit" tertinggi dalam kosmos "ahsani taqwin" sebaik-baik mahluk - manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta.
Cinta adalah rem, pembijak, pengatif, yang terkandang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala mana pun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.
Adapun jika ilmu jika penghayatan akan kebenaran, bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan intermanagable, atau denan kata lain "bersuami-istri dengan hubb" atau cinta maka tercapailah tataran "taqwa".
Tanpa itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta. Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan "liga rabb", yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina dina macam kita ini dengan Allah. Sekarang bisalah kita membandingkan, apa beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di tangan orang yang bercinta saja dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang bertaqwa.
Kemudian gampanglah bagi kita untuk memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik, adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja. Gampanglah kita perhitungkan: terjaditikaman, siapa yang menikam dan yang tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Makan yang sejati
Rasanya tak enakuntuk memuji-muji Muhammad. Ada situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut.
Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam itu, saya harus pelti" pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata "Muhammad adalah juga yang terpuji". Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra "Ya Muhammad kekasih", rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.
"Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang" Adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang.
Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, aau terkadang sejuta rupiah.
Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan, inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan, yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur danperadaban, yang biayanya menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artif isia l isasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".
Maka yang bernama "makan sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah "memberi makan kepada nafsu".
Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan. Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.

Kebutuhan sejati

Aktivitas puasa selalu diartikan - dan memang benar demikian - sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenismakanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan "tidak boleh makan" atau "tidak adanya makanan", melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan
lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian "nafsu" dari "makan". Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk "tidak makan" jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk "tiak bernafsu makan", terutama bagi para penghayat "makan yang sejati".
Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas "makan" yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda "biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga tidak underacting."
Padahal ilmu "makan sejati" atau "makan pas"-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud
mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu tahyul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik. Para pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahyul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.
Ini adalah kata-kata "purba", yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap orang - setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya - akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.
Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apa pun saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan "lapar sejati", bukan dalam keadaan "merasa lapas karena nafsu".
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada "makan yang sejati". Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli, ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya, bahwa itu semua adalah "makanan palsu".
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan.
Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.

Related Posts:

Sate, Rawon, Soto Dihari Kebangkitan Nasional (20 Mei )


            Sangat menarik menelaah tulisan Djoko Susilo di rubric opini jawa pos beberapa hari yang lalu (19/05/2012). Tulisan yang berjudul “nasionalisme di belantara mal” itu mengangkat satu tema menarik tentang bangsa kita dari sudut dan lorong yang berbeda untuk diambil pelajaran berharga tentang rasa nasionalis kita terhadap bangsa ini.
            Djoko Susilo memberi satu ulasan runtut tentang nasionalisme dari pandangan fakta bahwa tidak bisa dipungkiri banyak dari kita yang menganggap kemajuan suatu daerah, kota ditandai dengan adanya mal atau pusat perbelanjaan modern di kawasan itu.  Bukan hanya itu, seakan mal masih dianggap kurang, sebuah daerah akan merasa maju jika ditiap kecamatan terdapat banyak mart yang menjual produk-produk asing (jawa pos,19/05/2012) Kenyataan tersebut patut kita renungkan. Ya, kita renungkan setelah kita melewati hari kebangkitan nasional 20 Mei beberapa hari yang lalu.  

            Sebagai wartawan sekaligus duta besar yang pernah hidup lama diluar negeri, Djoko memandang bahwa dalam satu aspek local, keadaan kita sangatlah miris dan menyedihkan. Misal, kita kaitkan nasionalisme dengan mart-mart yang menjamur dibanyak tempat lebih banyak menjajakan makanan asing semisal hot dog, burger, pizza, dan sebagainya. Hampir tidak ada martyang menyediakan makanan tradisional sebagai menu andalan semisal rawon, sate, soto, dan seterusnya. Wajar jika menteri Gita Wirjawan sangat resah dengan realita itu sehingga berencana mewajibkan mart, supermarket, hypermart, atau mart-mart lainharus menjual minimal 75 persen produk Indonesia (jawa pos, 19/05/2012).
            Agaknya kita sebagai warga Negara yang baik hendaknya mendukung apa yang akan dilakukan oleh menteri perdagangan Gita Wijarwan yang akan memasok penuh produk local disemua mart-mart seluruh Indonesia. Kita tidak anti terhadap produk asing, namun prioritas terhadap produk local harusnya tetap didahulukan.
            Sebuah PR bagi civitas akademika, khususnya fakultas Humaniora dan budaya dalam mewujudkan kearifan budaya local ditengah nuansa budaya global.
Malang, Mei 2012   

Related Posts:

Hijab Cinta


Wahai Tuhan semesta jagad
Malam ini angin berdesir begitu syahdu
Manancapkan semilirnya pada lubang hati yang sedang menganga
Juga
Terbukanya pintu syukur
Dengan kehadiran satu makhluk yang sebenarnya sangat "Menggangu"
Wahai Tuhan sang pembolak balik hati
Makhluk dengan keindahan semu itu menatapku
Menebar senyum "angkara" yang mematikan kalbu
Aku tak kuasa
Untuk menatap wajahnya
Aku juga tak mampu untuk tidak bercengkrama dengannya
Wahai Tuhan pemilik kerajaan cinta
Kau tawarkan sendi kehidupan 
Dengan cinta, kasih, dan sayang
Penub misteri juga penuh teka-teki
Namun, 
Semua insan terkadang terjerembab
Menangis, merekah, bahkan tersiksa
Karena tak mampu membuka hijab apa itu Cinta
Ya Allah........
Beri aku sedikit ilmu tuk bisa mengerti
Tuk bisa merubah arti 
Dengan kebahagian sejati yang bernama Cinta...

Batu Juni 2012
01.15 Dini Hari 

Related Posts:

Penjaga Ghoib (SEDULUR PAPAT LIMO PANCER)

Saya ada menengahkan tajuk SEDULUR PAPAT LIMO PANCER niiii...kali ini saya cuba menengahkan lagi isu niii dengan lebih jelas....kalau ada teguran/ kesalahan sila tegur saya.....

Siang dan malam keempat pendekar gaib ini setia menunggu kita. Saat genting dan bahaya, dia menyeret kita ke tempat yang aman. Saudara penjaga gaib ini bukan jin.

Semakin lama belajar ajaran-ajaran leluhur Jawa, kita akan semakin terkagum-kagum pada para nenek moyang. Ilmu yang mereka ajarkan tidak bertentangan dengan agama, bahkan sesuai dan memperkaya pemahaman agama yang kita anut.

Sayangnya banyak yang masih memandang sebelah mata ajaran para leluhur Jawa ini. Bahkan ada yang menuduhnya sebagai syirik, khurofat dan takhayul. Para penuduh ini mungkin lupa, bahwa ajaran Jawa disampaikan secara sederhana agar mudah dipahami orang Jawa. Memang, para leluhur kita kadang tidak fasih melafalkan kata-kata Arab. Para leluhur ini juga orang yang masih gagap iptek. Namun, jangan salah sangka dulu.

Dari segi kebijaksanaan, ilmu batin dan olah rasa para nenek moyang kita dulu boleh diandalkan. Mereka adalah para waskita yang mampu membangun candi Borobudur, Prambanan dan mampu membuat sebuah bangunan dengan ketepatan geometris dan geologis. Tidak kalah oleh nenek moyang bangsa Mesir yang mampu membangun piramida, atau nenek moyang suku Inca, bangsa Peru yang bisa membangun Manchu Picchu.

Saat agama Islam masuk ke nusantara, sementara di Jawa saat itu sudah berkembang agama Hindu, Budha dan berbagai kepercayaan animisme, dinamisme, politeisme. Islam melebur secara pelan dan damai, berasimilasi serta berosmosis tanpa pertumpahan darah. Islam agama damai dan tidak memaksa. Orang Jawa bersifat pasrah, sumeleh, sumarah, ikhlas dan mengandalkan rasa pangrasa.

Bagi orang Jawa, masuknya Agama Islam yang kaya dengan aspek kebatinan (tasawuf) sangatlah tepat. Orang Jawa pun tidak kebingungan dengan ajaran-ajaran mistik yang ada di dalamnya. Namun orang Jawa berhasil menyederhanakan ajaran-ajaran mistik ini dengan terminologi dan kalimat-kalimat sederhana dan mudah dimengerti. Harap maklum saja, orang Jawa dulu mayoritas hidup di pedesaan yang sederhana dan tidak banyak berwacana ilmiah.

Salah satu ajaran Kejawen yang membahas tentang adanya malaikat pendamping hidup manusia adalah SEDULUR PAPAT LIMO PANCER. Pancer adalah tonggak hidup manusia yaitu dirinya sendiri. Diri kita dikelilingi oleh empat makhluk gaib yang tidak kasat mata (metafisik). Mereka adalah saudara yang setia menemani hidup kita. Mulai dilahirkan di dunia hingga kita nanti meninggal dunia menuju alam barzakh (alam kelanggengan).

Sebelum hadirnya agama Islam, orang Jawa tidak memahami konsep malaikat. Maka mereka menyebut malaikat penjaga manusia dengan sedulur papat. Konsep “sedulur papat” ini oleh orang Jawa ditamsilkan melalui sebuah pengamatan/niteni.

Mulai saat janin tumbuh di perut ibu, janin dilindungi di dalam rahim oleh ketuban. Selanjutnya adalah ari-ari, darah dan pusar. Itulah saudara manusia sejak awal dia hidup dan selanjutnya “empat saudara” ini kemudian dikubur. Namun orang Jawa Percaya bahwa “empat saudara” ini tetap menemani diri manusia hingga ke liang lahat.

Karena Air Ketuban adalah yang pertama kali keluar saat ibu melahirkan, orang Jawa menyebutnya SAUDARA TUA. Saudara ini melindungi jasad fisik dari bahaya. Maka ia adalah SANG PELINDUNG FISIK.

Selanjutnya yang lebih MUDA adalah ari-ari, tembuni atau plasenta. Pembungkus janin dalam rahim. Ia melingkupi tindakan janin dalam rahim yang kemudian mengantarkan kita ke tujuan. Maka ia adalah SANG PENGANTAR.

Saudara kita selanjutnya adalah DARAH. Darah ini membantu janin kecil untuk tumbuh berkembang menjadi bayi lengkap. Darah adalah SARANA DAN WAHANA IRADAT-NYA pada manusia. Darah bisa disebut nyawa bagi janin. Maka, darah disebut dengan PEMBANTU SETIA MANUSIA MENEMUKAN JATI DIRINYA SEBAGAI HAMBA TUHAN, CERMIN TUHAN (Imago Dei).

Saudara gaib kita terakhir adalah pusar. Menurut pemahaman Kejawen, pusar adalah NABI. Pusar secara biologis adalah tali yang menghubungkan perut bayi dalam rahim dan ari-ari. Pusar mendistribusikan makanan yang dikonsumsi ibu ke bayi. Pusar dengan demikian MENDISTRIBUSIKAN WAHYU “IBU” MANUSIA yaitu Gusti Allah SWT kepada diri kita.

Keempat saudara gaib ini sesungguhnya adalah EMPAT MALAIKAT PENJAGA manusia. Yang berada di kanan-kiri, depan-belakang kita. Maka, tidak salah bila Anda menyapa dan bersahabat akrab dengan mereka. Secara gaib, Tuhan mmeberikan pengajaran tidak langsung kepada hati kita. Namun melalui mereka pengajaran itu disampaikan.

Keempat penjaga (malaikat) itu adalah:

JIBRIL (Penerus informasi Tuhan untuk kita),
IZRAFIL (Pembaca Buku Rencana Tuhan untuk kita),
MIKAIL (Pembagi Rezeki untuk kita) dan
IZRAIL (Penunggu berakhirnya nyawa untuk kita).

Keempat malaikat itu oleh orang Jawa dianggap sebagai SEDULUR karib hidup manusia. Bila kita paham bahwa perjalanan hidup untuk bertemu dengan Tuhan hakikatnya adalah perjalanan menuju “ke dalam” bukan “ke luar”. Perjalanan menembus langit ketujuh hakikatnya adalah perjalanan “diri palsu” menuju “diri sejati” dan menemukan SANG AKU SEJATI, YAITU DIRI PRIBADI/ TUHAN.

Untuk menemukan SANG AKU SEJATI (limo pancer) itulah kita ditemani oleh EMPAT SAUDARA GAIB/MALAIKAT PENUNGGU (sedulur papat). Lantas dimana mereka sekarang? Mereka sekarang sedang mengawasi Anda. Berdzikir mengagungkan asma-Nya. Kita bisa menjadikan mereka sedulur paling akrab bila paham bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka. Caranya? Pejamkan mata, matikan seluruh aktivitas listrik di otak kiri dan kanan dan hidupkan sang AKU SEJATI yang ada di dalam diri Anda. Ya, hanya diri sendirilah yang mampu untuk berkomunikasi dengan para sedulur gaib nan setia ini.

Bagaimana tidak setia, bila kemanapun kita berada disitu keempatnya berada. Bila kita berjalan, mereka terbang. Bila jasad kita tidur, mereka akan tetap melek ngobrol dengan ruh kita. Maka, saat bangun tidur di siang hari pikiran kita akan merasa fresh sebab ruh kita akan kembali menjejerkan diri kita dengan iradat-Nya. Sayang, saat waktu beranjak siang polusi nafsu/ego lebih dominan sehingga kebeningan akal pikiran semakin tenggelam.

Bagaimana agar hidup kita selalu ingat oleh kehadiran sedulur papat ini yang setia menjaga kita? Sunan Kalijaga memiliki kidung bagus:

Ana kidung akadang premati
Among tuwuh ing kuwasanira
Nganakaken saciptane
Kakang kawah puniku
Kang rumeksa ing awak mami
Anekakaken sedya
Pan kuwasanipun adhi ari-ari ika
Kang mayungi ing laku kuwasaneki
Anekaken pangarah


Ponang getih ing rahina wengi
Angrowangi Allah kang kuwasa
Andadekaken karsane
Puser kuwasanipun
Nguyu uyu sambawa mami
Nuruti ing panedha
Kuwasanireku
Jangkep kadang ingsun papat
Kalimane pancer wus dadi sawiji
Nunggal sawujudingwang

(Ada nyanyian tentang saudara kita yang merawat dengan hati-hati. Memelihara berdasarkan kekuasaannya. Apa yang dicipta terwujud. Ketuban itu menjaga badan saya. Menyampaikan kehendak dengan kuasanya. Adik ari-ari tersebut memayungi perilaku berdasar arahannya.

Darah siang malam membantu Allah Yang Kuasa. Mewujudkan kehendak-Nya. Pusar kekuasaannya memberi perhatian dengan kesungguhan untuk saya. Memenuhi permintaan saya. Maka, lengkaplah empat saudara itu. Kelimanya seagai pusat sudah jadi satu. Manunggal dalam perwujudan saya saat ini) baca di http://alamrahsia.blogspot.com/2009/11/penjaga-ghoib-sedulur-papat-limo.html

Related Posts:


Kuliah yes + organisasi yes = Selingan
Oleh : Andri Kurniawan*

Dikalangan teman-teman aktivis, bukan aktivis akademis melainkan aktivis organisatoris tertimbun satu ideologi klasik yang menjadi satu eksistensi dari keberadaan mereka. Eksistensi dengan dalih ideologi ini menjadi pola fikir yang tidak bisa dilepaskan dari sudut vertikal maupun horizontal. Ketika dihapkan pada sistem kaku, kolot, ideologi ini muncul sebagai bentuk pembrontakan dan perjuangan untuk melawan sistem kolot itu. Entah, aku juga tak bisa memberi representasi secara komperehensif mengapa aku menyebutnya sebagai ideologi. Yang kupahami adalah bahwa ketika manusia dihantam pada sebuah dinamika sosial, maka yang pertama berkehendak untuk bergerak apa dan bagaimana adalah dari pola fikir, metodologi pemikiran yang disebut dengan ideologi. Sek-sek, mungkin bukan ideologi tepatnya, mungkin “prinsip” lebih mendekati.
Jika konco-konco aktipis (kata orang sunda) membuat frame pemikiran akan bentuk eksistensi mereka, maka poro konco akademis juga tak kalah. Ingat, subyek dinamika sosial kampus mung terbagi menjadi dua. Aktivis akademis dan aktivis organisatoris. Selain itu tidak ada, jika ada yang ngaku-ngakumenjadi aktivis akademis sekaligus organisatoris anggap saja itu selingan, guyonan, nylempit diantara demikian banyaknya sample yang ada.
Ibarat reog ponorogo, sosok duo simbolik patriotik antara macan dan merak. Jika ada macan dibawah, ingatlah juga masih ada merak diatas. Begitupun duo aktivis ini, jika di depan ada aktivis akademis, jangan lupa bahwa dibelakang juga nongol, nyantol konco-konco  aktivis organisatoris. Semua sudah diciptakan dengan berpasang-pasangan.
Wes, kembali ke prinsip. Anda tahu kisah seorang kyai mbeling dari jombang emha ainun nadjib, tahu juga kan kisah heroik pahlawan pluralisme almarhum Gus Dur, atau juga ilmuwan cerdas Albert einstein. Kabar-kabarnya, mereka bertiga ini (hanya sample saja) melawan kekakuan-kekauan dunia pendidikan dengan malas sekolah, emoh mengerjakan tugas, sering mbolos, mencari ilmu dengan sinau yang mereka atur sendiri. Menggelandang, mbambung ditempat-tempat sepi, bergumul dengan banyak macam orang, bergelut dengan permasalahan-permasalah internal dan eksternal, membaca buku-buku “berat” yang tidak ada di kelas dan segala kembelingan lainnya. Yang mereka lakukan ini adalah ingin menggelitik kekakuan-kekakuan yang sudah membudaya di kelas. Hanya mendengarkan guru ceramah, mengerjakan tugas, ya itu-itu saja. Bagi mereka ini tidak mencerdaskan dan tidak membuat siswa menjadi cerdas, malah membuat siswa semakin tertata kebodohannya. Maka tak heran mereka memberontak dengan cara demikian. Nah, demikianlah bagaimana arek-arek aktivis organisatoris memandang kuliah. Maka sangat aneh dan nyleneh jika ada aktivis organisatoris lulus kuliah dengan waktu tepat empat tahun. Jika pun ada, lagi-lagi anggap saja itu selingan, guyonan, nylempit diantara demikian banyaknya sample yang ada. Hehe…
Pun kebalikan dari aktivis akademis, kuliah menjadi titik sentral, menjadi pagar besi yang tidak boleh diterobos. Kuliah menjadi sandangan kewajiban, yang tak bisa diganggu dengan apa saja. Diganggu saja tidak boleh apalagi digugat. Dalam fiqh, ini adalah kewajiban fardhu yang gak oleh diusik dengan hal-hal yang bersifat sunnah. Kulaih itu wajib, organisasi itu sunnah.
Seorang kawan nyletuk “oalah-oalah, mengapa harus ada dualisme. Satu berkutat dengan kuliaaaaaah saja, satunya lagi berkutat dengan organisasi. lha terus gimana nasibnya model orang yang kayak aku. Aku kan moderat, kuliah iya, organisasi juga iya”.
            “nggak usah bingung, anggap saja dirimu itu selingan, guyonan, yang nylempit diantara banyaknya sample yang ada “sambut yang lain.
*Ketua Senat Mahasiswa
Fakultas Humaniora dan Budaya

Malang, Juni 2012

Related Posts:

Kesaktian Hape

       Sekarang ini, kalau tak punya Hape seakan nggak gaul, nggak mboys, ndeso. Hari gini gak punya Hape?..Hape sudah menjadi komoditas bagi semua segmen masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dulu, awal tahun 200 an hanya segelintir orang yang nduweni alat canggih ini. Namun tidak untuk zaman kosmopolita sekarang, segmennya semakin luas. Mulai dari tukang sedot Wc, pasukan kuning, tukang jagal, tukang bakso, preman, mahasiswa, siswa, hingga pejabat Hape sudah menjadi daya gengsi, popularitas kecil dari majunya teknologi. Perubahan besar dari zaman konvensional menjadi digital. 

     Kekuatan Hape ini sangat luar biasa, mandragunanya melebihi kemampuan aji bandung bondowoso maupun blabak pengantolan milik Bima dalam kisah perwayangan. Padahal dengan ajian itu Bima mampu ngilang sekejap dalam hitungan sepersekian detik. Hape ini juga juga lebih dahsyat dibanding aji panglimunan ataupun jayeng katon milik Arjuna. Nah, jayeng katon ini malah lebih super. Arjuna bisa menghilang dan tak kelihatan dan dia bisa menerawang bangsa lelembut yang tak kasat mata. 
      Hape ini, malah digadang-gadang menjadi teknologi yang super cuanggih melebihi kedahsyatan teknologi apapun. Dari kisah klasih perwayangan, hingga kisah kontemporer hape menempati urutan pertama dari pusaka-pusaka canggih seperti Keris kyai setan kober milik Aryua penansang, keris kyai pleret, bahkan keris kyai kolongonyeng milik sunan kalijaga. 
Hemm..anda tidak perlu risau atau heran mengapa saya menulis kesaktian Hape. Karena manusia sekarang sudah tidak percaya diri lagi dengan kesaktian intern dalam dirinya. Kekuatan magij yang tersimpan dalam jasadnya.
    Maka, siapa yang mampu melepas ketergantunganya dengan Hape, ia akan menjadi sakti mandraguna, menjadi manusia super yang tidak hanya bisa berkomikasi dengan jempol dan lisan. Tapi juga dengan kepekaan hati, sensivitas jiwa dan komunikasi internal dengan Tuhan sekalipun. 

Juni, 2012

Related Posts:

Sombong

Ku saksikan panorama alam
Membentang tegak nan tinggi menjulang
Gunung-gunung hampa resah menyaksikan
Segala sifat kesombongan manusia
Awan, kabut menagis deru melihat congkaknya peradaban
.
Bromo yang dingin itu menyengat apa saja
Kulit, tulang, hingga rasa usik dan geli
Gunung dengan julang yang tinggi itu berbisik
"hai manusia, akulah makhluk Tuhan yang senantiasa bersujud dan patuh kepadaNya
Tapi mengapa kau wahai manusia
Merasa sombong nan angkuh terhadap TuhanMu
.
Sejenak tiba-tiba angin kencang menderu
Bromo yang indah itu seakan menutup lukanya dengan bercik-bercik asap
Yang menempel disetiap kulit
.
Subhanallah......

Bromo, 1-2 Juni 2012








Related Posts: